Mohon tunggu...
Abdul Holik
Abdul Holik Mohon Tunggu... Dosen - Catatan pribadi

Peminat masalah sosial, politik, agama dan teknologi

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Memaknai Asas Jurdil

1 Mei 2018   18:39 Diperbarui: 1 Mei 2018   19:45 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAHA)

Asas Pemilu yang penting direfleksikan dalam konteks bernegara dan berdemokrasi adalah kata 'jujur dan adil' sebagaimana yang tercantum di dalam konstitusi UUD 1945. Dalam pasal 22E ayat 1 dijelaskan bahwa: Pemilu dilaksanakan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

Jujur dan adil ditempatkan paling akhir menunjukkan bahwa prinsip tersebut sulit dilakukan. Jurdil adalah prinsip dan mandat yang melekat kepada penyelenggara Pemilu. Karena apa? Karena tanpa sikap jujur secara moral penyelenggara Pemilu akan ringan memanipulasi suara. Tanpa hukum yang adil, sulit untuk menghasilkan Pemilu yang dapat dipercaya. Tanpa proses Pemilu yang adil, hasilnya pun tidak dapat diterima oleh semua pihak.

Tentu tidak dibenarkan kehendak rakyat dihianati dan dibelokkan menjadi kehendak elit politik secara curang. Baik dalam proses penyusunan aturan maupun dalam pelaksanaan Pemilu dengan cara yang tidak dibenarkan menurut ukuran hukum dan moral. Sikap jujur penting dalam politik sebagai sebuah prinsip yang berlaku universal bagi penyelenggara, kontestan Pemilu dan juga rakyat pemegang kedaulatan.

Makna jujur adalah sesuai antara hati dan perbuatan, tidak curang, amanah dan dapat dipercaya. Sebaliknya tidak jujur adalah perilaku curang, semisal menang dengan cara manipulasi suara, curi start kampanye, kompetisi tidak sehat dengan kampanye SARA serta kampanye hitam.

Jujur adalah sifat yang berasal dari kesadaran imani, dimulai dari suara hati nurani selanjutnya diimplementasikan dalam laku dan tindakan. Pribadi jujur disebut pula orang yang amanah, artinya menjalankan sesuatu yang menjadi perjanjian atau tugas yang diembannya dengan sungguh-sungguh. Dalam Islam, Nabi Muhmmad SAW terkenal dengan sifat Amanahnya sehingga beliau adalah teladan pribadi yang jujur dapat dipercaya.

Bagaimana dengan sikap jujur dalam Pemilu dan Pilkada? Maraknya politik uang adalah cermin pantul dari budaya tidak jujur untuk meraih kemenangan. Politik uang tersebut mencederai iklim kompetisi yang sehat dan mendorong pemilih berlaku tidak jujur pada suara hatinya; karena alih-alih menyalurkan suara berdasarkan kehendaknya sendiri, malah memilih berdasarkan iming-iming materi.

Pada akhirnya hasil Pemilu yang akan menjawab apakah pemimpin jujur atau tidak yang terpilih. Sejujurnya yang diperlukan saat ini adalah politisi jujur. Politisi jujur akan menjadi pemimpin yang demokrastis dan jujur pada rakyatnya, tidak memanipulasi data dan citra. Pemimpin yang demikian akan dicintai rakyatnya. Sebaliknya pemimpin yang tidak jujur lama-lama akan ditinggalkan.

 Adil dan Keadilan Sosial

Pemilu sah dan legitimit apabila dilakukan secara adil. Oleh sebab itu, sistem keadilan Pemilu merupakan instrumen penting untuk menegakkan hukum dan menjamin sepenuhnya penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksanaan Pemilu yang bebas, rahasia, jujur dan adil.

Bagaimana penyelenggara Pemilu menggelar Pemilu secara adil? Yang paling sederhana adalah penyelenggara Pemilu melaksanakan tugas dan kewajibannya secara benar. Benar disini maksudnya adalah berjalan benar sesuai ketentuan Undang-undang dan peraturan lainnya, baik berupa kode etik maupun aturan teknis lainnya. Sebaliknya setiap keputusan, prosedur atau tindakan menyangkut proses Pemilu yang tidak sesuai dengan aturan termasuk katagori pelanggaran dan ketidakadilan.

Pemahaman di atas sejalan dengan panduan IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance) rilis 2010 yang mendefinisikan Keadilan Pemilu sebagai upaya untuk menjamin bahwa setiap tindakan, prosedur, dan keputusan terkait dengan proses Pemilu sesuai dengan kerangka hukum; melindungi atau memulihkan hak pilih; dan memungkinkan warga yang meyakini bahwa hak pilih mereka telah dilanggar untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan, dan mendapatkan putusan.

Mekanisme penyeleseian sengketa dan pelanggaran Pemilu dilakukan oleh Lembaga penyelenggara Pemilu yang mempunyai kewenangan yudisial untuk menyidangkan pelanggaran dan sengketa Pemilu. Namun atas nama keadilan, diperlukan pula mekanisme penyeleseian sengketa di luar mekanisme yang ada di penyenggara Pemilu. Fungsi dari Lembaga penyelesian sengketa tersebut adalah untuk mengkoreksi kecurangan atau kesalahan admintrasi; dan memberikan hukuman bagi yang melakukan kecurangan dan pelanggaran.

Undang-undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu mendesain KPU, Bawaslu dan DKPP (Dewan Kehormatan Pengawas Pemilu) sebagai penyelenggara Pemilu. Bawaslu bertugas mengawasi pelaksanaan Pemilu dan menegakkan hukum Pemilu. Sedangkan DKPP menegakkan norma etik penyelenggara Pemilu. Secara desain kelembagaan mendukung terlaksananya Pemilu yang adil, karena setiap Lembaga mempunyai peran signifikan dalam proses penyelenggaraan dan penegakan hukum Pemilu.

Sengketa dan pelanggaran Pemilu ditangani oleh Bawaslu. Sengketa yang ditangani oleh Bawaslu adalah sengketa non-hasil Pemilu, atau dengan kata lain pelanggaran administratif yang disengketakan seperti objeknya keputusan KPU mengenai peserta Pemilu. Adapun sengketa hasil Pemilu ditangani oleh Mahkamah Konsitusi.

Sedangkan sengketa admintrasi, para pihak yang dirugikan selain mekanisme ajudikasi di Bawaslu dapat pula menggugat ke pengadilan administrasi negara, yaitu PTUN dan PTTUN. Selanjutnya pada kasus pelanggaran Pidana diseleseikan oleh Kepoliasan dan kejaksaan melalui sentra Gakumdu.

Namun demikian, keadilan bukan semata persoalan penegakan hukum, jauh kebelakang adalah soal terbukanya akses kepada posisi dan jabatan secara fair untuk semua orang. Sikap fair atau Fairness syaratnya menurut John Rawl adalah setiap orang mempunyai hak sama, termasuk hak politik, dan distrubisi kekayaan (kekuasaan) tidak harus sama tetapi ada mekanisme yang menjamin diperebutkan secara fair. Fairness hanya bisa diterapkan dalam masyarakat demokratis, dimana masyarakat tunduk pada peraturan dan hukum yang dibuat, diterima, dan diakui.

Dalam hal peralihan dan pelaksanaan kekuasaan tidak boleh dilakukan secara tidak fair. Tidak boleh satu pihak dirugikan; tidak boleh satu pihak mengambil kenuntungan dengan cara yang tidak dibenarkan. Tidak boleh suara rakyat dirampok oleh penyelenggara; Tidak boleh penyelenggara menolak putusan lembaga penegak hukum sengketa Pemilu. Tidak boleh peserta Pemilu curi start, semua harus berangkat dari titik yang sama secara fair.  

Pancasila sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara menempatkan adil pada urutan terakhir, yaitu sila kelima, dengan bunyi 'keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial menunjukkan bahwa keadilan bukan keadilan individu, karena dalam konteks berbangsa keadilan hanya dapat ditemukan dalam kehidupan sosial masyarat.

Dalam kerangkan keadilan sosial setiap orang dilindungi dan wajib dihormati, tapi pada saat yang sama hak-hak individu tersebut tunduk kepada pembatasannya dalam kapasitasnya sebagai mahluk sosial.

Maka keadilan Pemilu dan keadilan sosial harus inheren dalam penyelenggara Pemilu. Penyelenggara harus menjamin hak-hak rakyat dari kemungkinan berbagai kecurangan dan dari penyelenggara yang partisan; Dan yang paling penting adalah rakyat paham bahwa keberadaanya penentu proses peralihan kekuasaan melalui Pemilu yang berjalan secara fair.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun