Minggu subuh tanggal 19 juni 2022, saya bersama istri usai sholat subuh meluncur ke kapuas tepatnya ke desa Murung Keramat RT 09 Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah untuk menemui Nini Viral
Jika memakai aplikasi google Maps, maka lokasi yang ditag adalah KP3, sesampai di KP3 kita hanya jalan lurus saja hingga sampai mentok di ujung jalan, disitu ada kapal feri yang akan membawa penumpang menuju desa keramat.
Desa keramat ini terletak dipinggir sungai yang membentang di kota kapuas, untuk jarak tempuh dari Palangka Raya ke Kabupaten Kapuas sekitar 98,7 km, dengan waktu tempuh kurang lebih 2 jam perjalanan, jika berkendaraan dengan roda empat/mobil
Daerah inilah yang sempat viral, dengan adanya sosok nenek sederhana yang  sudah sangat tua, menurut kabar dan sesuai pengakuan beliau juga anak cucunya, nini tua ini sudah berumur kurang lebih 103 tahun.
Sang nene ini akrab dipanggil dengan sebutan nini suhai, dan memiliki keahlian betetamba/mengobati (istilah bahasa banjar), hingga akhirnya beliau menjadi viral berkat magicnya aplikasi media sosial bernama instragram
sebutan lain dari nini suhai adalah Datu udai, terkadang dipanggil nini suhai, namun untuk di media sosial lebih terkenal dengan sebutan nini viral, sebab terkenalnya nini ini seusai di unggah oleh salah satu selebgram asal kapuas dengan nama akun @ongkyhidayat
Lalu apa yang menarik dalam cerita ini, dan mengapa juga mengambil cerita yang ada di Kabupaten kapuas. Jawabannya adalah adanya hal unik yang bisa dibagi dalam cerita ini, sekaligus untuk melihat dan melestarikan bagian dari lokal wisdom atau budaya lokal khas daerah kalimantan, yaitu PIDUDUK
Piduduk merupakan tradisi masyarakat Banjar, dimana seseorang apabila ingin melakukan suatu acara atau hajatan seperti acara dalam pernikahan dengan memakai adat Banjar, maka yang mempunyai acara tersebut menyediakan tempat dan bahan-bahan yang ingin dijadikan piduduk
Begitu juga dalam hal betetamba atau berobat yang memakai jasa seseorang yang dianggap memiliki "kelebihan" seperri ninik udai (sebutan nenek dari suku banjar) juga mensaratkan dari pasien untuk menyiapkan piduduk.
Meskipun, ada yang menyatakan bahwa piduduk itu sama atau mirip dengan sesajen, namun mereka (tokoh banjar) ada yang menyatakan bahwa piduduk itu semacam upah atau ongkos yang disiapkan/dibayarkan kepada orang yang memberi tetamba, jadi bukan bagian atau merupakan sesajen sebagaimana tradisi beberapa orang bersuku jawa