Mohon tunggu...
Abdul Jamil
Abdul Jamil Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saat ini saya sebagai karyawan

Meski saya sedang melanjutkan pendidikan di program manajemen, saya sangat menyukai terkait otomotif dan mesin

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Prinsip 5C dan 7P dalam Pemberian Kredit untuk MeminimalisirKredit Bermasalah dan Meningkatkan Profitabilitas

20 Juni 2024   05:39 Diperbarui: 20 Juni 2024   05:39 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Analisis Prinsip 5C dan 7P dalam Pemberian Kredit untuk MeminimalisirKredit Bermasalah dan Meningkatkan Profitabilitas: Studi Kasus pada Jaya Abadi

Abstrak

Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi prinsip 5C dan 7P dalam proses penyaluran kredit guna mengurangi risiko kredit bermasalah dan meningkatkan profitabilitas perusahaan Jaya Abadi. Data yang digunakan terdiri dari data primer dan sekunder. Responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah direktur, kepala bidang, dan debitur. Hasil analisis menunjukkan bahwa penerapan prinsip 5C dan 7P telah terbukti efektif dalam menilai kelayakan pemberian kredit kepada calon debitur, memberikan pembinaan yang tepat, melakukan peninjauan langsung ke lokasi usaha debitur untuk mengidentifikasi penyebab kredit bermasalah, serta meningkatkan keuntungan terutama melalui penerimaan bunga sebagai biaya administrasi kredit yang dibebankan kepada debitur. Salah satu kendala yang dihadapi adalah jaminan kredit berupa tanah yang belum bersertifikat. Beberapa faktor penyebab kredit bermasalah antara lain penurunan omset penjualan usaha oleh nasabah, nasabah mengalami kejadian yang tidak terduga seperti sakit atau PHK. Permasalahan utama yang menyebabkan penurunan profitabilitas di Jaya Abadi adalah adanya aset berkualitas rendah yang menyebabkan kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL).

Katakunci:Prinsip5C,Prinsip7P,kreditbermasalah,profitabilitas

Pendahuluan

Pelaksanaan pemberian kredit menimbulkan sebuah hubungan hukum dengan segala konsekuensi yuridis yang dapat menimbulkan kerugian atau risiko bagi bank selaku pemberi kredit jika hal-hal yang mendasarinya diabaikan. Kerugian tersebut dapat berupa kerugian finansial atau non-finansial (Rustam, 2013). Sementara yang dimaksud dengan risiko kredit adalah risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak lain (debitur) dalam memenuhi kewajiban kepada bank sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Kegagalan pembayaran yang dilakukan oleh debitur dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu; 1) gagal bayar yang disengaja; dan 2) gagal bayar karena bangkrut, yaitu tidak mampu membayar kembali utangnya (Wahyuni, 2015).

Beberapa kontroversi terkait pemberian kredit bermasalah selama beberapa tahun terakhir hingga saat ini, telah menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi otoritas yang mengawasinya, salah satunya adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terutama saat ini ketika hampir seluruh dunia sedang dihadapkan pada pandemi Covid-19 yang memberikan dampak yang signifikan di berbagai sektor. Bahkan fenomena tersebut telah diprediksi oleh OJK sejak awal munculnya pandemi pada akhir tahun 2019. OJK telah memproyeksikan bahwa rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) akan meningkat hingga akhir tahun 2020. OJK mencatat bahwa NPL gross industri perbankan nasional meningkat dari 2,53% pada Desember 2019 menjadi 2,7% pada Februari 2020 (www.cnnindonesia.com, 2021).

(www.cnnindonesia.com,2021).

Kasus yang cukup menyita perhatian di tahun 2020 ini, yaitu kasus yang berawal dariditangkapnya pelaku pembobolan Bank BNI senilai Rp 1,7 triliun, Maria Pauline Lumowa,yang akhirnya berhasil dipulangkan ke Indonesia setelah buron selama 17 tahun.Kasus inimulai terungkap pada tahun 2003 dengan ditangkapnya sejumlah pelaku. Maria yang saat itumenjabat sebagai pemilik PT. Gramarindo Mega Indonesia melakukan pencairan dana dariBNIlewat modusLetter of Credit(L/C) fiktif(www.kompas.com,2021).

Tidak hanya melibatkan institusi perbankan konvensional berskala besar, kasus kredit juga sering terjadi di lembaga perbankan berskala kecil, seperti yang dialami oleh salah satu kerjasama antara Bank Bukopin dengan Dinas Koperasi, yaitu PT. Swamitra. Pada tahun 2019, PT. Jaya Abadi mencatat Rasio Kredit Bermasalah (NPL) sebesar 28% dari total kredit yang diberikan secara global, dengan PT. Jaya Abadi menempati posisi sebagai penyumbang NPL tertinggi kedua di Indonesia setelah PT. Jaya Abadi. Berikut adalah tingkat keterlaksanaan kredit pada PT. Swamitra di bawah ini selama empat tahun terakhir (2016-2019) yang terlihat dalam tabel berikut:

Tabel1.KolektibilitasKredit PT.Jaya Abadi2016-2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun