Pemberitaan yang selalu diulang terus menerus sehingga tertanam dalam benak audiens seakan-akan audiens seperti sedang dicuci otaknya yang dalam jangka waktu kedepan dapat mengubah pandangan mengenai pilihan dan Paslon yang sebelum nya didukung.
Setelah 3 tahun pesta demokrasi 2019 usai, kini banyak media-media yang sudah mempersiapkan dan bahkan sudah memulai strategi “Framing” pada tokoh-tokoh politik tertentu sebagai langkah awal untuk mengenalkan dan menaikkan elektabilitasnya untuk maju di Pemilu 2024 yang akan datang.
Prestasi-prestasi yang dicapai, kegiatan dan bahkan sikap kepedulian terhadap isu atau permasalahan terus diberitakan demi meraih simpati dan dukungan masyarakat. Tak jarang kita bosan dengan pemberitaan media yang terus menerus mengarah kepada satu tokoh politik atau kubu dan isi beritanya yang itu-itu saja.
Disisi lain sebenarnya saat ini masyarakat bisa mencari fakta-fakta dan informasi lain melalui media sosial. Kehadiran media sosial sebenarnya dapat menjadi media alternatif bagi masyarakat selain media massa.
Hanya saja akibat media sosial yang bersifat bebas artinya siapapun dapat dengan leluasa membuat dan menyebarkan informasi, muncul banyak informasi yang diragukan kebenarannya bahkan berita bohong atau hoaks. Kembali membahas mengenai pemilu 2019 yang lalu, menurut data dari Kominfo telah ditemukan sekitar 3.801 hoaks yang tersebar sepanjang tahun 2019.
Jumlah yang bukan sedikit dan sangat mengkhawatirkan, apalagi banyak masyarakat yang mudah percaya dengan informasi yang tersebar tanpa mengecek ulang fakta yang sebenarnya. Tak hanya hoaks, kemunculan buzzer juga seakan menjadikan media sosial sebagai media kedua untuk kepentingan-kepentingan politik.
Buzzer-buzzer ini lah yang membela mati-matian tokoh yang di dukung serta menjatuhkan tokoh yang dirasa musuh dan menjadi penghalangnya.
Menjelang Pemilu 2024 mendatang masyarakat harusnya lebih bijak lagi dalam mengkonsumsi informasi di media sosial dengan menyaring informasi yang diterima serta mengecek kebenarannya. Jangan mudah percaya dengan informasi yang tersebar sebelum kebenarannya terbukti guna menekan angka dan penyebaran informasi hoaks yang lebih luas lagi.
Sebagai audiens, masyarakat harus cerdas dalam menggunakan dan mengkonsumsi media agar tidak tergiring dengan kepentingan politik suatu golongan.
Abdul Khodir, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)