Mohon tunggu...
Abdullah Arroyyan Firdaus
Abdullah Arroyyan Firdaus Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Anggota Kelompok KKN 150

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Konsep kebahagiaan DI Akherat

22 Desember 2024   21:57 Diperbarui: 22 Desember 2024   21:57 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

b. Menganalisa fenomena kebahagiaan dengan tinjauan ayat-ayat Alquran

c. Memahami pesan yang disampaikan Alquran tentang ayat-ayat yang membahas kebahagiaan.

2. Manfaat

a. Diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat memberikan gambaran tentang kebahagiaan dalam pandangan Alquran sehingga dapat dijadikan pegangan bagi umat sekarang dalam memahami kebahagiaan akhirat.

b. Mengembangkan kajian Alquran secara tematik yang nantinya sebenanrnya merupakan pijakan awal dalam penelitian tentang kebahagiaan.

METODE PENELITIAN

     Sumber penelitian ini berasal dari menganalisis makna Surat Al-Hud ayat 108. Hal ini karena penelitian dilakukan secara kontekstual yakni mengungkap makna yang tersirat pada ayat tersebut. Sesuai dengan jenis penelitian yaitu kualitatif dengan menggunakan kajian pustaka, dengan demikian sumber data yang penulis gunakan di dalam penelitian yaitu sumber yang tertulis berupa Al-Quran, kitab-kitab tafsir, jurnal, buku-buku, serta karya-karya ilmiah lainnya. Metode pengumpulan data pada penelitian ini ialah metode dokumentasi karena penelitian ini bersifat kualitatif. Oleh karena itu metode pengumpulan data yang lebih sesuai adalah dengan teknik dokumentasi, yaitu pengumpulan data melalui berbagai kitab-kitab tafsir, buku-buku serta literature lainnya yang relevan dengan tema yang diangkat. Di dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan pendekatan tematik atau maudhu'i dengan membahas penafsiran ayat-ayat yang mempunyai keterkaitan dengan tema yang telah penulis tentukan, dari berbagai sumber primer yaitu kitab-kitab tafsir yang menjadi rujukan utama.

PEMBAHASAN

 

  • BIOGRAFI IBNU AT-THABARI
  • Nama asli dari Imam At-Thabari adalah Muhamad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib, beliau merupakan seorang imam, ulama dan mujtahid. Beliau mempunyai kauniyah yaitu Abu Ja'far Ath Thabari, berasal dari Amuli bagian dari daerah Thabristan yang terletak dipantai selatan laut Thabaritsan pada tahun 225 H/839 M dan meninggal di baghdad pada tahun 310 H/923 M. Beliau merupakan salah sosok ilmuwan yang sangat dikagumi baik dalam kemampunnya mencapai tingkat tertinggi maupun dalam berbagai disiplin ilmu, antara lain fiqih (hukum islam) sehingga pendapat-pendapatnya yang terhimpun yang bernama Madzab Al-Jaririyah. (Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari,1992)
  • Beliau juga merupakan seorang yang berkulit sawo matang, berbadan kurus dan tinggi, bermata lebar, berbicara fasih, jenggot serta rambutnya berwarna hitam sampai beliau wafat. Meskipun sebagian rambutnya telah beruban, tetapi uban bukan karena semir atau pewarna lain. Ath-Thabari adalah sosok yang dikenal memiliki banyak ilmu yang dimana tidak ada seorang pun ulama di masanya seperti beliau. Yang mampu menghafal Al-Qur'an beserta qira'atnya (cara membacanya) serta memahami makna serta seluruh hukum-hukum yang terkandung didalamnya. (Syeikh Ahmad Farid, 2006)
  •  Ath-Thabari hidup di akhir-akhir masa kekhalifahan dinasti Abbasiyah, sedangkan pada saat itu umur beliau belum genap tujuh tahun. Kemudian kekuasaan dinasti Abbasiyah itu pun tumbang, sehingga diganti dengan kekuasaan yang disebut oleh para ahli sejarah dengan masa kekhalifahan dinasti Abbasiyah kedua. Dilihat dari segi perpolitikan, masa kehidupan Imam Ath-Thabari sering terjadi pemberontakan maupun pertentangan terhadap pemerintah pusat dari sejumlah wilayah daerah. Bersamaan juga, saat itu merupakan zaman kejayaan dalam bidang keilmuan, dimana proses penulisan serta penyusunan buku sudah muncul di mana-mana. (Muhammad bin Thahir Al-Barzanji, 2011). Dan pada abad ke-10, Imam Ath-Thabari menyandang gelar sejarawan muslim terkemuka di masa dinasti Abbasiyah. (Adnan, 2014)
  • Saat itu, beliau tumbuh menjadi pribadi yang berakhlak karimah, memiliki integrasi tinggi, bersikap wara dan zuhud terhadap nikmat dunia bahkan lebih mengutamakan aspek spiritual dibandingkan material. Dalam berinteraksi Akhlakul Karimah merupakan pilar yang utama, berbagi pengetahuan, bekerjasama, saling mencintai, menyayangi dan saling percaya satu dengan yang lain. Selain hal tersebut, akhlak terpuji juga menjadi pintu ilmu dalam proses  thalabul ilmi. Selain hal tersebut, nyatanya seorang Imam Ath-Thabari juga pandai dalam menghibur, dan menjadikan beliau terkesan sebagai sosok yang humoris terhadap lingkungan sekitadrnya, namun sebenarnya hatinya bersih. Akhlaknya sangat mulia, baik ketika makan, dalam segi berpakaian, maupun dalam melakuakan kegiatan kesehariannya yang bersifat pribadi dan humble. (Syeikh Ahmad Farid, 2006). Maka dari itu, sangat proposional jika beliau dapat menguasai berbagai disiplin ilmu mukhtar saat itu. (Muhammad Bakr Ismail, 1991). Pada awalnya, Imam Ath-Thabari menganut madzhab Syafi'I, namun setelah mendalami lebih jauh terkait madzhab tersebut, beliau memutuskan untuk membentuk madzhab sendiri yang disebut dengan madzhab Fiqih Jaririyah (yang diambil dari nama ayahnya). (Rasihan Anwar, 1949). Hal ini terjadi pada sepuluh tahun, setelah beliau Kembali dari Mesir. Namun, madzhabnya kemudian hilang kepamoran bahkan sampai dilupakan oleh orang-orang karena dianggap bertolak belakang dengan madzhab Syafi'I dan madzhab Hambali.
  • Ayah beliau bernama Jarir,  merupakan seorang saudagar yang tawadhu' dan sederhana, serta mencintai ilmu dan para ulama. Kecintaannya terhadap ilmu semakin bertambah setelah beliau bermimpi. Dalam mimpinya Imam Ath-Thabari berkata, "Ayahku pernah bermimpi melihatku berada di hadapan Rasulullah SAW, kemudian di tanganku terdapat sebuah kantung yang berisi batu dan aku melemparkannya di hadapan beliau (ayahku), kelak putramu (Ath-Thabari) Ketika dewasa akan menjadi seorang alim yang mengabdi kepada agamanya. Mendengar penjelasan mimpi tersebut, ayahku pun dengan penuh semangat memberikan dorongan penuh kepadaku dalam menuntut ilmu, padahal saat itu aku masih sangat belia". Imam Ath-Thabari kecil selalu patuh akan perintah ayahnya untuk menuntut ilmu, bahkan beliau dengan sungguh-sungguh dan melakukannya dengan sepenuh hati. Dalam lingkungan keluarganya beliau sangat mendapatkan perhatian lebih terhadap ilmu terutama ilmu agama, yang mana sangat memberikan dampak positif terhadap kepribadian Imam Ath-Thabari. Dalam perjalanan menuntut ilmunya, beliau mengawali dari tanah kelahiran sendiri yaitu Amul. Segala bentuk perjuangan serta usaha keras beliau telah dilakukan dalam menuntut ilmu diantaranya; dengan menyimak setiap penjelasan sang guru, kemudian menghafalkan serta mencatatnya supaya mudah untuk diingat kembali(Ibnu Rusydi dkk, 2018)
  • Kemudian Ath-Thabari melanjutkan pendidikannya di kota Rai dengan berguru kepada Ibnu Humaid Ar-Razi. Para ulama Tarikh menuliskan bahwa Ath-Thabari memulai pendidikannya pada tahun 236 H, dan saat itu usia beliau dua belas tahun. Ath-Thabari juga pernah bercerita tentang masa kecilnya, "dalam sehari-hari kami biasanya belajar kepada Ahmad bin Hammad Ad-Daulabi, beliau tinggal di salah satu kampung yang ada di Negeri Rai. Karena jarak yang ditempuh cukup jauh dari pusat kota Rai, sehingga setelah belajar dari beliau kami harus berlari sekencang-kencangnya ke pusat kota Rai supaya kami dapat menghadiri dan mengikuti majlis Muhammad bin Humaid."( Muhammad bin Thahir Al-Barzanji, 2011)
  • Beliau juga memanfaatkan waktunya dalam beberapa tahun untuk mendalami ilmu-ilmu serta tradisi-tradisi Arab. Kemudian beliau mengisi waktunya untuk mengajar dan menulis, beliau menolak imbalan-imbalan yang diberikan kepadanya bahkan juga menolak ajakan untuk menjalankan jabatan penting dalam pemerintahan disana. Sehingga hal tersebut membuat beliau lebih mengkonsentrasikan diri dalam mendalami berbagai disiplin ilmu. Keahlian beliau tidak hanya sebatas dalam bidang sejarah, fiqih, tafsir dan hadits saja, namun beliau juga menguasai dalam bidang leksikografi, tata bahasa, bidang sastra, logika, tradisi Arab, serta kedokteran. (Raihan Anwar, 1949)
  • Guru-Guru Beliau
  • Adapun diantara guru-guru beliau yaitu; Humaid bin Ar-Razi, Ismail bin Musa a.s Suddi, Muhammad bin Al-Mutsanna, Ishaq bin Abi Israil, Muhammad bin Abdul Malik Abi Asy Syawarib, Muhammad bin Hamid Razi, Fadhl bin Ash-Shabbah, Muhammad bin Abi Ma'sar, Sufyan bin Waqi', Abdah bin Abdullah As-Shaffar, Ahmad bin Mani' dan lainnya. (Srifariyati, 2017)
  •             Imam al-Nawawi juga menuliskan diantara nama guru Ath-Thabari lainnya, terutama mereka yang juga menjadi guru al-Bukhari dan Muslim dalam bidang hadits, seperti al-Walid ibn Syuja`, Abu Kuraib Muhammad ibn al-`Ala', Ya`qub ibn Ibrahim al-Dauraqi, Abu Sa`id al Asyaj, `Amr ibn Ali, Muhmmad ibn al-Mutsanna dan Muhammad ibn Yasar.
  • Adapun diantara penuntut ilmu yang menjadi murid-murid Imam Ath-Thabari rahimahullah yaitu; Abu Syu'aib bin Hasan Al-Harrani, Abul Qasim ath-Thabrani, Abu Ahmad bin 'Adi, Abu Ja'far bin Ahmad bin Ali Al-Katib, Ahmad bin al-Qasim al-Khasysyab, Amr Muhammad bin Ahmad Hamdan, Abdul Ghaffar bin Ubaidillah Al-Hudhaibi, Mu'alla bin Said, Abu Al-Mufadhdhal Muhammad bin Abdillah Syaybani, Abu Bakar asy-Syafi'I dan lainnya. (Srifariyati, 2017)



  • 2`. Karya-karya Beliau
  • Dalam dunia pendidikan, Imam Ath-Thabari sangat dikenal sebagai sosok yang rajin  dalam bidang ilmu yang dipelajarinya, serta sungguh-sungguh dalam menambah wawasan ilmu pengetahuan. Sehingga banyak bidang ilmu yang dikuasai, hal ini ditunjukkan dalam setiap harinya beliau mampu menulis empat puluh halaman. (Muhammad Sa'id Mursi, 2012). Selain hal tersebut, beliau juga selalu membagikan setiap ilmu-ilmu yang dikuasainya menjadi sebuah karya tulis. Terbukti dengan Kitab-kitab karangannya yang didalamnya terdapat berbagai disiplin ilmu, seperti tafsir, fiqh, ushul fiqh, hadits, tauhid, dan ilmu kedokteran, serta ilmu bahasa Arab. Hingga saat ini pun, belum ada informasi yang pasti terkait buku yang telah beliau tulis karena tidak semua buah karya Imam Ath-Thabari sampai pada tangan kita. (Setia Gumilar, 2017)
  • Imam Ath-Thabari mempunyai banyak karangan kitab dan karya-karya nya pun sangat dikagumi oleh para ulama dan peneliti. Adapun diantara karya beliau yaitu: Adab Al-Manaasik, Tarikh Al-Umam wa Al-Muluk atau Kitab Ikhbar Al-Rasul Al-Muluk, Jami' Al-Bayan 'An Ta'wil Al-Qur'an atau dikenal pula dengan Jami'Al-Bayan. Kemudian Ikhtilaf Ulama' Al-Amsar Fi Ahkam Syara'I Al-Islam, Tandzib Al-Asar wa Tafsil Al-Sabit 'an Rasulillah min Al-Akbar, kitab Ulinnuha wa Ma'alim Al-Hud Al-Jami' Fi Al-Qira'at, kitab Al-Fadha'il,  Latif Al-Qanul Fi Ahkan Al-Sura'I Al-Islam, Al-Bashir Fi Ulum Al-Din, kitab Al-'Adad wa Al-Tanzil, kitab Zail Al-Muzail,  Al-Musnad Al-Mujarrad, Al-Radd'ala zi Al-Asaataz, Adab Al-Nufus Al-Jayyidah wa Al-Akhlak An-Nafisah, Sarih As-Sunnah, kitab Adab Al-Qudah, kitab Al-Mufiz fi Al-Usul, kitab Qira'at wa Al-Tanzil Al-Qur'an, dan Mukhtasar Al-Faraid . (Setia Gumilar, 2017)
  • Dalam proses penulisan beliau menggunakan system isnad, selain itu  juga metode tahlili   pun turut diterapkan. Bukan hanya mengamati ayat-ayat Al-Qur'an saja, beliau juga menjelaskan seluruh aspek beserta makna yang tersirat didalamnya sesuai dengan runtutan setiap bacaan yang terdapat dalam al-Qur'an mushaf. (M. Quraish Shihab dkk, 2008)
  • Dalam penyajian tafsirnya beliau menyajikan berbagai bentuk argument serta menentukan mana yang paling shahih, serta membahas istinbat dan I'rab. Adapun metode yang dipakai oleh Imam ath-Thabari dalam tafsirnya, yaitu dalam menafsirkan suatu ayat maka beliau akan mengajukan pendapatnya terkait ta'wil (tafsir) firman Allah, kemudian beliau menafsirkan dengan mengacu kepada pandangan para sahabat dan tabi'in yang diriwayatkan melalui sanad secara lengkap. Sebagai pengamalan bil ma'tsur beliau mengungkapkan segala riwayat yang berkenaan dengan ayat tersebut dan mengemukakan pandangan-pandangan (riwayat-riwayat) antara satu dengan lainnya lalu mentarjihkan salah satunya. Kemudian beliau juga menjelaskan aspek I'rab, apabila hal tersebut dianggap perlu dan menginstinbatkan sejumlah hukum. (Manna Khalil Al-Qatan, 1992)



  • TAFSIR AYAT KEBAHAGIAAN
  • Setiap manusia sangat berharap dapat menggapai kebahagiaan, baik bahagia selama di dunia maupun bahagia di akhirat nantinya. Adapun rasa bahagia itu sendiri merupakan keadaan batin yang sulit untuk dirasakan dan disadari kehadirannya, namun mudah untuk diucapkan. (Habib Syarief Muhammad Alaydrus, 2009). Untuk mencapai tingkat kebahagiaan itu sendiri juga dibutuhkan sebuah ikhtiar kita sebagai manusia yaitu senantiasa beramal sholeh dengan mengharapkan sebuah ganjaran yang lebih baik atas apa yang telah dikerjakan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Hud ayat 108 sebagai berikut:

Terjemahan: "Dan Adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) didalam surga; mereka kekal didalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tidak ada putus-putusnya". 

Dalam proses pentafsiran penggalan ayat diatas, Imam At-Thabari menakwilan kata sa'idu dengan ruziqu al-sa'adah, yang berarti diberi rezeki dalam bentuk rasa kebahagiaan. Karena setelah dikeluarkan dari neraka kemudian dimasukkan ke dalam surga(Imam Ath-Thabari, 2009). Sebagaimana yang tertulis dalam  kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) kata bahagia diterjemahkan dengan suatu keadaan ataupun perasaan senang, tentram atau bebas dari segala bentuk hal yang menyulitkan(Pusat Bahasa Departement Pendidikan Nasional, 2008).  Kebahagiaan dan kesenangan merupakan dua hal yang berbeda.  Kebahagiaan disini lebih cenderung bersifat psikologi-spiritual bahkan bersifat abadi, sedangkan kesenangan cenderung bersifat material atau sesuatu yang bersifat pendek. Sehingga, secara harfiah bahagia atau kebahagiaan merupakan sesuatu yang menggambarkan suatu keadaan. Kebahagiaan juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang menjadi tujuan maupun harapan yang ingin digapai oleh setiap manusia. Saat sebuah tujuan ataupun harapan kita telah terpenuhi, maka ia akan merasakan puas, senang, maupun bahagia(Khairul Hamim, 2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun