Pengakhiran Hubungan Kerja yaitu berakhirnya suatu perjanjian kerja atau yang sering disebut dengan PHK. PHK terjadi karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan pekerja tidak bisa bekerja di perusahaan atau tempat kerja itu lagi atau berakhirnya hak dan kewajiban antar pekerja dan pengusaha atau pemilik tempat kerja tersebut. Jika PHK dilakukan oleh perusaan itu, maka harus ada alasan tertentu yang mendasari kenapa pekerja tersebut bisa di PHK.
Dalam pemutusan hubungan kerja ini memiliki dasar hukum atau dasar pengaturan yang terdapat pada Pasal 151 Undang-Undang Tentang Ketenagakerjaan yang di dalamnya terdapat prosedur untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja.
Dalam Pasal 153 Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur tentang pengusaha dilarang melakukan PHK kepada pekerjanya dengan alasan-alasan yang terdapat pada pasal tersebut. Pemutusan Hubungan Kerja mempunyai berbagai macam alasan yang ada di dalamnya. PHK tidak boleh dilakukan secara sepihak. PHK boleh dilakukan jika dilakukan dengan tidak secara sepihak dan tidak merugikan para pekerja atau buruh.
Menurut Pasal 61 UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, sebuah perjanjian kerja dapat berakhir apabila :
1). Pekerja Meninggal dunia
2). Berakhirnya jangka waktu perjanjian
3). Adanya putusan pengadilan atau putusan atau penetapan Lembaga  penyelesaian persilisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
4). Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Pengusaha dilarang memPHK pekerjanya dengan alasan sebagai berikut (Dasarnya adalah Pasal 153 Undang-Undang Ketenagakerjaan) :
1). Pekerja atau buruh berhalangan masuk kerja dikarenakan sakit menurut surat keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus-menerus
2). Pekerja atau buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memnuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
3). Pekerja atau buruh menjalankan ibadadh yang diperintahkan agamanya
4). Pekerja atau buruh menikah
5). Pekerja atau buruh perempuan dalam keadaan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya
6). Pekerja atau buruh mempunyai pertalian darah atau ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya
7). Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
8). Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan
9). Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan
 10). Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Jika terdapat Perusahaan memPHK pekerjanya dan dilakukan dengan alasan seperti yang diatas atau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. PHK tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
PHK secara sepihak tidak boleh dilakukan secara sepihak dan harus dilakukan melalui perundingan terlebih dahulu. Jika hasil perundingan yang dilakukan tidak menghasilkan persetujuan, maka perusahaan hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah adanya penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial, hal tersebut termuat di dalam Pasal 151 ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan. Hal yang bisa disimpulkan disini adalah harus adanya penetapan yang dikeluarkan oleh Lembaga penyelesaian persilihan hubungan industrial dalam melakukan PHK. Jika terdapat perusahaan melakukan PHK terhadap pekerjanya tanpa adanya penetapan tersebut, maka PHK yang dilakukan dinayatakan batal demi hukum. Dan wajib mempekerjakan kembali pekerjanya atau karyawannya.
PHK ini merupakan hal yang tidak diinginkan oleh semua orang yang bekerja. Apalagi sekarang ini mencari pekerjaan itu sangat susah. PHK dilakukan karena adanya alasan pun mengecewakan pekerja apalagi kalau di PHK tidak ada alasan. Namun, PHK secara sepihak sudah diatur dan ada dasar hukumnya perbuatan itu tidak boleh dilakukan. Apabila anda atau siapapun itu mengalami PHK secara sepihak maka anda dapat meminta untuk dilakukan perundingan untuk menyepakati yang pesangon atau permintaan dipekerjakan kembali. Karyawan yang di PHK tanpa ada alasan pastinya masih mempunyai hak dan kewajiban yang harus didapatkan/diperjuangkan. Hal ini dilakukan agar perusahaan atau pengusaha tidak semena-mena melakukan PHK kepada pekerjanya.
Penulis : Abdullah Syifaa (Mahasiswa Fakultas Hukum UNISSULA) dan Dr. Ira Alia Maerani, S.H.,M.H. (Dosen Fakultas Hukum UNISSULA)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI