Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Madya Bapas Baubau
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Alhamdulillah....

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Diversi Menurut Sistem Peradilan Pidana Anak

6 Desember 2022   10:00 Diperbarui: 6 Desember 2022   10:09 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latar Belakang

              Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses dimana semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan datang. Dalam pasal 1 angka 6 Undang-undang 11 Tahun 2012 tentang SPPA juga disebutkan bahwa Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada kedaan semula, dan bukan pembalasan.

              Salah satu variasi mekanisme keadilan restorative adalah sistem diversi. Dalam pasal 1 angka 7 Undang-undang 11 Tahun 2012 tentang SPPA disebutkan bahwa diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Pengalihan penanganan perkara anak dari proses pidana formal ke luar proses formal ini untuk diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi Indonesia, bahkan hukum adat di Indonesia tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dan perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan.

              Dengan menggunakan metode restorative, hasil yang diharapkan ialah berkurangnya jumlah anak anak yang ditangkap, ditahan dan divonis penjara, menghapuskan stigma dan mengembalikan anak menjadi manusia normal sehingga diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari. Ada pun sebagai mediator dalam musyawarah dapat diambil dari tokoh masyarakat yang terpercaya dan jika kejadiannya di sekolah, dapat dilakukan oleh kepala sekolah atau guru. Syarat utama dari penyelesaian melalui musyawarah adalah adanya pengakuan dari pelaku serta adanya persetujuan dari pelaku beserta keluarganya dan korban untuk menyelesaikan perkara melalui muyawarah pemulihan.

              Dalam hal proses peradilan harus berjalan, maka proses yang diharapkan adalah proses yang dapat memulihkan. Artinya perkara betul betul ditangani oleh aparat penegak hukum yang mempunyaai niat, minat, dedikasi, memahami masalah anak dan telah mengikuti pelatihan restorative justice. Penahanan juga dilakukan sebagai pilihan terakhir dengan mengindahkan prinsip-prinsip dasar dan konvensi tentang hak-hak anak yang telah diadopsi kedalam undang-undang perlindungan anak.

              Apabila anak terpaksa harus ditahan, penahanan tersebut harus di Rutan khusus anak (LPAS). Apabila terpaksa harus dipenjara maka harus ditempatkan di Lapas anak (LPKA). Baik di LPAS maupun di LPKA, anak harus tetap bersekolah dan mendapatkan hak-hakinya sesuai dengan The Beijing Rules agar mereka dapat menyongsong masa depan yang cerah. Karena pengabaian terhadap hak-hak anak adalah juga pengabaian terhadap masa depan bangsa dan Negara.

              Model restorative justice juga berlandaskan dengan due process model bekerjanya sistem peradilan pidana, yang sangat menghormati hak-hak hukum setiap tersangka seperti, hak untuk diduga dan diperlakukannnya sebagai orang yang tidak bersalah jika pengadilan belum memvonisnya bersalah, hak untuk membela diri dan hak untuk mendapatkan hukuman yang proposional dengan pelanggaran yang telah dilakukan. Dalam kasus anak pelaku pelanggaran hukum, mereka berhak mendapatkan pendampingan dari pengacaranya selama menjalani proses peradilan. Disamping itu adanya kepentingan korban yang juga tidak boleh diabaikan, namun demikian tetap harus memperhatikan hak hak asasi anak sebagai tersangka. Oleh karena itu, anak anak ini sebisa mungkin harus dijauhkan dari tindakan penghukuman sebagaimana yang biasa dilakukan kepada penjahat dewasa.

              Tindakan-tindakan yang dapat diambil anak anak yang telah divonis bersalah ini misalnya, pemberian hukuman bersyarat seperti kerja sosial/ pelayanan sosial serta pembebasan bersyarat. Dengan demikian dengan model restorative justice, proposionalitas penghukuman terhadap anak sangat diutamakan. Model ini sangat terlihat dalam ketentuan ketentuan The Beijing Rules dan dalam peraturan- peraturan PBB bagi perlindungan anak yang sebelumnya harus telah dilakukan dengan serius untuk menghindarkan anak anak dari proses hukum. Anak anak yang berhadapan dengan proses peradilan harus dilindungi hak haknya sebagai tersangka dan hak-haknya sebagai anak. Oleh karena itu, diperlukan aturan yang baku tentang syarat dan pelaksanaan bagi diberikannya perlakuan non-formal bagi kasus kasus anak yang berhadapan dengan hukum sehingga praktik-praktik negatif dalam sistem peradilan yang merugikan anak dapat dibatasi.

              Sejak lahirnya Undang-undang nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA, maka pada semua tingkatan proses peradilan pidana anak, terbuka bagi penegak hukum untuk melakukan diversi. Jadi diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri. Diversi ini dilatar belakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap perkembangan psikologis anak atas diberlakukannya sistem peradilan pidana dengan segala konsekuensinya penjatuhan pidananya. Diversi, adalah salah satu mekanisme yang dimaksudkan untuk mengkongkritkan pendekatan keadilan yang restoratif.

              Tidak kalah pentingnya mengenai diversi ini adalah berkaitan dengan kesadaran masyarakat, sampai seberapa jauh masyarakat memiliki pemahaman terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi sehingga ketika proses diversi dilakukan ada kesamaan pandangan. Bukan berorientasi untuk melakukan pembalasan, tetapi bagaimana menemukan keadilan yang bisa disepakati dengan tetap memperhatikan kepentingan anak untuk bisa menatap masa depannya tanpa terbebani dengan masalah hukum yang pernah dialaminya.

Pengertian Diversi

Sistem peradilan pidana yang di dalamnya terdiri atas proses penyidikan, proses penuntutan, proses pengadilan, dan proses pemasyarakatan merupakan bentuk formal dalam penyelesaian terhadap tindak pidana. Namun demikian tidaklah seluruh tindak pidana tersebut harus diselesaikan melalui bentuk formal. Dalam hal tertentu, suatu tindak pidana sangat memungkinkan untuk diselesaikan melalui alternatif lain. Lahirnya UU SPPA, telah menentukan dan mengatur alternatif penyelesaian perkara Anak berupa penyelesaian perkara di luar proses peradilan. Hal tersebut dikenal dengan sebutan diversi. Dalam pasal 1 angka 7 UU SPPA menyatakan bahwa Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Dan di Indonesia penerapan sistem diversinya adalah diversi dengan syarat.

Tujuan Diversi

Diversi sebagaimana diatur di dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA merupakan alternatif penyelesaian perkara Anak. Anak secara psikologis dan sosiologis dipandang perlu mendapatkan perlakuan khusus dalam mempertanggungjawabkan atas pelanggaran hukum yang dilakukannya. Alternatif penyelesaian perkara Anak perlu dilakukan dengan tujuan demi kepentingan yang terbaik bagi Anak. Dengan demikian diversi sebagai alternatif penyelesaian perkara Anak memiliki beberapa tujuan. Berdasarkan pasal 6 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, tujuan diversi adalah :

mencapai perdamaian antara korban dan Anak;

Keputusan yang diambil dalam diversi merupakan keputusan bersama berbagai pihak, khususnya Anak berkonflik hukum dan korban. Keputusan bersama ini cenderung lebih bisa memuaskan dan memenuhi rasa keadilan semua pihak. Oleh karena itu perdamaian antara Anak dan korban dapat diwujudkan.

menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;

Sesuai dengan definisinya, pelaksanaan diversi dalam menyelesaikan perkara Anak akan mengesampingkan proses peradilan.

menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;

Penyelesaian perkara Anak di luar proses peradilan menutup peluang terjadinya penahanan maupun pemenjaraan terhadap Anak. Berdasarkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ditegaskan bahwa kesepakatan dalam diversi tidak menyebutkan adanya hal yang bersifat perampasan kemerdekaan. Dan selama proses diversi pun anak tidak boleh ditahan.

mendorong masyarakat untuk berpartisipasi

Masyarakat merupakan salah satu pihak yang harus dilibatkan dalam proses diversi. Sekalipun kesepakatan diversi tersebut merupakan hasil kesepakatan bersama antara Anak dan korban, namun pada dasarnya kesepakatan tersebut diambil setelah mendapatkan saran ataupun pendapat masyarakat.

menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Diversi tidaklah berarti Anak dibebaskan dari tanggung jawab atas perbuatannya. Oleh karena itu, dengan adanya diversi ini setiap perkara Anak tidak begitu saja dialihkan keluar proses peradilan. Melalui diversi ini, Anak tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bentuk peratnggungjawaban tersebut adalah berupa pengakuan atas perbuatannya, kesediaam mengganti kerugian, maupun hal-hal lain yang disepakati.

Syarat Diversi

Demi kepentingan terbaik bagi Anak merupakan semangat yang terkandung di dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Legalitas diversi di dalam undang undang tersebut adalah wujud nyata dari semangat demi kepentingan yang terbaik bagi Anak. Namun demikian Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur batasan-batasan perkara Anak yang dapat diselesaikan melalui diversi. Hal tersebut berarti tidak semua perkara Anak dapat diselesaikan melalui diversi. UU SPPA dalam pasal 7 ayat 2 (dua) menyebutkan bahwa syarat perkara Anak yang wajib dilakukan upaya diversi adalah :

  • Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
  • Bukan merupakan pengulangan pidana.

Serta diversi dilakukan untuk anak yang telah berumur 12 tahun ke atas (anak yang berkonflik dengan hukum) Karena jika anak belum berumur 12 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana maka dilakukan pengambilan keputusan di tingkat penyidikan berdasarkan pasal 21 Undang-undang SPPA.

Selanjutnya Jika tidak memenuhi persyaratan komulatif diversi, maka terhadap perkara (anak yang dalam rentang usia 12 sampai dibawah 18 tahun) tersebut tidak dilakukan upaya diversi dan perkaranya diselesaikan melalui proses peradilan formal.               

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun