Mohon tunggu...
Dul
Dul Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Orang biasa

Bahagia dan Membahagiakan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hilang

19 November 2024   11:23 Diperbarui: 19 November 2024   11:26 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kakinya melangkah dengan cepat bagaikan hewan kaki seribu merayap tak bersuara. Senyap tak bersuara. Tiba-tiba saja suara keras pada pintu rumah.

Santi seperti kesurupan matanya membelalak, nafasnya tak beratiran menahan emosi yang sedang naik. Ia mengepalkan tangan, Andai saya Yusuf tak memeluknya mungkin tangan kanannya sudah mengantam tembok, meskipun akan menyakiti diri sendiri.

"masalahnya sih sepele" ujar pak de yang menyaksikan akar permasalahannya.

Empat jam berlalu Santi di jemput oleh dua rekan sekolahnya. "iya itu memang temannya" ujar pak de meyakinkan. setelah ia pulang sekolah.

Neneknya mengerutu setiap Santi pergi, padahal pekerjaan rumah banyak sekali, belum lagi neneknya yang mempunyai warung makanan di rumahnya pasti banyak yang harus dikerjakan, Nyuci nampan atau harus mengerjakan yang lain.

Tapi, itu tak dilakukanya oleh cucunya. Ia memilih ajakan teman-temannya untuk bermain.

Memang, nenek santi tidak sengaja menumpahkan segala kekecewaan kepada tetangga yang membeli bakwan. kemudian kekecewaan neneknya Santi juga diketahui oleh tetangga lain.

Tetangga yang mengunjing Santi itu di sampaikan oleh temannya kepada Santi saat sedang hang out. Ia merasa malu mendengarnya, bagaikan ia tertampar dan dipermalukan oleh neneknya sendiri.

Memang, nenek santi tidak sengaja menumpahkan segala kekecewaan kepada tetangga yang membeli bakwan. kemudian kekecewaan neneknya Santi juga diketahui oleh tetangga lain.

Tetangga yang mengunjing Santi itu di sampaikan oleh temannya kepada Santi saat sedang hang out. Ia merasa malu mendengarnya, bagaikan ia tertampar dan dipermalukan oleh neneknya sendiri.

Tak lama setelah mendengar berita itu Santi pergi meninggalkan rekannya tanpa pamit, rekannya kebingungan berbisik kepada rekan lainya.

"Santi marah kali ya".

Yusuf yang menyaksikan Santi menuju neneknya bertanya-tanya, tanganya terkepal saat disapa tak menjawab, Yusuf mengikutinya dari belakang.

Santi di titipkan oleh ibunya yang bekerja di luar negeri sebagai PMI kepada neneknya hampir setahun. Sedangkan bapaknya tak berkabar setelah ia pamit untuk ikut berlayar dengan juragan kapal di desanya. Sehingga ibunya Santi memberanikan diri untuk jadi PMI demi masa depan anaknya dan memperbaiki kehidupanya.

Di desanya menjadi PMI adalah candu, setiap rumah pasti ada anggota keluarganya yang menjadi PMI. PMI adalah pilihan pekerjaan yang menjanjikan. Mengangkat martabak keluarga. Tiga tahun bekerja membangun rumah dan membeli sepetak sawah jaminannya.

"Pekerjaan di rumah atau di Indonesia tak bisa menjanjikan apa-apa hanya untuk bertahan hidup saja". ujar Udin, Bapak tiga anak yang ketiga anaknya menjadi PMI di negeri Jiran. Udin dan istrinya rumahnya bak sekolah day care bagi cucu-cucunya.


Ia dijanjikan anak-anaknya sebulan 2 juta untuk mengurusi segala tetek bengek kebutuhan cucunya di luar kebutuhan lainya.


 "ya mendingan ngurus cucu dari pada kerja buruh tani". ujarnya.


Kebutuhan cucunya tak lama setelah ia video call dengan anaknya di negeri Jiran langsung ada. Hp, sepeda listrik.Semua terpenuhi keinginannya.


Hilangnya Pengetahuan

Pekerja Migran Indonesia PMI adalah pilihan pekerjaan bagi masyarakat kelas bawah, Pedesaan. Anggapannya Desa tidak lagi menjanjikan untuk hidup. Sawah, ladang, sungai dan laut tak lagi dianggap menghidupi.  PMI lah harapan keluarga-keluarga di pedesaan.


Nyatanya, prilaku-prilaku eks PMI merubah semua karakteristik masyarakat pedesaan ia tak lagi sebagai produsen berubah menjadi masyarakat konsumen.

Kembali Miskin.

Karakteristik masyarakat konsumtif. Kisah Santi hanya sebagai contoh tokoh fiktif. Banyak Santi-Santi yang lain bertahun-tahun menjadi PMI tak merubah apapun, yang berubah hanya pola pemikirannya sebagai konsumen. Belum lagi faktor-faktor lain penyebab pola asuh keluarga yang menimbulkan kenakalan remaja. Masa jaya keluarganya masih menjadi mesin uang sebagai PMI namun apa daya saat tak lagi menjadi PMI. Pengetahuan sebagai orang desa yang bisa menyulap sawah, ladang, sungai dan lautan menjadi cuan kini hanya tinggal kenangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun