Hoaks paling banyak disebarkan melalui artikel dari sumber-sumber yang tidak terpercaya dan abal-abal, yaitu dari media yang tidak taat pada etika jurnalistik. Media tersebut dapat berupa blog hyperpartisan, atau dari media online yang khusus dibuat untuk memproduksi hoaks, SARA, dan ujaran kebencian terhadap satu kelompok tertentu. Artikel, meme, dan video dari media online tersebut sengaja didistribusikan melalui media sosial, hingga kemudian tampil di newsfeed media sosial.
Mark Zuckerberg mengatakan kepada Bussines Insider bahwa setiap pengguna Facebook menerima 1500 rekomendasi setiap hari, hanya rata-rata pengguna melihat 100 konten perhari. Rekomendasi tersebut berasal dari pertemanan, rekaman algoritme facebook terhadap aktivitas seseorang dalam berinteraksi di media sosial serta reaksinya terhadap sebuah konten (like, share, comment, hide atau spam).
Sangat berbahaya apabila yang berita yang direkomendasikan oleh media sosial tersebut banyak berisi hoaks. Dan hal itu kini bukan lagi sebuah kekhawatiran, tapi sudah menjadi kenyataan sosial yang harus dihadapi dan diantisipasi. Kecerdasan buatan yang ada dalam media sosial akan mensuplay berita-berita yang anda sukai, bukan berita real. Dan dunia yang anda sukai di media social adalah yang disukai oleh kelompok pertemanan atau grup-grup yang diikuti. Â
Sebuah survey yang dilakukan oleh Mastel (Masyarakat Telekomunikasi) tahun 2016 menemukan bahwa responden yang disurvey menjawab yang menerima berita hoaks setiap hari sebanyak 48 % dan 92.4 % hoaks tersebut disebarkan melalui media sosial. Survey tersebut juga menemukan bahwa konten terbanyak yang diterima bermuatan sosial politik sebanyak 91.8 persen dan diikuti oleh konten SARA sebesar 88.6 %.
Dalam tataran praktis, politik hoaks adalah sejenis propaganda  dan berita bohong yang terus menerus memenuhi kepala seseorang sehingga dapat menghilangkan sikap kritis. Menteri propaganda zaman Hitler Jozef Gobbels mengatakan bahwa 'kebohongan yang di ulang berkali-kali akan menjadi kebenaran dan dipercaya masyarakat. Sehingga hoaks yang diproduksi terus menerus akan menjadi kebenaran, dan apabila kebenaran dari hoaks dan dari berita sungguhan tidak bias dibedakan tentunya menjadi masalah besar. Â
Mengawasi dan melaporkan
Dalam proses pelaksanaan Pilkada yang mempunyai otoritas dalam bentuk pengawasan kampanye adalah Bawaslu. Â Maka konten berita yang disebutkan diatas adalah bermuatan kampanye, maka menjadi tanggung jawab moral bagi Bawaslu untuk menemukannnya agar proses Pilkada dapat berjalan secara damai dan berkualitas. Meski demikian, ada celah hukum yang tidak bisa sepenuhnya Bawaslu tangani. Sejauh berita hoaks tersebut adalah kampanye hitam yang disebarkan melalui media sosial, hanya UU ITE yang bias menjeratnya.
Oleh sebab itu, pelanggaran ini masuk ke dalam katagori pelanggaran undang-undang lainnya yang dapat ditangani kasusnya oleh pihak kepolisian. Namun demikian, proses pelanggaran kampanye di media sosial ini tetap melalui pintu Bawaslu. Pelaporan dapat dilakukan kepada petugas atau ke kantor Bawaslu secara langsung dengan menunjukkan alat bukti yang tersedia.
Tanggung jawab memerangi hoaks ini adalah tanggung jawab bersama. Tidak hanya cukup oleh tenaga dan sumberdaya serta perangkat yang dimiliki oleh pengawas Negara dalam hal ini adalah Bawaslu, Â karena yang paling terdampak dan terpapar oleh berita hoaks adalah masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, kesadaran yang harus ditanamkan adalah bahwa kampanye dengan menyebarkan hoaks hanya akan melahirkan pemimpin hoax.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H