Alat-alat itu harus dipercanggih dengan kombinasi antara pendekatan teori multikultural, Pancasila, dan HAM. Artinya, harus ada perombakan ketat pada alat-alat itu. Alih-alih hanya berceloteh di dalam gedung-gedung perlembagaan, mungkin negara agaknya harus menyediakan ruang untuk berdialektika masyarakat. Dalam ruang-ruang itulah, hak masyarakat dalam kebebasan berpendapat berfungsi.
Membangun ruang dialektika, artinya melibatkan masyarakat untuk menghadapi pelbagai persoalan multikultural yang berujung pada persoalan HAM itu sendiri. Secara tidak langsung, pembentukan ruang itu yang diharapkan adanya partisipasi masyarakat luas menjadi bentuk implementasi kombinasi antara teori multikulturalisme, Pancasila, dan keadilan HAM. Artinya, mewujudkan masyarakat multikultural dengan penegakan keadilan HAM bukanlah sekadar mimpi di siang bolong.
Jika kombinasi itu dapat diterapkan dengan baik dan didukung oleh negara, maka mempertahankan sifat multikultural dalam suatu masyarakat dapat dijamin usianya akan panjang karena kombinasi itu sendiri melibatkan tiga unsur (pendekatan teori, Pancasila, dan HAM) yang menjadi faktor-faktor fundamental dalam mendorong terbentuknya integrasi sosial.
Kesimpulan
Kekayaan akan keberagaman dalam masyarakat terkadang menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi suatu bangsa untuk mempertahankan keberagamannya itu dari ragam konflik yang tercipta. Akan tetapi, konflik-konflik itu dapat diatasi dengan terbentuknya ruang dialektika yang melibatkan seluruh unsur masyarakat.
Maka dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa masyarakat multikultural dapat dijamin oleh terbentuknya ruang dialektika sebagai hasil dari kombinasi tiga unsur, yakni teori multikulturalisme, Pancasila, dan keadilan HAM. Hanya mengandalkan salah satu dari ketiga itu, bagi saya tidaklah menjamin keutuhan dalam masyarakat multikultural.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H