Mohon tunggu...
Abdullah Muhammad Saman
Abdullah Muhammad Saman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam | Universitas Islam Sunan Gunung Djati Bandung

Seorang mahasiswa Universitas Islam Negeri yang baru belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekularisme Minor Muslim di Indonesia

19 April 2023   19:00 Diperbarui: 19 April 2023   19:03 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kata Secularism dalam Kaca Pembesar. Foto: Shutterstock/GoodIdeas

Mengungkit perbincangan apakah sekularisme dapat diterapkan di Indonesia bukanlah perbincangan yang baru. Ide tersebut beranjak dari realitas sosial yang ada, yang mana Indonesia sebagai negara yang terdiri dari banyak agama dan suku di dalamnya tentu rawan akan konflik apabila di dalam pengambilan keputusannya lebih condong terhadap satu sisi.

Berbicara mengenai sekularisme juga merupakan hal yang sensitif, hal ini terjadi karena masih banyak orang yang beranggapan bahwa sekularisme merupakan pemisahan antara agama dengan negara, yang mana dalam membuat suatu peraturan atau kebijakan agama tidak perlu diikut sertakan (sekularisme sebagai ideologi). Hal demikian memang tepat namun, sekularisme juga dapat diartikan sebagai sebuah fase sosiologis guna memahami pemahaman rasional atas dunia.

Pada pembahasan kali ini akan dibahas mengenai salah satu sub-bab buku yang memiliki pembahasan menarik yang ditulis oleh Nader Hashemi, yang berjudul Islam, Sekularisme dan Demokrasi Liberal. Adapun pembahasan sub-bab yang akan diulas kali ini berkenaan dengan sekularisme yang terjadi di Indonesia berdasarkan sudut pandang sang penulis buku ini.

Akar Sekularisme di Indonesia

Akar sekularisme di Indonesia sendiri dapat di-tracing pada masa pergerakan nasional, tepatnya ketika bangsa Indonesia kala itu sedang merumusukan dasar filosofis negara Indonesia. Indonesia yang kala itu sudah menjadi negara mayoritas Islam tentunya terdapat salah satu kelompok nasionalis agamis yang ingin agama Islam mendapat perlakukan khusus, namun di satu sisi kelompok nasionalis lain khawatir apabila hanya Islam saja yang mendapat perlakuan khusus akan menjadi katalis dari retaknya kesatuan Indonesia yang hendak dibangun.

Atas pertimbangan tersebut, Sukarno beserta para tokoh pergerakan nasional lainnya mencetus Pancasila sebagai dasar filosofis negara serta sekaligus menjadi pemersatu bangsa Indonesia yang heterogen.

Dalam menanggapi tercetusnya Pancasila ini, partai-partai Islam kala itu tidak memiliki sentimen namun, pada 1950 hingga 1960 partai-partai Islam ini kekeh agar Islam mendapatkan perlakukan khusus yang lebih eksplisit di dalam konstitusional, secara tidak langsung juga menandakan bahwa partai Islam kala itu menginginkan penggabungan agama dengan negara. Selain partai-partai Islam, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah pada 1955 pun menyuarakan hal yang sama. Meskipun pada 1999 ketika lengsernya Suharto kedua organiasi Islam ini akhirnya menolak penggabungan hukum syariat ke dalam negara.

Apakah Pancasila Merupakan Buah dari Sekularisme?

Berdasarkan pengamatan pemilu 1955 dan 1999, Hashemi berasumsi bahwa adanya motivasi kuat terkait sekularisasi politik di Indonesia. Hashemi juga berpendapat bahwa alasan dibalik timbulnya motivasi sekularisasi politik terjadi salah satunya karena sifat dari Pancasila.  Pancasila sendiri telah sukses menjadi ideologi yang tepat bagi bangsa Indonesia, karena mampu menjaga stabilisasi dari terjadinya konflik, salah satunya ialah konflik agama. Selain itu juga terlahirnya Pancasila juga karena didukung oleh sebagian besar kelompok Islam.

Memang benar Pancasila secara gamblang memaparkan pentingnya kehidupan beragama di dalam suatu negara yang terususun pada poin pertama pada Pancasila. Namun secara implisit Pancasila tidak menganak emaskan salah satu agama yang ada di Indonesia.  Azyumardi Azra di dalam buku Hashemi juga menyebutkan bahwa Pancasila merupakan "Sekularisme ramah-agama". Sekularisme yang terjadi di Indonesia ini juga senada tapi tak serupa sepenuhnya seperti sekularisme yang ada di India. Sekularisme yang ada di India sendiri lebih menekankan bahwa harus terdapat jarak antara agama dengan negara.

Selain itu, partai politik Islam yang ada di Indonesia juga mendukung sekularisme dalam varian yang ringan, guna mendukung demokrasi liberal. Tidak dapat dibantahkan juga Indonesia telah melakukan pemisahan dalam ranah fungsional antara agama dengan negara, serta menolak privatisasi agama, namun terdapat kenyataan lain yang harus kita lihat bahwa Indonesia memberikan ruang yang luas kepada partai bernuansa agama di ruang publik. Implikasinya, terciptalah sebuah orientasi yang toleransi dan inklusif yang menjadi arus utama politik Islam di Indonesia, hal ini juga berimbas kepada tercegahnya Indonesia menganak emaskan salah satu agama yang ujungnya akan memecah belah bangsa. Jika ditarik kesimpulan berdasarkan arti Tocqevillian agama telah memelihara serta mendukung demokrasi serta sekularisme yang ada di Indonesia.

Apakah Indonesia termasuk Negara Sekuler?

Indonesia bukanlah negara yang menganut ideologi sekuler. Ideologi negara Indonesia sudah sangat jelas yakni, Pancasila, yang di dalamnya terdapat makna pentingnya kehidupan beragama dalam suatu negara.

Implementasi nilai Pancasila poin pertama sangat jelas, bahwa Indonesia turut andil dalam mengatur keagaamaan yang ada di Indonesia dengan cara dibuatnya lembaga khusus guna mengatur kepentingan keagaamaan yang ada yakni, Kementerian Agama RI. Sangat berbeda dengan negara sekuler, yang mana negara sekuler akan lepas tangan sepenuhnya terhadap kegiatan keagamaan yang ada di negaranya.

Pandangan Nurcholish Madjid terhadap Sekularisme

Hashemi di dalam bukunya juga membahas mengenai pandangan Nucrholish Madjid (Cak Nur) terhadap sekularisme. Cak Nur berpendapat mengenai perlunya umat Islam melakukan sekularisasi (proses pembebasan (dalam artian fase sosiologis bukan sekularisasi ideologi)). Hal ini dikarenakan menurut Madjid karena minimnya intelektualitas umat Muslim, sampai-sampai umat Muslim sudah tidak bisa lagi membedakan mana nilai-nilai transendental dan mana nilai-nilai yang temporal. Maka langkah yang diserukan oleh Cak Nur ialah temporalisasi nilai-nilai yang memang duniawi, dan membebaskan umat dari kecenderungan menspritualitaskan hal-hal yang bersifat duniawi (desakralisasi duniawi). Dalam konteks ini, Cak Nur mendorong untuk melakukan peninjauan ulang terhadap agama dan praktik, yang mana tidak ada yang perlu disakralkan dalam konsep negara Islam, partai politik Islam, maupun ideologi politik yang bernafaskan agama karena itu bukan sifat ilahi jadi tidak perlu disakralkan.

Sumber:

Hashemi, Nader. Islam, Sekularisme dan Demokrasi Liberal Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Islam. Translated by Aan Rukmana and Shofwan Al Banna Choiruzzad. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun