"Buku-buku adalah temanku. Di sana aku bertemu orang-orang besar. Pikiran-pikiran mereka menjadi pikiranku. Cita-cita mereka menjadi dasar pendirianku." Itulah penggalan kalimat di buku tamu yang ditulis oleh Presiden pertama RI Soekarno ketika menghadiri pameran buku di Jakarta tahun 1950.
Umberto Eco seorang filsuf dan sastrawan kelahiran 5 Januari 1932 di Kota Alessandria, Italia memberikan inspirasi kepada khalayak tentang pentingnya membaca. Kritikus sastra yang melambungkan namanya lewat karya debutnya The Name of the Rose selalu mendorong agar anak-anak muda senang membaca.Â
Tokoh yang meninggal pada 19 Februari 2016 lalu di usia 84 tahun menyatakan membaca dapat menjelajah beragam kehidupan. Ketika Umberto Eco ditanya apa keuntungan membaca? Dia menjawab, "buku telah memungkinkan saya menjalani hidup yang tak terhingga jumlahnya."
Dua tokoh tersebut mewakili gambaran nyata bahwa kelahiran sebagian besar tokoh dan penulis, semuanya berawal dari kegemarannya membaca. Mereka menyadari bahwasanya tingkat kemampuan baca sangat menentukan masa depan sebuah bangsa. Pada ranah sosial hasil dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemampuan baca menunjukkan cermin kesejahteraan masyarakat.
Pada praksis pendidikan kita, untuk mengembangkan potensi utuh murid, Mendikbud menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Program Penumbuhan Budi Pekerti.Â
Salah satu poin penting pada Permendikbud tersebut adalah mendorong kecakapan dasar atas minat baca anak dengan mewajibkan murid 15 menit pertama sebelum proses pembelajaran membaca buku selain buku mata pelajaran. Diharapkan dengan membaca buku, potensi murid tumbuh serta terbuka ruang untuk menumbuhkan minat dan bakatnya.
Namun, sayangnya sampai saat ini efektifitas implementasi Permendikbud tersebut masih menemui banyak kendala. Mulai dari waktu, jenis buku, ketersediaan buku, kegiatan pasca baca, serta hambatan membangun budaya baca pada murid. Kendala tersebut membutuhkan turunan kebijakan agar kecakapan baca dapat diajarkan, dididikkan, dan dibudayakan.
Apalagi kalau kita berkaca pada fakta yang dihadapi Indonesia terkait kemampuan dan keterampilan baca masyarakat. Hasil dari penelitian tiga tahunan yang dilakukan oleh Programe for International Student Assessment (PISA) terhadap kemampuan dan keterampilan anak usia 14-15 tahun dalam reading literacy, Indonesia selalu berada pada peringkat bawah.Â
Hasil yang dirilis PISA yang diikuti Indonesia sejak penelitian PISA Tahun 2000 hingga PISA Tahun 2012 dari 40-65 negara, peringkat Indonesia di bidang reading literacy, selalu berada pada kisaran lima terbawah, terendah di Asia.
"Buku telah memungkinkan saya menjalani hidup yang tak terhingga jumlahnya."-- Umberto Eco.
Hasil Survei Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) Tahun 2012 menunjukkan kondisi senada. Dari 1.000 orang Indonesia hanya satu yang memiliki minat baca serius.Â
Rata-rata, kurang  dari satu buku yang dibaca per tahun. Demikian halnya hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang dilakukan pada 5-6 September 2015. Hasilnya rata-rata lama membaca buku warga Indonesia hanya 6 jam per minggu.Â
Bandingkan dengan warga india yang rata-rata membaca buku 10 jam per minggu, Thailand 9 jam per minggu, dan Tiongkok 8 jam per minggu. (Kompas 15/9/2015)
Sebuah ironisme ketika masyarakat kita belum akrab dengan buku dan membaca belum menjadi habitus, sudah dihadapkan pada era dimana kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari perangkat digital.Â
Pergeseran dan gap yang terjadi antar generasi semakin kentara. Setelah era baby boomers, generasi X, generasi Y, dan sekarang dihadapkan pada generasi Z. Generasi inilah yang mendominasi populasi dunia saat ini.
Generasi Z, adalah generasi yang berinteraksi dan sangat akrab dengan smartphone dan perangkat digital lainnya, bahkan sejak mereka masih usia balita. Salah satu yang menjadi ciri generasi ini adalah tuntutan serba instan dan cepat, tidak suka membaca teks, dan mereka lebih suka berkomunikasi dengan foto, video, dan animasi.Â
Mereka masih memiliki keinginan membaca tapi sebagian besar adalah membaca naskah serpihan yang terserak di dunia maya sambil sesekali memberikan komentar.
Era digital berkembang membawa dampak positif dan negatif. Untuk era saat ini, melarang seorang anak berdekatan dengan gawai bukanlah tindakan yang bijak. Mereka juga harus mengikuti perkembangan teknologi yang sesuai zamannya.Â
Gawai dapat memberikan peluang untuk mengakses informasi dan pengetahuan. Di sisi lain seorang anak sangat rentan terpapar pornografi, game "online", serta mengurangi kesempatan berkomunikasi tatap muka dengan orang lain.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat terjadi peningkatan yang signifikan pengguna internet di Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah pengguna internet yang luar biasa.Â
Tahun 2005 pengguna internet sebesar 7,8 persen dan pada 2014 menjadi sekitar 34,9 persen. Menurut APJII, 49 persen pengakses internet berusia muda 18-25 tahun, termasuk para murid. Inilah yang kemudian menjadi kajian pemerintah apakah murid diperbolehkan membawa gawai ke sekolah atau tidak.
Menghadapi generasi ini dibutuhkan semangat dan solusi alternatif agar mereka tetap memiliki keterampilan membaca naskah utuh lewat buku. Beberapa langkah literasi digital lewat penyediaan buku digital belum memberikan efek positif terhadap kemampuan baca anak. Mereka lebih suka membaca naskah serpihan lewat situs, blog, web, dan status pada media sosial.
Tahap era digital baru diikuti oleh anak-anak kita pada tahap keterpesonaan pada teknologi. Mereka belum mengembangkan potensi dan kemampuan literasinya melalui media digital. Ketika hal ini yang menjadi dominasi akibatnya adalah mereka tidak mampu berpikir runut, terstruktur, dan kritis.Â
Dampak destruktif lainnya adalah media digital digunakan untuk ajang pamer diri, bullying terhadap sesama, dan merendahkan martabat kemanusiaan.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan pada 2015 oleh Asosiasi Program Studi Fakultas Ilmu Komunikasi terhadap remaja SMA di Bandung, Cirebon, Cianjur, dan Purwakarta.Â
Penelitian ini dilakukan atas keprihatinan terhadap praktik plagiat yang dilakukan kalangan mahasiswa. Berdasarkan penelitian tentang perilaku berinternet remaja tersebut didapatkan hasil bahwa kemampuan membaca, menulis, dan berpikir kritis mereka masih sulit berkembang meski sumber belajar digital melimpah ruah. Para remaja masih belum mampu memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi untuk membuat mereka menjadi pembelajar. (Kompas, 5/2/2016)
Keberadaan buku mampu mentransformasikan ilmu pengetahuan, informasi, dan membuka wawasan. Buku juga dapat melahirkan  ide yang sebelumnya tidak pernah disadari pembacanya. Dengan kita membaca akan menumbuhkan gagasan yang sebelumnya terpendam. Dengan gemar membaca akan membuat matang cara berpikir dan akal budi manusia.
Gemar membaca berarti menjadikan aktivitas membaca sebagai sebuah tradisi. Ada sebuah ungkapan menarik bahwa pembaca hari ini dialah pemimpin hari esok. Membangun budaya membaca dapat  kita mulai dengan membiasakan diri menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi diri kita. Peran keluarga menjadi elan vital untuk menumbuhkan minat dan budaya baca. Budaya baca menjadi salah satu tolok ukur tingkat kecerdasan suatu bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H