Tahap era digital baru diikuti oleh anak-anak kita pada tahap keterpesonaan pada teknologi. Mereka belum mengembangkan potensi dan kemampuan literasinya melalui media digital. Ketika hal ini yang menjadi dominasi akibatnya adalah mereka tidak mampu berpikir runut, terstruktur, dan kritis.Â
Dampak destruktif lainnya adalah media digital digunakan untuk ajang pamer diri, bullying terhadap sesama, dan merendahkan martabat kemanusiaan.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan pada 2015 oleh Asosiasi Program Studi Fakultas Ilmu Komunikasi terhadap remaja SMA di Bandung, Cirebon, Cianjur, dan Purwakarta.Â
Penelitian ini dilakukan atas keprihatinan terhadap praktik plagiat yang dilakukan kalangan mahasiswa. Berdasarkan penelitian tentang perilaku berinternet remaja tersebut didapatkan hasil bahwa kemampuan membaca, menulis, dan berpikir kritis mereka masih sulit berkembang meski sumber belajar digital melimpah ruah. Para remaja masih belum mampu memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi untuk membuat mereka menjadi pembelajar. (Kompas, 5/2/2016)
Keberadaan buku mampu mentransformasikan ilmu pengetahuan, informasi, dan membuka wawasan. Buku juga dapat melahirkan  ide yang sebelumnya tidak pernah disadari pembacanya. Dengan kita membaca akan menumbuhkan gagasan yang sebelumnya terpendam. Dengan gemar membaca akan membuat matang cara berpikir dan akal budi manusia.
Gemar membaca berarti menjadikan aktivitas membaca sebagai sebuah tradisi. Ada sebuah ungkapan menarik bahwa pembaca hari ini dialah pemimpin hari esok. Membangun budaya membaca dapat  kita mulai dengan membiasakan diri menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi diri kita. Peran keluarga menjadi elan vital untuk menumbuhkan minat dan budaya baca. Budaya baca menjadi salah satu tolok ukur tingkat kecerdasan suatu bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H