Mohon tunggu...
Abdullah Azzam Al Mujahid
Abdullah Azzam Al Mujahid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Sejarah

Suka bermain gitar, berpejalanan, membaca, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mewujudkan Masyarakat Multikultural dengan Menjunjung Keadilan HAM

15 Desember 2024   22:45 Diperbarui: 15 Desember 2024   22:45 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam masyarakat yang beragam, multikulturalisme agaknya menjadi realitas utama sekaligus sifat yang hidup. Namun, masalah-masalah seperti diskriminasi, bullying, dan perampasan hak asasi manusia yang terus eksis, telah menjadi suatu tantangan bagi bangsa yang multikultural, Indonesia misalnya.

Masalah-masalah itu adalah tantangan nyata yang hidup di tengah-tengah masyarakat multikultural. Sebagai negara yang kaya akan keragaman, Indonesia mesti melihat dan menyikapi kecenderungan multikultural dengan berbagai macam cara dan aksi nyata.

Salah satunya dengan menjunjung keadilan Hak Asasi Manusia. Apabila sudah menjadi kebiasaan yang dilandasi dengan toleransi terhadap perbedaan, maka multikulturalisme dapat dipertahankan dengan baik sebagai bentuk upaya merawat kekayaan akan keragaman yang ada berlandaskan moralitas dan pancasila.

Sekilas tentang Multikulturalisme dan Tantangan yang Dihadapi

Multikulturalisme terdiri dari tiga kata, yakni multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/pandangan). Ketiga kata itu digabung menjadi multikultural, di mana artinya pandangan mengenai masyarakat yang memiliki keragaman budaya. Keragaman budaya yang melekat itu dibentuk oleh banyaknya suku, ras, bahasa, etnis dan agama di suatu bangsa yang berasimilasi dan berakulturasi hingga membentuk bermacam kebudayaan yang mempunyai ciri khas masing-masing.

Hakikat dari multikulturalisme adalah toleransi antar kelompok yang berbeda-beda demi mencapai kepentingan bersama. Indonesia sebagai negara dengan beragam suku, etnis, ras, budaya, agama, dan bahasa tentunya membentuk masyarakat yang bersifat multikultural. Pancasila sebagai pedoman berbangsa dan bernegara, menjadi pegangan kuat untuk menghadapi tantangan dari sifat multikultural yang tumbuh di Indonesia.

Meskipun demikian, pertanyaan paling fundamentalnya adalah, dapatkah Indonesia mempertahankan sifat multikultural nya di tengah hiruk-pikuk diskriminasi, bullying, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia? Dengan tidak mengurangi nilai, atau merendahkan esensi dan substansi dari Pancasila, kiranya memang diperlukan suatu cara lain yang lebih progresif guna menciptakan persatuan dalam keberagaman masyarakat secara inklusif, alih-alih hanya mengandalkan Pancasila sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.

Relevansi Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Multikultural

Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang telah melekat pada diri manusia sejak lahir. Hak Asasi Manusia mencakup hak untuk hidup, hak untuk bebas dari perbudakan, hak untuk bebas dari diskriminasi, hak untuk bebas dari tindakan penyiksaan, hak untuk mendapat keamanan dan lain sebagainya.

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang mengagungkan keberagaman dalam kebhinekaan, perampasan Hak Asasi Manusia dan pengabaiannya menjadi penghambat sekaligus tantangan untuk mewujudkan dan mempertahankan masyarakat yang multikultural. Akan tetapi, mengapa pelanggaran Hak Asasi Manusia justru kerap terjadi dalam lingkup yang multikultural seperti Indonesia? Pertanyaan ini sekaligus memantik guna menjelaskan apa relevansi Hak Asasi Manusia dan multikulturalisme.

Masyarakat yang beragam akan suku, ras, etnis, bahasa, budaya, dan agama dalam suatu negara yang multikultural dilindungi oleh Hak Asasi Manusia. Kalau keberagaman itu tidak dijamin oleh negara dengan menegakkan keadilan HAM, situasi dan keadaan masyarakat dengan sifat multikultural akan dikacaukan oleh kesewenang-wenangan individu maupun kelompok tertentu yang amoral.

Cerminan dari pengabaian HAM yang berimplikasi menjadi masalah-masalah di negara multikultural dapat dilihat melalui kacamata sosiologi Karl Marx, teori konflik. Dalam teori konflik, Marx menekankan bahwa ragamnya perbedaan, mulai dari suku sampai kepentingan-kepentingan melahirkan manusia-manusia yang cenderung gemar bersaing hingga saling menjatuhkan.

Dalam suatu negara dengan kecenderungan multikultural, tidaklah dengan demikian menghapus diskriminasi, bullying, dan perampasan Hak Asasi Manusia. Karena pada dasarnya seperti apa yang ada dalam teori konflik, masyarakat yang beragam melahirkan manusia-manusia yang suka berkonflik, entah melalui persaingan maupun kesalahpahaman dalam perbedaan yang mencolok.

Menjunjung tinggi keadilan Hak Asasi Manusia dapat menjadi solusi alternatif, selain hanya mengandalkan pendekatan teori-teori multikulturalisme atau Pancasila. Dengan keadilan Hak Asasi Manusia, persoalan yang merebak dalam masyarakat multikultural dapat diselesaikan dengan baik, karena didasari oleh keberanian moral dan nilai-nilai humanisme yang melekat pada prinsip HAM.

Akan tetapi, tidak demikian berarti kita lantas mengabaikan pendekatan-pendekatan teori multikulturalisme dan Pancasila. Kita harus mengombinasikan antara pendekatan-pendekatan teori multikulturalisme, Pancasila, dengan keadilan Hak Asasi Manusia, alih-alih mengabaikan salah satu di antaranya.

Bagaimana Bentuk Kombinasi itu?

Saking beragamnya masyarakat Indonesia, tak heran kerap memunculkan pelbagai persoalan diskriminasi, bullying, dan bahkan perampasan Hak Asasi Manusia. Hal itu mengakibatkan terbentuknya sebuah realitas sosial yang kemudian hidup menjadi hambatan untuk mempertahankan sifat multikultural di Indonesia.

Pada dasarnya, mengombinasikan pendekatan teori multikulturalisme, Pancasila, dan keadilan Hak Asasi Manusia perlu dineracakan dengan realitas sosial yang hidup di tengah masyarakat. Sederhananya, realitas sosial yang hidup merupakan cerminan dari bentuk dari akan bagaimana kombinasi itu nantinya.

Realitas sosial di Indonesia sendiri jika dibiarkan akan tumbuh menjadi ancaman serius pada kelangsungan persatuan bangsa yang takkan terelakkan. Diskriminasi, bullying, dan permasalahan multikultural lainnya agaknya memang saling berkaitan yang kemudian bermuara pada pelanggaran Hak Asasi Manusia.

HAM sebagai hak dasar yang telah melekat pada masing-masing individu sejak lahir, menekankan pada jaminan individu untuk mendapatkan keamanan dalam hidup, kenyamanan, kebebasan untuk berpendapat dan lain sebagainya rupanya berangkat dari titik-titik gejala sosial masyarakat multikultural.

Kombinasi antara pendekatan teori multikulturalisme, Pancasila, dan keadilan HAM tentunya sudah memiliki alat untuk mengimplementasikannya secara nyata. Alat-alat itu yang menyediakan adalah negara dalam bentuk sebuah lembaga.

Namun, lembaga-lembaga yang diciptakan oleh negara seperti Komnas HAM sampai yang terbaru Kementerian HAM, saat ini hanya tampak sebagai sebuah pajangan untuk memperlihatkan kepada publik bahwa negara peduli dengan HAM. Tidak ada pergerakan dan tindakan secara signifikan dan substansial pada lembaga-lembaga itu.

Alat-alat itu harus dipercanggih dengan kombinasi antara pendekatan teori multikultural, Pancasila, dan HAM. Artinya, harus ada perombakan ketat pada alat-alat itu. Alih-alih hanya berceloteh di dalam gedung-gedung perlembagaan, mungkin negara agaknya harus menyediakan ruang untuk berdialektika masyarakat. Dalam ruang-ruang itulah, hak masyarakat dalam kebebasan berpendapat berfungsi.

Membangun ruang dialektika, artinya melibatkan masyarakat untuk menghadapi pelbagai persoalan multikultural yang berujung pada persoalan HAM itu sendiri. Secara tidak langsung, pembentukan ruang itu yang diharapkan adanya partisipasi masyarakat luas menjadi bentuk implementasi kombinasi antara teori multikulturalisme, Pancasila, dan keadilan HAM. Artinya, mewujudkan masyarakat multikultural dengan penegakan keadilan HAM bukanlah sekadar mimpi di siang bolong.

Jika kombinasi itu dapat diterapkan dengan baik dan didukung oleh negara, maka mempertahankan sifat multikultural dalam suatu masyarakat dapat dijamin usianya akan panjang karena kombinasi itu sendiri melibatkan tiga unsur (pendekatan teori, Pancasila, dan HAM) yang menjadi faktor-faktor fundamental dalam mendorong terbentuknya integrasi sosial.

Kesimpulan

Kekayaan akan keberagaman dalam masyarakat terkadang menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi suatu bangsa untuk mempertahankan keberagamannya itu dari ragam konflik yang tercipta. Akan tetapi, konflik-konflik itu dapat diatasi dengan terbentuknya ruang dialektika yang melibatkan seluruh unsur masyarakat.

Maka dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa masyarakat multikultural dapat dijamin oleh terbentuknya ruang dialektika sebagai hasil dari kombinasi tiga unsur, yakni teori multikulturalisme, Pancasila, dan keadilan HAM. Hanya mengandalkan salah satu dari ketiga itu, bagi saya tidaklah menjamin keutuhan dalam masyarakat multikultural.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun