Tuhan memelihara nenek moyangnya yang mulia (dari perbuatan nista) karena memuliakan Muhammad
مِنْ آدَمٍ وَإِلٰی اَبِيْهِ وَأُمِّهِ
تَرَکُوا السِّفَاحَ فَلَمْ يَصِبْهُمْ عَارَهُ
dari Nabi Adam sampai ayah-ibu beliau
Mereka meninggalkan perzinahan, maka cacat perzinaan itu tidak menimpa mereka
Menjadi inspirator dunia bagi Nabi SAW bukanlah suatu kebetulan, apalagi karbitan. Sejak kecil, Nabi telah dipersiapkan menjadi pemimpin inspiratif dengan modal intelektual, moral, dan sosial yang paripurna, bukan pemimpin bermodal pencitraan. Menjadi yatim piatu di usia belia merupakan pengalaman hidup yang menempanya menjadi mandiri dan selalu berpikir solutif dan inovatif, mampu menghadapi tantangan sekaligus menyelesaikan berbagai persoalan.
Ketika ayahnya, Abdullah, wafat, Muhammad SAW dididik dan dikader oleh kakeknya, Abdul Mutallib, pemimpin suku Quraisy yang sangat disegani. Setelah kakeknya wafat, kompetensi kepemimpinannya dikembangkan dan dimatangkan oleh pamannya, Abu Thalib. Keterampilan sosial dan gaya kepemimpinan inspiratifnya semakin terlatih dan teruji, sehingga mampu memengaruhi dan menggerakkan perubahan sosial menuju kejayaan peradaban.
Inspirasi profetik beliau mencerahkan masa depan, memancar dari pribadinya yang jujur, bersih, sederhana, terbuka, pemberani, penuh empati, dan berhati mulia. Beliau mampu menjaga kehormatan dirinya di tengah arus budaya jahiliyah yang tidak beradab dan berperadaban. Sebagai role model, beliau sama sekali tidak pernah terlibat skandal moral yang memalukan dan merugikan umat yang dipimpinnya.
Menjadi pemimpin inspirator dunia itu merupakan berkah tersendiri bagi umat manusia karena visi dan misi profetiknya adalah menebar ajaran kasih sayang (rahmat) bagi semesta raya (QS al-Anbiya’/21:107). Berbasis akidah tauhid yang murni dan menginspirasi, Nabi SAW berdakwah menyerukan restorasi moral, dengan menegaskan:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak mulia.” (H.R Malik)