Mohon tunggu...
Abdul Khodir
Abdul Khodir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang

Seorang Mahasiswa dan Penulis Creative

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Media dan Kontestasi Politik di Indonesia

20 Mei 2022   18:40 Diperbarui: 20 Mei 2022   19:18 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media berperan penting dalam penyebaran dan konsumsi informasi di dalam masyarakat. Ada dua media yang menjadi favorit masyarakat untuk memperoleh  informasi yang mereka butuhkan yakni media massa dan juga media sosial. 

Dalam media-media tersebut  masyarakat dapat memperoleh berbagai informasi tentang ekonomi, sosial, politik, teknologi, tren terbaru, dan lain sebagainya. 

Hanya saja kedua media tersebut memiliki perbedaan. Media sosial bersifat terbuka, siapa saja bebas menulis, berbicara dan melaporkan apa yang mereka inginkan dan komunikasi yang terjadi di media sosial bersifat dua arah. 

Sedangkan pada media massa tidak semua orang dapat melakukan hal-hal tersebut dan komunikasinya cenderung bersifat satu arah.

Dalam aspek politik, Media Massa  berperan sebagai pilar ke empat suatu negara demokrasi yang diibaratkan seperti salah satu kaki penopang  yang menopang sebuah meja  bersama dengan ketiga kaki-kaki penopang lainnya. 

Dengan demikian, peran media massa sangat krusial dalam hal-hal yang menyangkut tentang aspek politik yang sedang terjadi dalam sebuah negara termasuk Indonesia.

 Media massa harus bisa menyuguhkan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengetahui keadaan pemerintahan dan juga kondisi politik yang sedang terjadi di negaranya. 

Informasi yang diberikan harus terjamin kebenarannya serta tidak memihak kubu atau golongan manapun. Artinya, media massa harus memposisikan dirinya ditengah dengan bersikap netral sebagai bentuk profesionalitasnya.

Akan tetapi pada saat menjelang pesta demokrasi, banyak media massa yang justru seakan-akan sedang mengkampanyekan tokoh politik atau kubu tertentu agar memperoleh dukungan dan suara dari masyarakat. 

Media-media tersebut seakan sibuk memberitakan prestasi dan keunggulan-keunggulan kubu  yang mereka dukung dan cenderung menyerang kubu seberang yang dianggap sebagai lawan politiknya dengan pemberitaan miring mengenai hal-hal yang dapat melemahkan elektabilitas dan dukungan masyarakat. Media massa seakan menjadi alat propaganda dan senjata untuk meraup simpati publik dan menjatuhkan lawan politik.

     Contohnya saja saat PEMILU 2019, dimana seakan-akan banyak diantara media massa yang saling serang dan rajin melakukan “Framing” pada masing-masing Paslon melalui media cetak, Televisi, dan bahkan media online. 

Pemberitaan yang selalu diulang terus menerus sehingga tertanam dalam benak audiens seakan-akan audiens seperti sedang dicuci otaknya yang dalam jangka waktu kedepan dapat mengubah pandangan mengenai pilihan dan Paslon yang sebelum nya didukung.

     Setelah 3 tahun pesta demokrasi 2019 usai, kini banyak media-media yang sudah mempersiapkan dan bahkan sudah memulai strategi “Framing” pada tokoh-tokoh politik tertentu sebagai langkah awal untuk mengenalkan dan menaikkan elektabilitasnya untuk maju di Pemilu 2024 yang akan datang. 

Prestasi-prestasi yang dicapai, kegiatan dan bahkan sikap kepedulian terhadap isu atau permasalahan terus diberitakan demi meraih simpati dan dukungan masyarakat. Tak jarang kita bosan dengan pemberitaan media yang terus menerus mengarah kepada satu tokoh politik atau kubu dan isi beritanya yang itu-itu saja.

     Disisi lain sebenarnya saat ini masyarakat bisa mencari fakta-fakta dan informasi lain melalui media sosial. Kehadiran media sosial sebenarnya dapat menjadi media alternatif bagi masyarakat selain media massa. 

Hanya  saja akibat media sosial yang bersifat bebas artinya siapapun dapat dengan leluasa membuat dan menyebarkan informasi, muncul banyak informasi yang diragukan kebenarannya bahkan berita bohong atau hoaks. Kembali membahas mengenai pemilu 2019 yang lalu, menurut data dari Kominfo telah ditemukan sekitar 3.801 hoaks yang tersebar sepanjang tahun 2019.

 Jumlah yang bukan sedikit dan sangat mengkhawatirkan, apalagi banyak masyarakat yang mudah percaya dengan informasi yang tersebar tanpa mengecek ulang fakta yang sebenarnya. Tak hanya hoaks, kemunculan buzzer juga seakan menjadikan media sosial sebagai media kedua untuk kepentingan-kepentingan politik. 

Buzzer-buzzer ini lah yang membela mati-matian tokoh yang di dukung serta  menjatuhkan tokoh yang dirasa musuh dan menjadi penghalangnya.

     Menjelang Pemilu 2024 mendatang masyarakat harusnya lebih bijak lagi dalam mengkonsumsi informasi di media sosial dengan menyaring informasi yang diterima serta mengecek kebenarannya. Jangan mudah percaya dengan informasi yang tersebar sebelum kebenarannya terbukti guna menekan angka dan penyebaran informasi hoaks yang lebih luas lagi. 

Sebagai audiens, masyarakat harus cerdas dalam menggunakan dan mengkonsumsi media agar tidak tergiring dengan kepentingan politik suatu golongan.

Abdul Khodir, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun