Mohon tunggu...
Abdullah Syukrun Niam
Abdullah Syukrun Niam Mohon Tunggu... -

Duniaku akan mengherankan setiap orang ketika akhirnya terungkap Visit my blog : thesecondwings.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Tuan Matulessy

6 Januari 2019   09:49 Diperbarui: 7 Januari 2019   17:49 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
coratcoretimaji.wordpress.com

Ahad, 6 Januari 2019...

Sedari kecil dulu, saya tidak pernah punya yang namanya tokoh idola. Aktor, penyanyi, atau atlet mungkin? Benar-benar tidak pernah punya. Saya selalu menikmati satu karya secara keseluruhan, bukan karena ada satu orang yang terlibat dalam karya tersebut.

Untuk kemudian datanglah Reza Rahadian Matulessy. Aktor kelahiran Bogor 1987 ini (meski tetap bukan tokoh idola) berhasil membuat saya setia mengikuti karya-karyanya.

Saya pertama kali berkenalan dengan akting ciamik Reza, ketika ia berperan sebagai Abi Usman di film Hafalan Shalat Delisa (2009), adaptasi novel berjudul sama karya Tere Liye. Satu alasan yang membuat saya sebagai sesama lelaki kagum pada aktor berusia 31 tahun ini adalah karena wibawanya. Sungguh, ia benar-benar lelaki dengan kewibawaan yang didambakan setiap pria.

Lihat bagaimana gestur dan mimik muka Reza saat menyaksikan kampung halamannya yang luluh lantak oleh tsunami. Ketika ia tahu yang tersisa hanyalah putri bungsunya yang satu kakinya telah diamputasi. Raut muka kehilangan namun tetap bertahan untuk terus tegar melanjutkan hidup.

Kesan pertama itu dikuatkan oleh film Reza yang saya tonton selanjutnya yaitu Alangkah Lucunya Negeri Ini (2010).

Di film itu Reza berlakon menjadi karakter bernama Muluk, sarjana pengangguran yang luntang-lantung mencari pekerjaan. Tapi karena tidak kunjung mendapatkannya, Muluk beserta kedua temannya yang sama-sama pengangguran, justru berbelok arah memberi pendidikan pada anak jalanan. Gilanya, sambil mengajari mereka Muluk meminta anak-anak tadi untuk tetap meneruskan pekerjaan mereka sebelumnya, yaitu mencopet. Kata Bang Muluk, kalian mencopet boleh, asal berpendidikan (tentunya ini akal-akalan Bang Muluk agar mereka mau belajar).

Terhitung sudah dua kali saya nonton film yang menjadi entri resmi Indonesia untuk nominasi film bahasa asing di ajang Academy Award ini. Dan pada kedua-duanya saya selalu dibuat menitikkan air mata saat adegan terakhir. Ketika anak-anak jalanan terbirit-birit dikejar petugas satpol PP. Dan Muluk yang sudah menyerah pada mereka, berusaha melindungi sekuat tenaga. Adegan ini diiringi lagu berjudul Jalan Pulang milik God Bless yang secara magis menambah kepiluan realita tadi.

Alangkah Lucunya Negeri Ini membuka catatan kekaguman saya pada peforma akting Reza Rahadian. Film-filmnya yang lain juga tak kalah bagus dan berkesan untuk saya. Di antaranya Tanda Tanya (2011), Ketika Tuhan Jatuh Cinta (2014), Rudy Habibie (2016), My Stupid Boss (2016) dan Critical Eleven (2017). Sedang filmnya yang paling tidak saya suka, ehm... Tiga Srikandi. Di sana Reza tampil tanpa pesonanya yang selama ini. (Film-film Reza yang pertama semisal Film Horor dan Ghost Island 2 tidak masuk hitungan, sebab saya belum nonton)

Selain di film, saya juga mengikuti aktivitas peran Reza di panggung teater. Alkisah : Rio Motret (2015), Bunga Penutup Abad (2016), dan Perempuan-perempuan Chairil (2017) merupakan sejumlah pertunjukan teater yang diperankan oleh lawan main Chelsea Islan ini. 

Bunga Penutup Abad menjadi satu yang paling saya suka. Pementasan yang diadaptasi dari novel Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, ini menempatkan Reza sebagai Minke, seorang pribumi terpelajar yang tengah mencoba mengenal bangsanya sendiri. Reza berhasil tampil sebagai karakter sentral, dan kalimat legendaris "yang ada di depan manusia hanyalah jarak..." dihantarkannya secara menghentak dan penuh ciri khas.

Bagi saya, syarat utama mengidolakan satu tokoh adalah adanya nilai yang dapat diteladani dari tokoh tadi. Reza merupakan sosok tokoh idola yang ideal. Reza, dengan figur yang dinamis dan selalu punya visi kuat pada profesi yang ia geluti, seringkali melecut semangat saya (dan Pilarez semua tentunya) untuk terus berkarya menggapai cita.

Saya selalu dibuat tidak mengerti pada orang-orang yang mengidolakan satu tokoh, untuk kemudian mencari biodatanya, mengikuti aktivitas keseharian atau menempel fotonya di kamar. Dan dalam level yang lebih ekstrem lagi, marah saat ada orang lain mengkritik dan menilai jelek tokoh idola mereka itu. Saya selalu tidak mengerti.

Tapi, ya, mengidolakan seseorang bukan sebuah dosa juga, bahkan pada beberapa kasus sangat diperlukan. Tinggal bagaimana kita mampu mengendalikan kekaguman kita itu, agar tidak berubah menjadi obsesi yang tidak sehat. Kagum boleh, tapi sekedarnya saja ya...

Untuk penutup, saya akan kutipkan kalimat Reza, eh Minke yang juga dibawakan di Teater Bunga Penutup Abad.

"Dan makin jauh juga Batara Kala menyorong kami berpisah, makin terasa olehku : sesungguhnya memang aku mencintainya."

Salam,

Abdullah S. N

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun