Mohon tunggu...
Abdul Jolai
Abdul Jolai Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Reinkarnasi Nepotisme Era Reformasi

24 Januari 2024   23:09 Diperbarui: 25 Januari 2024   02:43 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: April Melani via beritaunsoed.com

"REINKARNASI NEPOTISME ERA REFORMASI"Sejak 1966 hingga 1998 Indonesia meniti pemerintahan yang dinamakan Orde Baru. Mendengar kata Orde Baru seolah-olah kita diingatkan kembali dengan sosok pemimpin dengan pemerintahan yang otoriter.

Berakhirnya Orde Lama yang dipimpin oleh Soekarno dengan dikeluarkannya supersemar  tanda berakhirnya era Orde Lama dan beralih menuju Orde Baru (1967-1998).


Supersemar disebut-sebut dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966 dan berisi pemberian mandat kepada Soeharto, yang kala itu menjabat sebagai Menteri/ Panglima Angkatan Darat.

Secara praktis, Supersemar telah membuat posisi Presiden Soekarno semakin melemah dan Soeharto mengambil alih pemerintahan.

Selanjutnya, dalam Sidang MPRS, Soeharto pun secara resmi menjabat sebagai Presiden RI pada 27 Maret 1968.

Soeharto menjadi presiden RI selama 32 tahun lamanya.

Selama pemerintahan Soeharto berlangsung, membawa dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Pemerataan insfrastruktur pun kala itu dapat dinikmati masyarakat.

Namun, Perkembangan tersebut sangat disayangkan karena dibarengi dengan praktek korupsi yang luar biasa.

Akhirnya pada tahun 1998, kekuasaan Orde Baru runtuh setelah Presiden Suharto mengundurkan diri.

Lahirnya Reformasi kala itu di harapan membawa tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan efisien dengan satu tujuan besar iyalah Indonesia yang bebas dar Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Harapan lain juga teriring dengan lahirnya reformasi akan mengantar Indonesia yang lebih bermoral dan beretika dalam menjalankan sistem pemerintahannya. Sehingga dalam menjalankan pelayanan, pemerintah tidak memandang dari "mana" dan "siapa" tetapi memberikan hak secara adil atau tanpa pandang bulu.

Lalau apakah tujuan itu sudah dilakukan oleh pemerintah era reformasi?

Saya rasa masih ada kejanggalan-kejanggalan yang dipraktekan pemerintah dalam meduduki sebagai posisi pemerintah publik.

Kita sudah banyak bicara tentang runtuhnya orde lama, orde baru hingga lahirnya reformasi, tapi tidak kalah pentingnya kita melihat jalannya pemerintahan era reformasi hingga sekarang. Apakah masih ada praktek Nepotisme?

Pengamat politik, Ikrar Nusa Bhakti menganggap nepotisme kembali hadir di era reformasi. Padahal, kata dia, upaya menghilangkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) pernah dilakukan ketika meruntuhkan orde baru. Hal itu Ikrar sampaikan dalam acara panggung rakyat yang digelar ASDI di Stadion Madya Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (9/12/2023).

"Padahal kita tahu pemerintahan yang lalu di era Orde Baru itu kita melakukan demonstrasi menggoyang pemerintahan Pak Harto yang intinya adalah meniadakan korupsi, kolusi dan nepotisme dan ternyata 25 tahun kemudian setelah reformasi, itu nepotisme kembali ada," ujar Ikrar.

Saya tidak membenarkan pernyataan yang sudah benar, tetapi paling tidaknya kita bisa melihat realita yang terjadi, apakah ungkapan tersebuat benar adanya ataukah bohong belaka?

Dengan hadirnya pesta demokrasi di Indonesia yang diselenggarakan dalam lima tahun sekali, banyak mencuri perhatian banyak orang, Terutama mereka yang berasal dari keluarga berada. Entah itu dari segi ekonomi, sosial, politik, dan lain sebagainya. Dalam hal ini mereka berlomba-lomba, katanya "partisipasi" untuk memeriahkan pesta demokrasi.

Paham semacam ini yang kemudian memicu pola oportunis yang melihat peluang dan kekuasaan sebagai ajang terhormat untuk dijadikan ontologis kepemimpinan. Sehingga fototropisme yang terjadi bukan secara alami, Atau bisa kita katakan wujud frematur.

Ini menjadi fenomena yang sangat menimbulkan perbantahan, Hampir disela-sela kesibukan aktivitas manusia, selalu ada pertanyaan "kok bisa ya?, emang boleh segampang itu?, enak ya punya ordal?".

Seolah-olah pikiran kita didogmatis oleh prasangka-prasangka buruk tentang mereka yang punya wewenang dalam mengambil kebijakan, Kendati demikian itu benar terjadi.

Apa mungkin tidak ada sebab dan akibat?

Saya rasa ini merupakan sebuah permainan yang memerlukan analisa yang kuat untuk mengetahui maksud dan tujuannya. Misalnya dalam kontestasi pemilu 2024. 

Saya ingin mengajak kita melihat bagaimana proses terjadi. Kita awali dengan bagaimana isu-isu cawapres dan bacapres. Tentu ini tidak seperti yang kita bayangkan sebelumnya atau bahkan kita tidak percaya dengan apa yang terjadi. 

Pradigma menjelang akhir-akhir pencalonan bacapres sungguh sangat jelas bahkan menimbulkan kontroversi yang sangat luar biasa. Dari sisi ini apakah kita masih bertanya soal nepotisme!. Saya rasa ini kejadian yang konkrit, mau tidak mau, suka tidak suka, intinya ini sudah berlalu. Bahkan ada yang menjadi aktor utama dalam permainan ini ada juga yang rela ambil bagian untuk disalahkan, sebanarnya sudah tahu bahwa apa yang dikerjakan itu salah. Sekali lagi saya katakan sifat oportunis ini sangat berbahya jika disandingkan dengan nefotisme.

Tentu tidak ada cara yang mudah untuk mengakhiri praktik nefotisme di Indonesia karena sudah hadir hampir setiap lini kehidupan, terlebihya dikalangan para penguasa. Oleh karena itu, masyarakat perlu tahu dampak dari perilaku nepotisme. Dilemanya pada saat yang sama, pemerintah juga sebaliknya membuat peraturan yang dapat mencegah praktik nepotisme berlangsung di Indonesia.

Oleh: Abdul Jolai, Anggota Biasa PMKRI Cabang Yogyakarta, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pemerintahan TPMD-APMD)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun