Selain itu, kecenderungan ketiga lebih ditandai dengan adanya dorongan otoritarianisme terhadap pihak berwenang untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan ketimbang yang hal yang sifatnya legal demi memastikan terciptanya stabilitas (Sonnen & Zangl, 2015, hlm. 6).Â
Untuk itu, otoritarianisme kemudian mendorong dilaksanakannya kewenangan secara otokratis yang kemudian berpotensi menjadi kesewenang-wenangan dimana hal tersebut setidaknya memiliki dua ciri yang mendasar.Â
Pertama, terkait dengan hubungan kewenangan yang disusun secara vertikal dengan beberapa bentuk kewenangan yang lebih tinggi "yang tindakannya juga mengikat secara hukum terhadap konstituen".Â
Kedua, merujuk pada otoritas politik yang tidak selalu dibentuk atau dibatasi oleh hukum, dimana hal tersebut menjadi indikasi bahwa pemegang kekuasaan pada dasarnya dapat diberikan keleluasaan yang tidak terbatas untuk memenuhi kebutuhan dalam menjaga stabilitas khususnya pada saat-saat yang bersifat darurat (Sonnen & Zangl, 2015, hlm. 4).Â
Hal itu kemudian diwujudkan dengan beberapa cara, seperti memperluas otoritas Eksekutif, meningkatkan area kerahasiaan dan hak istimewa negara serta memperluas pengawasan domestik (Cooley, 2015).Â
Cara tersebut yang dianggap oleh Kay (1998) lebih didasarkan pada beberapa tujuan kolektif dan merupakan keterlibatan kerja sama yang diatur secara rasional karena merujuk pada karakter represif dari rezim totaliter. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa otoritarianisme merupakan sebuah kecenderungan yang pro-otoritas dan komunitas, namun melawan gangguan dan kekacauan (Zelikow, 2017).Â
Pasalnya, otoritarianisme sendiri lebih menghendaki agar dibentuknya otoritas otoriter melalui tindakan pemberdayaan diri secara otokratis yang kemudian tidak harus dilaksanakan sesuai dengan batasan hukum mengenai pelestarian ketertiban yang stabil dan damai ketimbang memiliki konstitusi yang demokratis dan dibatasi oleh supremasi hukum (Sonnen & Zangl, 2015).Â
Kondisi ini yang sebagaimana diungkapkan oleh Harari (2020) bahwa pandemi Covid-19 telah memaksa dunia untuk berdiri di persimpangan jalan untuk memilih pilihan "pengawasan totaliter" atau "pemberdayaan warga negara" serta antara "isolasi nasionalis" dan "solidaritas global". Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H