Mohon tunggu...
Abdullah Syukrun Niam
Abdullah Syukrun Niam Mohon Tunggu... -

Duniaku akan mengherankan setiap orang ketika akhirnya terungkap Visit my blog : thesecondwings.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Katakan Tidak Pada Tere Liye(?)

10 November 2018   09:08 Diperbarui: 10 November 2018   09:28 1112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa, sih penulis tanah air yang karnyanya paling banyak kamu ikutin? Asma Nadia? Dee Lestari? Andrea Hirata? Aatau Boy Chandra? Adakah dari kalian pengkitut novel-novel Tere Liye? Kalau ya, maka kita ada di satu lingkaran yang sama.

Tere Liye bisa disebut sebagai penulis tanah air yang paling produktif saat ini. Tak hanya dari sisi kuantitas, tapi juga di kualitas setiap bukunya. Dari total 31 bukunya, hampir kesemuanya dicap best-seller sampai harus cetak ulang puluhan kali. Tere Liye juga memiliki fanbase yang cukup besar, terutama di kalangan pembaca remaja usia sekolahan.

Memang, berbeda dengan Ibu Suri Dee, misalnya, yang sangat lekat dikenal publik lewat seri Supernovanya, atau Pak Cik Andrea Hirata yang populer dari tetralogi Laskar Pelangi yang begitu legendaris. 

Karya-karya Tere Liye 'tak begitu' dikenal secara luas (artinya lingkup novelnya hanya berpusat pada pembaca-pembaca dengan segmentasi tertentu) dan kepopuleran setiap novelnya cenderung merata (tidak booming pada satu novel, tapi novel yang lainnya biasa-biasa saja).

Ini mungkin karena novel-novel karangan Tere Liye dikemas lewat penuturan serta tema yang luar biasa sederhana, sehingga banyak pembaca yang 'gengsi' menjadikan novel tersebut sebagai bahan bacaan. Seperti diketahui novel-novel karangan Bang Tere selalu mengusung topik seputaran keluarga dan kesederhanaan hidup.

Bandingkan dengan novel Supernova-nya Dee. Di buku pertamanya, Kesatria, Putri dan Bintang Jatuh, Dee menggebrak dunia literasi Indonesia dengan pemaparan cerdas soal fisika kuantum. Orang yang berhasil menyelesaikan membaca novel itu, tentu merasa lebih keren dong, kalau cuma dibanding mereka yang baca novel tentang anak buta tuli yang mencoba menyebut nama Tuhannya...

Banyak yang memandang Tere Liye sebelah mata. Bahkan, mungkin Tere Liye adalah penulis Indonesia pertama yang punya hatters. Coba kalian cari penulis mana yang bahkan pembaca novelnya dikatai munafik dan sok bijak?!

Kenapa sih orang-orang pada sentiment sama Tere Liye? Karena ini?

1. Tere Liye Si Penulis Receh

Banyak sekali lho mereka yang bahkan belum membaca satu pun novel beliau mencaci Tere Liye sebab nama pena yang digunakan berasal dari Bahasa India yang berarti "untukmu". Mengomentari penggunaan judul salah satu novelnya, Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, menjiplak sebuah kutipan milik Zatoichi, Si Samurai Buta yang dialih-bahasakan secara bulat. Padahal, bukankah hal itu sah-sah saja dilakukan dan banyak sekali penulis yang melakukan itu?

Pertanyaannya sekarang, situ yang kritik sudah bisa belum buat cerita yang (paling tidak) sama tebalnya dengan novel itu?

Kemudiaan dari sisi tema. Orang-orang yang merasa sudah merasa kenyang dengan buku karangan luar, biasannya akan langsung buang muka bila disuruh baca novel Tere Liye. Dengan bangga dan lantang mereka akan berkata, "katakana tidak pada Tere Liye!"

Saya rasa orang-orang semacam ini adalah orang-orang yang terlalu sering baca novel beralur rumit, dengan gaya bahasa selangit. Hingga mereka lupa, bahwa hal-hal terbaik justru dating dari sesuatu yang sederhana.

Lewat novel-novelnya, Tere Liye mengusung sebuah tema, yang kendati terlihat sederhana, tapi memilki esensi dan nilai yang penting. Dan saya, benar-benar telah merasakan manfaat dari novel-novel beliau di kehidupan nyata. Terserah kalau kalian hendak mengatai saya munafik atau sok suci!

2. Tere Liye Si Kontroversial

Selain buku-bukunya, Tere Liye juga kerap menjadi bahan perbincangan karena tindakan-tindakan yang ia lakukan. Sebut saja ketika ia mengatakan bahwa LGBT itu sebuah kelainan jiwa.

 Ketika ia berpendapat kaum sosialis tak berperan sama sekali, dalam proses perebutan kemerdekaan NKRI. Atau ketika beliau melarang para remaja menggunakan kutipan novelnya sebagai caption fotoselfie. Dan yang paling fenomenal, yaitu ketika beliau memutuskan berhenti menulis akibat tak adilnya perlakuan pajak bagi penulis.

Kita semua tahu, dari sanalah para pembenci Tere Liye muncul.

Saya sadar betul, sulit memang (jika tak bisa dikatakan mustahil), menilai sebuah karya secara bulat tanpa memandang siapa yang mebuat karya tersebut. Di sekolah, kita juga diajarkan soal dua unsur pembangun novel yang paling utama, yaitu unsur intrinsik (meliputi tema, latar, tokoh, dsb) serta unsur ekstrinsik (meliputi latar belakang sang penulis).

Sehingga, bisa dikatakan sah-sah saja kita menilai sebuah novel, juga dari siapa penulisnya. Tapi pertanyaannya, apa hal itu bijak dilakukan? Saya rasa tidak.

Kenapa harus bersikap 'risih' pada novel Tere Liye, hanya karena tak suka sikap beliau yang terkesan arogan? Bukankah kita tak bermasalah membaca novel-novel yang penulisnya berkeyakinan beda dengan kita? 

Mamaparkan (baca:mengajarkan) budaya-budaya yang tidak sesuai dengan norma dan aturan kita. Atau jika mau melangkah lebih jauh lagi, bukankah kita masih bisa menerima petuah-petuah bijak Aristoteles, padahal ia seorang sexism (orang yang menganggap wanita tidak setara dengan pria, sehingga mereka harus patuh dan tunduk). 

Bukankah kita senang-senang saja menikmati benderangnya dunia lewat temuan Thomas Edison, tanpa menghiraukan kalau ia orang yang gemar menyiksa hewan. Einsten yang doyan slingkuh, Newton yang angkuh, semua pemikiran orang-orang itu masih bisa kita nikmati sampai sekarang.

Bukankah ini menunjukkan, dalam seni bukan soal siapa, tapi apa karya yang disuguhkan kepada kita. Bukankah kita semua tahu, orang-orang yang terjun ke dunia seni---musik, sastra, lukis, dsb---selalu punya sisi unik yang menjadi ciri khas mereka?

Dengan pengecualian pada pendapat Bang Tere soal kaum sosialis, saya berpendapat tindakan-tindakan beliau selama ini merupakan ciri khas yang beliau miliki, identitasnya sebagai penulis.

Dan sekalipun Bang Tere benar-benar khilaf saat berpendapat soal kaum sosialis itu, saya lebih memilih untuk tak terlalu ambil pusing. Karena toh pelajaran yang saya dapat dari novelnya, bukan soal siapa saja yang memerdekakan negara ini. Melainkan soal bagaimana manusia harus bersyukur dan berbaik sangka pada segala hal yang hidup berikan.

Sekian.
Salam,
Abdullah S.N

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun