Mohon tunggu...
Abdullah Arroyyan Firdaus
Abdullah Arroyyan Firdaus Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Anggota Kelompok KKN 150

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Konsep kebahagiaan DI Akherat

22 Desember 2024   21:57 Diperbarui: 22 Desember 2024   21:57 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasa kebahagiaan yang dimaksud pada ayat diatas yaitu Ketika kita berada di akhirat atau surga kelak. Hal tersebut menunjukkan bahwa kebahagiaan yang diraih oleh manusia bukan hanya dari hasil kerja keras maupun jerih payah yang telah dilakukan ketika hidup di dunia semata, melainkan ada juga pemberian atau rezeki yang telah Allah titipkan.

Maka dari itu, konsep kebahagiaan didunia tidak bisa dijadikan sebagai standar dalam menentukan kebahagiaan yang hakiki. Meskipun seseorang tersebut telah meraih kesuksesan baik berupa karir yang bagus, mobil mewah, rumah yang megah, hingga beristri empat sekalipun. Maka di akhirat nanti justu dia akan mendapatkan balasan yang sebaliknya dan disebut sebagai orang yang celaka. Disini dapat disimpulkan bahwa tolak ukur kebahagiaan yang sejati itu bukan berasal dari persepsi duniawi melainkan berdasarkan standarisasi ukhrawi. Seberapa berat pun masalah hidup kita didunia, maka kita harus berusaha dengan berpedomankan pada tuntunan Tuhan yaitu Al-Qur'an dan hadits. Kebahagiaan itu sendiri berangkat dari rasa kesadaran akan banyaknya keinginan manusia maupun konflik yang berlangsung diantara keduanya.

Konsep kebahagiaan sering kali disebut sebagai konsep abadi yang mana akan selalu mengikuti peradaban zaman, maksudnya yaitu sebuah prinsip kebahagiaan yang tidak akan pernah usai untuk diperbincangkan dalam kehidupan manusia. Baik pada zaman dahulu, zaman sekarang, maupun di masa yang akan datang akan sama dalam hal menginginkan rasa kebahagiaan atas dirinya sendiri. Di dalam lingkup dunia filsafat maupun tasawuf, prinsip kebahagiaan bukan suatu permasalahan yang baru. Dengan demikian, secara tidak langsung kebahagiaan akan mengalami perubahan dalam dinamika perkembangan konsep. Sama halnya dengan pemikiran Al-Farabi, ia menjelaskan bahwa dalam mencapai kebahagiaan bukan hanya dengan mengesampingkan kesibukan yang bersifat duniawi saja atau bahkan hanya mengutamakan akhirat saja. Melainkan, berdasarkan  konsep yang teoritis dan praktis. Nampaknya Al-Farabi ingin mengutamka pentingnya kedua aspek tersebut dalam memperoleh sebuah kebahagiaan. Sedangkan upaya untuk mencapai sebuah kebahagiaan menurut al-Farabi diantaranya; dengan tekad yang kuat, kehendak diri sendiri, niat dalam hati, dan sikap menerima. Berdasarkan hal tersebut, setiap manusia dituntut untuk mengahadapi seluruh peraturan moral dalam hidupnya. Peraturan moral atau hukum moral yang dibuat oleh manusia merupakan kodrat bagi dirinya bukan orang lain. Bahkan setiap perbuatan yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari pun telah diatur oleh norma, yang menjadi kodrat bagi manusia sebagai makhluk rohani. (Drijarkara, 1981)

Dengan demikian, setiap sendi moral sebagai bentuk niat, tekad maupun kehendak manusia yang merupakan penunjuk arah tentang bagaimana manusia dalam menjalankan kodratnya tersebut. Misalkan dalam hal ini keinginan untuk mencapai tingkat kebahagiaan dengan kodratnya sebagai manusia, maka ikhtiar yang mestinya dilakuakan yaitu dengan melakukan hal-hal yang positif semasa hidupnya. Oleh karena itu, kehendak merupakan langkah awal bagi manusia untuk mengapai kebahagiaan tersebut. kehendak dan niat juga nyatanya dapat diartikan tentang apa saja yang ada didalam pikiran maupun hati manusia. Sebagai acuannya yaitu harus diimplementasikan dalam kehidupan kita maupun segala bentuk aspek yang berkaitan dan dinilai baik dalam pikiran maupun hati manusia yang harus diwujudkan. Jika tidak, maka kebahagiaan tidak akan didapatkan oleh manusia. Bukan hal yang mustahil, jika banyak diantara mereka yang tidak merasakan kebahagiaan di dunia ini. Hal tersebut sering terjadi karena mereka selalu menganggap baik, padahal apa yang ada  terbenak dalam hati dan pikirannya tidak selalu terwujudkan. Misalkan, seringkali seseorang  menganggap bahwa sedekah merupakan perbuatan yang mulia, namun pada realitanya mereka enggan untuk menyisihkan sedikit dari rezekinya untuk diberikan kepada oranglain. (Edrika Widdia Putri, 2018)

Al-Farabi menyebutkan, bahwa tercapainya suatu ma'qulat bagi manusia merupakan bentuk kesempurnaan. Prinsip kebahagiaan itu sendiri merupakan kebaikan yang dituntut  atas diri masing-masing semata, bukan secara hakikat ataupun dalam kurun waktu tertentu. Dengan artian, tidak ada hal lain yang lebih besar yang dapat dicapai manusia melainkan hal tersebut. (Muhammad 'Utsman Najati, 2002). Ia juga menambahkan bahwa dengan berlandaskan ilmu seseorang dapat mencapai tingkat kebahagiaannya masing-masing, sedangkan menurut pandangan para kaum sufi bahwa rasa kebahagiaan itu dapat dicapai dari pantangan diri atas segala bentuk  kenikmatan duniawi. (Muhammad 'Utsman Najati, 2002)

Akan tetapi jika kebahagiaan itu sendiri bersifat individual dapat menyebabkan kesulitan msialkan; tidak dapat diukur bahkan saling bertolak-belakang. Terkadang disaat kita melihat orang lain merasakan suatu kebahagiaan, namun realitanya ia sama sekali tidak merasakan seperti apa yang kita bayangkan. Sebaliknya, jika seseorang terlihat murunga tau banyak permasalahan hidup, bisa jadi ia sedang berbahagia. (M. Iqbal Irham, 2011). Sehingga tingkat kebahagiaan seseorang itu kembali pada individualisme serta tidak dapat ditentukan maupun dipaksa keran murni dari dalam hari nurani.

  • Usaha Dalam Pencapaian Kebahagiaan 
  • Dalam perjalanan menuju kebahagiaan yang sejati, tidak dapat dicapai hanya dikehidupan dunia saja. Karena tujuan akhir  merupakan ketentuan yang berdaulat atas alam raya yaitu Allah swt. Namun hal tersebut tidak lepas dari ikhtiar kita sebagai seorang hamba. Sehingga yang menjadi masalah yaitu bagaimanakah cara kita menyelaraskan diri dalam bertindak dan menjalani kehidupan menuju kebahagiaan sejati yaitu akhirat.
  • Dengan demikian dalam usaha pencapaian kebahagiaan yang sejati, kita harus senantiasa berbuat hal yang baik serta meninggalkan hal yang buruk. Hal tersebut dilakukan bukan hanya sesuai dengan tujuan akhir melainkan juga harus sesuai dengan kodrat kita sebagai manusia. Yang di dalam hatinya selalu mempunyai perasaan positif bagi dirinya serta kehidupan nya, sehingga manusia akan diarahkan oleh hati nurani nya tentang hal-hal yang baik.
  • Kemudian muncul masalah selanjutnya, yaitu bagaimana langkah yang dapat diambil agar selalu teguh dalam berbuat kebaikan dikehidupan sehari-hari? Secara jelas bahwa setiap insan manusia harus didasari oleh keimanan yang kuat, agar tumbuh sebuah kemantapan serta keyakinan dalam hati. Maka muncullah sifat arif, bijaksana, rasa lemah lembut, tasamuh dan teguh pendirian dalam setiap masalah kehidupan. Karakter orang yang berbahagia yaitu :
  • Suka memberi.
  • Dalam memberi seseorang tidak hanya dalam bentuk materi melainkan juga dapat melalui pikiran pada orang lain sehingga dapat membangun meringankan masalah yang sedang dialaminya. Prinsip "memberi" sering kali disama artikan dengan sebuah pemberian materi semata. Pemikiran tersebut telah menyempitkan makna memberi, dengan demikian diantara sebagian manusia yang enggan memberi dengan alasan tidak mempunyai uang atau harta yang berlebih bahkan merasa paling membutuhkan. Namun pada hakikatnya "memberi" cenderung berkaitan dengan kesiapan diri sendiri untuk menolong maupun membantu orang lain dengan berbagai upaya, bukan hanya dalam bentuk uang atau materi semata. Karena kita juga dapat membantu dengan cara lain, bisa dalam bentuk perhatian kecil, kepedulian antar sesama, memberikan waktu luang, kasih sayang tanpa pilih kasih, ataupun dukungan semangat sebagai support system bagi mereka dan lain sebagainya.(Aisyah, 2012)
  • Bertakwa.
  • Konsep takwa sering kali disama artikan dengan "takut kepada Allah" atau "menunaikan suatu kewajiban". Adapun pengertian diatas meliputi dua makna dasar takwa, namun keduanya memiliki sebuah batasan. Konsep takwa dapat diartikan dengan adanya suatu fondasi tak kasat mata dalam diri maupun lingkungan kita bahkan jauh lebih besar dari diri kita sendiri. Secara bijak, sesorang akan menyadari bahwa kehidupan diatur oleh nilai spiritual, bukan berdasarkan tingkah laku atau tekad. Karena setiap ucapan maupun perbuatan memiliki konsekuensinya masing-masing. (Aisyah, 2012)


  • Menunjukkan hal yang terbaik.
  • Berbagai macam gagasan maupun pemikiran seseorang, mucul dan bertemu di dunia ini. Sebagai makhluk yang bijak, manusia akan menetapkan apa yang menurut baik bagi dirinya maupun masyarakat lainnya. Serta mendukung sebuah pemikiran maupun gagasan dengan didorong oleh setiap golongan, kebanggaan individualisme, masing-masing suku, maupun bangsa justru hanya akan mendangkalkan bahkan mempersempit pemikiran saja. (Aisyah, 2012)

  • KUNCI MERAIH KEBAHAGIAAN AKHIRAT
  • Adapun diantara karakteristik dalam memperoleh kebahagiaan di akhirat yaitu berikut ini:
  • Beriman kepada Allah swt.
  • Disini konteks beriman dapat diartikan bahwa setiap makhluk hidup baik itu perempuan maupun laki-laki harus menyaikini akan adanya Allah sebagai Tuhan yang menciptakan alam semesta. Dan Nabi Muhammad saw. Sebagai utusan Allah bagi seluruh umatnya dan menjadi suri tauladan yang baik (Uswatun Khasanah) dalam segala aspek kehidupan. Melaksanakan segala bentuk perintahnya serta menjauhi segala bentuk larangannya, sama halnya dengan perbuatan maksiat yang sering dilakukan oleh setiap manusia. Sebagaiman yang telah  Allah tetapkan dalam Al-Qur'an dan Hadits .
  • Beramal Shaleh
  • Menjauhkan diri dari perbuatan sia-sia
  • Meninggalkan hal yang sia-sia atau tidak bermanfaat bagi dirinya, keluarganya dan juga agamanya, merupakan bagian dari tanda kebaikan seseorang. Baik berupa perkataan maupun perbuatan, seperti menjaga lisan dari ucapan yang tidak berguna dan dapat menyinggung perasaan orang lain. (Oase, 2022)
  • Memperbanyak ibadah mu'amalah antar sesama, seperti halnya dalam hidup bertentangga. Bagaimana cara kita dalam bersosialisasi dan berinteraksi dalam masyarakat. Misalkan hal yang sering terjadi yaitu ghibah, seperti yang kita ketahui bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan  sia-sia. Akan menjadi lebih baik jika kita membentuk sebuah  majlis ta'lim (majlis ilmu), dimana menjadi wadah ilmu bagi halayak ramai atau mengagendakan sedekah jum'at yang sering disebut dengan jum'at berkah sehingga menjadi ladang pahala bagi kita semua.

  • Menjaga Amanah
  • Dalam sebuah kehidupan, sering kali kita diberikan sebuah amanah maupun  kepercayaan dari orang lain dalam hal apapun. Dengan demikian, mereka harus menepati janjinya untuk menyampaikan pesan yang telah diamanahkan tersebut kepada yang berhak atas hal itu. Baik itu sebuah amanah yang di dalamnya terdapat hak kepada Allah maupun hak terhadap manusia. Sebagaimana pada hadis Nabi Saw. (tanda-tanda orang munafik ada tiga apabila ia berkata dia bohong, apabila ia berjanji ia mengingkari, dan apabila ia dipercaya ia bekhianat).
  • Amanah bukan hanya berbentuk barang tetapi juga dapat berbentuk ucapan yang harus disampaikan kepada yang berhak akan hal tersebut. Misakan dalam sebuah negara, akan ada banyak ulil amri atau pemerintah dari berbagai bidang dan lembaga. Dimana kedudukannya saat ini yaitu sebagai wakil dari rakyat sebagai wadah aspirasi serta keluh kesah yang ada. Berdasarkan hal tersebut, sebagai wakil rakyat sudah menjadi kewajiban bagi mereka untuk menyampaikan apa yang dikeluhkan tersebut.
  • Bersyukur kepada Allah
  •  Allah swt. yang maha menciptakan siang dan malam, langit dan bumi, serta apa yang ada didalamnya. Menetapkan segala bentuk kenikmatan yang ada di dunia hingga tidak dapat dihitung oleh tangan manusia. Baik itu berupa nikmat sehat, iman islam maupun ihsan, hal tersebut menjadikan kewajiban bagi kita semua untuk senantiasa bersyukur atas apa yang telah Allah karuniakan.
  • Dengan demikian, jika kita senantiasa bersyukur maka Allah akan menambahkan nikmat kepada kita. Namun, apabila mengkufuri nikmat yang telah Allah berikan maka azab Allahlah yang akan menjadi jaminannya.
  • Berdzikir kepada Allah
  • Dengan berzikir kepada Allah merupakan sebuah bentuk riyadhah kita sebagai seorang hamba untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada-Nya. Jika kita senatiasa tenggelam dan memanfaatkan waktu luang kita untuk bertafakur kepada Allah, maka kita akan mendapatkan berbagai manfaat dari dzikir tersebut, baik manfaat secara jasmani, jiwa maupun rohani. Misalkan; mampu menguatkan dan menyehatkan tubuh, serta membuat wajah berseri-seri, hal tersebut menjadikan setiap orang yang menatapnya akan merasakan keteduhan dan kesejukan yang terpancar dari wajahnya tersebut. (Ulfa Zahara, 2018)
  • Rendah hati terhadap orang lain
  • Sebagai makhluk sosial yang selalu membutuhkan bantuan dari orang lain, sudah sewajarnya bagi kita untuk bersikap rendah hati antar sesama. Karena tidak menutup kemungkinan bagi kita meminta pertolongan dari sanak, saudara maupun tetangga terdekat. Sikap rendah hati (tawadhu') juga dapat diartikan dengan memberikan kemudahan maupun memudahkan setiap urusan terhadap orang lain dalam berbagai hal yang ada di kehidupan sehari-hari.
  • Hakikatnya perjalanan untuk menggapai kebahagiaan di akhirat kelak, pun Kembali kepada diri sendiri. Bagaimana kita dalam bersikap maupun berucap kepada orang lain, disitu dapat dinilai semasa hidup di dunia. Jika dalam bermu'amalah terhadap sesama makhluk ia senantiasa berbuat baik dan tidak menunjukkan sikap dzolim, maka dia akan mendapatkan ganjaran yang setimpal di akhirat nanti. (Ulfa Zahara, 2018)
  • Menyiasati Godaan Setan
  • Allah Swt. Adalah maha pencipta alam dan seisinya, termasuk hewan dan manusia. Selain keduannya, kita juga hidup berdampingan dengan salah satu makhluk ciptaan Allah yang sering disebut sebagai syaithan. Dengan demikian, kita sebagai sesama ciptaannya harus saling mempercayai akan kebenaran dan keberadaanya meskipun tidak tampak oleh mata kita.
  • Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa setan merupakan musuh yang nyata bagi setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan. Maka dari itu, sebagai seorang hamba Allah yang patuh akan perintahnya serta menjauhi bentuk larangannya, merupakan salah satu bentuk ikhtiar kita sebagai manusia dalam menghadapi godaan dan tipu muslihat setan terhadap manusia. Baik dalam bentuk bermu'amalah kepada sesama manusia maupun bermu'amalah kepada Allah swt. (Ibadah).
  • Kemudian muncullah sebuah pertanyaan mengenai bagaimanakah car akita dalam menghadapi musuh yang nyata (syaithan) dalam kehidupan sehari-hari ? Padahal tidak terlihat dalam pandangan kita, namun selalu berada disisi kita.
  • Dalam menghadapi musuh yang nyata dalam kehidupan, tidak perlu menggunakan kekerasan maupun perkataan yang kasar. Hal tersebut dikarenakan, setiap tindah kejahatan tidak bisa dipatahkan dengan kejahatan atau kekerasan pula. Melainkan dengan perbuatan baik dan kebajikan dalam bentuk apapun. (Ulfa Zahara, 2018)

  • KESIMPULAN
  • Kebahagiaan yang dicapai oleh manusia bukan hanya perihal kekayaan dan nikmat dunia semata, melainkan juga bagaimana cara mereka dalam bermu'amalah antar sesama makhluk juga bermu'amalah dengan sang khalik. Karena tolak ukur suatu kebahagiaan yang sejati itu bukan hanya berasal dari persepsi duniawi melainkan juga berdasarkan standarisasi ukhrawi. Sebagai makhluk ciptaannya, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk senantiasa berbuat hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi orang lain serta menjauhkan diri dari segala bentuk perbuatan yang sia-sia serta mengandung unsur dosa. Dengan bertafakur kepada Allah serta diiringi dengan berbagai bentuk ibadah, sudah menjadi ikhtiar kita sebagai seorang hamba yang mengharapkan kebahagiaan yang hakiki dan sejati baik didunia maupun diakhirat.
  • Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebahagian menurut Ibnu At-Thabari yaitu kehidupan yang baik serta mencakup seluruh bentuk ketenangan, bagaimana pun bentuk wujudnya, seperti diberikan kemudahan rezeki, orang yang berserah diri, dan diberikan perasaan cukup. Maka akan terwujud suatu kebahagiaan maupun ketenangan bagi dirinya sendiri. Serta tingkat kebahagiaan seseorang itu kembali pada individualisme serta tidak dapat ditentukan maupun dipaksa karena murni dari dalam hari nurani.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Fatah, S. (2012). Qimatuz Zaman 'Indal 'Ulama Al-Qur'an: terj Abu Umar Basyir, dkk. Manajemen Waktu Para Ulama. Solo: Zamzam.

Adnan. (2014). Tinjauan Kritis Atas Tarikh Al-Umam wa Al-Muluk Karya Ibn Jarir At-Tabari. Jurnal Al-Qalam, 285.

Aisyah. (2012). Jalan Kebahagiaan. Jakarta: Zaman.

Alaydrus, H. S. (2009). Agar Hidup Selalu Berkah : Meraih Ketrentaman Hati Dengan Hidup Penuh Berkah. Bandung: PT. Mizania Pustaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun