Cerminan dari pengabaian HAM yang berimplikasi menjadi masalah-masalah di negara multikultural dapat dilihat melalui kacamata sosiologi Karl Marx, teori konflik. Dalam teori konflik, Marx menekankan bahwa ragamnya perbedaan, mulai dari suku sampai kepentingan-kepentingan melahirkan manusia-manusia yang cenderung gemar bersaing hingga saling menjatuhkan.
Dalam suatu negara dengan kecenderungan multikultural, tidaklah dengan demikian menghapus diskriminasi, bullying, dan perampasan Hak Asasi Manusia. Karena pada dasarnya seperti apa yang ada dalam teori konflik, masyarakat yang beragam melahirkan manusia-manusia yang suka berkonflik, entah melalui persaingan maupun kesalahpahaman dalam perbedaan yang mencolok.
Menjunjung tinggi keadilan Hak Asasi Manusia dapat menjadi solusi alternatif, selain hanya mengandalkan pendekatan teori-teori multikulturalisme atau Pancasila. Dengan keadilan Hak Asasi Manusia, persoalan yang merebak dalam masyarakat multikultural dapat diselesaikan dengan baik, karena didasari oleh keberanian moral dan nilai-nilai humanisme yang melekat pada prinsip HAM.
Akan tetapi, tidak demikian berarti kita lantas mengabaikan pendekatan-pendekatan teori multikulturalisme dan Pancasila. Kita harus mengombinasikan antara pendekatan-pendekatan teori multikulturalisme, Pancasila, dengan keadilan Hak Asasi Manusia, alih-alih mengabaikan salah satu di antaranya.
Bagaimana Bentuk Kombinasi itu?
Saking beragamnya masyarakat Indonesia, tak heran kerap memunculkan pelbagai persoalan diskriminasi, bullying, dan bahkan perampasan Hak Asasi Manusia. Hal itu mengakibatkan terbentuknya sebuah realitas sosial yang kemudian hidup menjadi hambatan untuk mempertahankan sifat multikultural di Indonesia.
Pada dasarnya, mengombinasikan pendekatan teori multikulturalisme, Pancasila, dan keadilan Hak Asasi Manusia perlu dineracakan dengan realitas sosial yang hidup di tengah masyarakat. Sederhananya, realitas sosial yang hidup merupakan cerminan dari bentuk dari akan bagaimana kombinasi itu nantinya.
Realitas sosial di Indonesia sendiri jika dibiarkan akan tumbuh menjadi ancaman serius pada kelangsungan persatuan bangsa yang takkan terelakkan. Diskriminasi, bullying, dan permasalahan multikultural lainnya agaknya memang saling berkaitan yang kemudian bermuara pada pelanggaran Hak Asasi Manusia.
HAM sebagai hak dasar yang telah melekat pada masing-masing individu sejak lahir, menekankan pada jaminan individu untuk mendapatkan keamanan dalam hidup, kenyamanan, kebebasan untuk berpendapat dan lain sebagainya rupanya berangkat dari titik-titik gejala sosial masyarakat multikultural.
Kombinasi antara pendekatan teori multikulturalisme, Pancasila, dan keadilan HAM tentunya sudah memiliki alat untuk mengimplementasikannya secara nyata. Alat-alat itu yang menyediakan adalah negara dalam bentuk sebuah lembaga.
Namun, lembaga-lembaga yang diciptakan oleh negara seperti Komnas HAM sampai yang terbaru Kementerian HAM, saat ini hanya tampak sebagai sebuah pajangan untuk memperlihatkan kepada publik bahwa negara peduli dengan HAM. Tidak ada pergerakan dan tindakan secara signifikan dan substansial pada lembaga-lembaga itu.