Mohon tunggu...
Abdul Bukhori
Abdul Bukhori Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Sosiologi Fisip Unair

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pembangunan Hutan Pasca Reformasi

27 Desember 2014   19:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:22 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembangunan Hutan Pasca Reformasi

1.1Latar Belakang

Pembangunan sektor kehutanan di Indonesia masih jauh dari kategori layak. Pemerintah yang abai dalam merawat dan menjaga kondisi hutan menyebabkan terjadinya deforestasiyang cukup signifikan. Luas hutan Indonesia dari tahun ke tahunnya mengalami penurunan. Kerusakan hutan disebabkan secara alamiah maupun oleh aktivitas manusia seperti  penebangan pohon secara ilegal, pembakaran hutan untuk pembukaan lahan kelapa sawit, dan pengelolaan hutan yang condong pada keuntungan pemilik modal. Tidak adanya kepedulian pemerintah dalam mengelola hutan yang pro-rakyat menimbulkan kesenjangan sosial ekonomi pada masyarakat sekitar hutan. Ketergantung masyarakat secara ekonomi dari sumber daya kehutanan mengalami guncangan. Hal ini disebabkan hutan tidak lagi memiliki fungsi produktif bagi masyarakat sekitar hutan. Lalu, bagaimana konsep pemerintah pasca reformasi dalam melakukan pembangunan sektor kehutanan dewasa ini?

Permasalahan sosial, ekonomi, politik yang berkaitan dengan sektor kehutanan erat kaitannya dengan ideologi pembangunanisme yang diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru. Perpindahan kekuasaan dari pemerintahan Soekarno yang cenderung pro-rakyat tidak diikuti oleh pemerintahan Soeharto. Paradigma pembangunan ekonomi yang kapitalis dan menganut pola pembangunan negara industri maju menguntungkan sekelompok orang saja. Para teknokrasi semasa pimpinan Soeharto yang terkenal dengan sebutan “Mafia Berkeley” mengambil langkah langsung untuk mengambil kebijakan ekonomi melalui politik stabilisasi dan kebijakan rehabilitasi ekonomi.

Prioritas ditempatkan atas kebijakan stabilisasi, yakni pemerintahan melancarkan kebijakan-kebijakan untuk mengontrol hiperinflasi, menyesuaikan anggaran belanja yang berimbang, menyiapkan ekonomi dengan iklim yang baik untuk investasi asing. Sedangkan kebijakan rehabilitasi ekonomi adalah menyiapkan kebutuhan pokok untuk masyarakat Indonesia seperti pangan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Kebijakan ini sangat jelas pengaruhnya untuk memperbaiki kinerja ekonomi khususnya dan mempercepat pertumbuhan ekonomi makro pada umumnya. Hal ini tentunya memerlukan modal ekonomi yang sangat besar untuk memulainya, sektor kehutanan merupakan salah satu sumber devisa negara dan sektor yang dapat menyerap banyak tenaga kerja.

Pembangunan sektor kehutanan sejatinya sudah dimulai semenjak era kolonialisme Belanda. Namun, periode pembangunan sektor kehutanan yang paling menunjukkan keterlibatan pemerintah yakni di era presiden Soeharto. Kebijakan Soeharto dalam pembangunan sektor kehutanan dimulai semenjak dirinya menjadi presiden. Dalam faktanya, kebijakan pembangunan sektor kehutanan yang dilakukan hanya menguntungkan pemodal asing dan sekelompok orang saja. Berbagai macam produk undang-undang, peraturan pemerintah, dan kebijakan liannya hanya berpihak pada pemilik modal asing. Hal ini dapat dilihat dari tabel kebijakan pemerintahan Soeharto selama menjabat sebagai presiden dan akhirnya mengundurkan diri pada tahun 1998:

TABEL 1.

NO

TAHUN

PERIODE

1.

1966

Soeharto menjadi presiden

2.

1966 (September)

Dibentuk Direktorat Jenderal Kehutanan yang dipimpin oleh Dr. Soejarwo

3.

1966 (November)

Raker pertama Dirjen Kehutanan, dan berhasil merumuskan Landasan Idiil Rimbawan Kaliurang

4.

1967

Pemrintah mengundangkan Undang-undang tentang penanaman modal asing (UU No. 1/1967)

5.

1967

Diterbitkan PP No. 22 tahun 1967 tentang Iuran Hak Pengusaha Hutan dan Iuran Hasil Hutan

6.

1968

Undang-undang tentang Penanaman Modal dalam Negeri

7.

1970

Menteri Pertanian yang membawahi urusan Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri No. 291/Kpts/Um/1970 tentang Areal Kerja Pengusaha Hutan.

8.

1970

Dirjen Kehutanan menetapkan pengusahaan hutan dan perencanaan hutan berdasar PP No 21 tahun 1970 dan PP No 30 tahun 1970

9.

1970

Pengusaha hutan dalam bentuk HPH mulai beroperasi dan tahun 2014 yang aktif beroperasi berjumlah 45 unit

10.

1972

PP No. 15/1972 kedudukan Perhutani menjadi Perum

11.

1972

Surat Keputusan Dirjen Kehutanan No. 34 tahun 1972 untuk menjaga kelestarian hutan

12.

1978

Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang diprakarsai oleh Dr. Soejarwo

13.

1979

Indonesia merupakan produsen kayu tropis terbesar dunia

14.

1980

Pembangunan HTI dimulai

15.

1980

Jumlah HPH teah berkembang menjadi 454 unit

16.

1980

SKB tiga Menteri tentang pembangunan industri kayu oleh pengusaha HPH

17.

1981

Dirjen Kehutanan mengeluarkan kesepakatan sementara antara instasi terkait, tertuang dalam Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK)

18.

1984

Dierjen Kehutanan dengan SK Presiden R.I. No. 15 tahun 1984 ditingkatkan menjadi Departemen Kehutanan

19.

1984-1988

Era Menteri Kehutanan Soedjarwo, Presiden Soeharto

20.

1985

Pemerintah memberlakukan larangan ekspor kayu mentah. Hal ini menyebabkan perusahaan kayu internasional meninggalkan Indonesia

21.

1986

SK Menteri Kehutanan No. 417/II/1986 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri

22.

1988-1993

Era Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap, Presiden Soeharto

23.

1990

PP No. 9 tahun 1990 tentang Dana Reboisasi

24.

1990

Kongres Kehutanan Indonesia II di Jakarta

25.

1991

SK Menteri Kehutanan No. 691/Kpts-II/1991, pemerintah mengatur tentang peranan pemegang HPJ/HPHTI dalam pembinaan di masyarakat di dalam dan sekitar hutan (PMDH)

26.

1991

Jumlah HPH 564, luas areal 59,62 juta ha

27.

1992

UU No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang hutan diantaranya, Kawasan Lindung, Kawasan Budidaya Kehutanan, dan Kawasan Budidaya Non Kehutanan

28.

1992

Produksi tahunan kayu lapis hampir mencapai 11 juta m3, 80% diantaranya diekspor

29.

1993-1998

Era Menteri Kehutanan Djamaludin Suryohadikusumo

30.

1994

SKB tentang Pola HTI-Trans

31.

1995

SK Menteri Kehutanan No. 292/Kpts-II/1995, tanggal 12 Juni 1995 tentang tukar menukar kawasan hutan

32.

1995

Jumlah HPH 540, luas areal 61,03 juta ha

33.

1996

HPH yang beroperasi berjumlah 565 unit dengan 60.1 juta ha

34.

1996

Terdapat 65 pabrik pulp dan kertas yang beroproduksi

35.

1997

Nilai kotor ekspor kayu US$ 6 triliun

36.

1997

Volume ekspor dan pendapatan Indonesia dari kayu lapis sejumlah 8,5 juta m3 pada 1997, senilai USD 3,4 miliar, dengan harga USD 400/m3

37.

1998

Volume ekspor kayu 49 juta m3

38.

1998

Era Menteri Kehutanan Sumahadi (Maret-Mei 1998)

39.

1998

Presiden Soeharto mengundurkan diri

Kekuasaan Soeharto selama 32 tahun memimpin Indonesia, tidak diimbangi dengan kebijakan sektor kehutanan yang pro-rakyat. Produk kebijakan telah terbukti menguntungkan pemilik modal asing. Meskipun pada tahun 1985 pemerintah telah mengeluarkan kebijakan larangan ekspor kayu yang berdampak hengkangnya beberapa pemodal asing, namun kerusakan lingkungan hutan dan semakin tersingkirnya masyarakat sekitar hutan menjadi bukti kegagalan pemerintahan Soeharto dalam tata kelola hutan.

Ideologi pembangunanisme yang diusung pemerintahan Orde Baru merupakan kepentingan yang terselubung dari kapitalisme. Pembangunan yang digemborkan era pemerintahan Soeharto merupakan wujud lain dari kapitalisme yang dilakukan negara. Pembangunanisme merupakan model governance pasca tahun 1930an. Merupakan alternatif terhadap paham kapitalisme liberal yang pada tahun tersebut mengalami kritis. Cikal bakal pembangunanisme didasarkan atas teori ekonomi J.M. Keynes yang sukses diterapkan oleh Rosevelt dengan proyek “New Deal”. Proyek ini dianggap berhasil membawa Amerika keluar dari tekanan krisis ekonomi di tahun 1930an. Namun, dalam perjalanan selanjutnya pembangunanisme dijadikan sebagai ideologi oleh Harry S, Trauman dalam strategi Perang Dingin untuk membendung semangat sosialisme yang bangkit bersamaan dengan runtuhnya kawasan bangsa-bangsa di Dunia Ketiga.

Paham pembangunanisme dibangun berdasarkan landasan paham developmentalisme. Paham developmentalisme merupakan pendekatan teori dan ideologi perubahan sosial pasca Perang Dunia II, atau era postkolonialisme yang dibangun atas landasan modernisasi. Paham modernisasi ini mulanya dikembangkan sebagai alternatif model liberal yang mengalami krisis legitimasi tahun 1930an menjelang berakhirnya era kolonialisme. Saat ini kita tengah menyaksikan runtuhnya model pembangunanisme ini atau yang disebut sebagai negara kapitalisme atau “State-led Development”. Pembangunanisme merupakan bagian dari perjalanan dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia, yang diperkirakan berusia lebih dari lima ratus tahun. Proses itu dimulai dari zaman kolonialisme yang merupakan bentuk kapitalisme yang berkembang di Eropa yang mengharuskan ekspansi secara fisik untuk memastikan bahan baku industri bagi negara mereka. Pada fase kolonialisme inilah segenap teori dan ideologi yang mendukungnya berlangsung dalam bentuk penjajahan secara langsung selama ratusan tahun.

Memasuki era postkolonialisme, penjajahan tetap berlangsung, namun dilakukan tidak secara fisik seperti era kolonianialisme. Dominasi dan eksploitasi tetap saja berlangsung dengan modus baru, yakni dengan teori dan ideologi. Era inilah yang dimaksud dengan pembangunanisme. Era ini ditandai dengan kemerdekaan negara terjajah secara fisik, namun dominasi negara penjajah terhadap negara bekas koloni tetap dilanggengkan melalui teori dan kontrol terhadap kebijakan sosial. Dalam kaitan itulah sesungguhnya teori pembangunan menjadi bagian dari alat dominasi, karena berbagai teori tersebut menjadi paradigma yang melanggengkan dan melegitimasi ketergantungan Dunia Ketiga terhadap negara-negara Utara. Dengan kata lain, pada fase kedua ini kolonialisasi tidak terjadi secara fisik, melainkan melalui hegemoni cara pandang dan ideologi serta discourse melalui reproduksi pengetahuan.

Proses pembangunan yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru telah menyebabkan terjadinya dehumanisasi dan pemiskinan struktural. Eksploitasi tidak hanya pada manusia dengan manusia , namun juga eksploitasi pada sumber daya alam. Hal ini menjadi sangat miris, karena proses eksploitasi dilakukan oleh negara. Proses eksploitasi yang mengatasnamakan pembangunan menjadi alat legitimasi pemerintah untuk melakukan tindakan represif terhadap rakyatnya. Kebebasan dalam konteks demokrasi tidak dapat dinikmati disebabkan karena rezim otoriter Orde Baru. Negara sebagai penjamin atas kehidupan sosial, ekonomi, politik warganya tidak dapat melaksanakan tanggung jawab tersebut. Kontrak sosial yang terjalin antara negara dengan rakyat dalam payung hukum Hak Asasi Manusia (HAM) tidak dilaksanakan. Hal ini juga berdampak terhadap tanggung jawab negara dalam mengelola sumber daya alam untuk kebutuhan masyarakat sesuai dengan amanat UUD 1945.

1.2. Fokus Masalah

Kerusakan hutan menjadi tanggung jawab pemerintah. Pembangunan pada sektor kehutanan yang lebih mengutamakan pemilik modal asing telah menyebabkan hutan menjadi sumber daya alam yang tengah mengalami deforestasi.  Pengelolaan hutan yang  tidak didasarkan atas kepentingan rakyat, menyebabkan hutan yang menjadi sumber daya secara ekonomi masyarakat sekitar hutan terganggu. Pembangunan sektor kehutanan merupakan bentuk eksploitasi yang dilegalkan atas nama negara. Perlu adanya pembangunan sektor kehutanan produktif dan tidak eksploitatif. Lalu, bagaimana konsep pemerintah pasca reformasi dalam melakukan pembangunan sektor kehutanan dewasa ini?

BAB II

KAJIAN TEORETIS

2.1 Kajian Teoritis

·Paradigma Pembangunan Keberlanjutan

Tahun 1972, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelenggarakan Konferensi negenai Lingkungan Manusia (Conference on The Human Environment) di Stockholm. Delegasi dari Indonesia untuk peserta konferensi tersebut dipimpin oleh Prof. Emil Salim. Di konferensi itulah untuk pertama kalinya secara luas  perwakilan warga negara dunia menekankan perlu adanya  perhitungan aspek lingkungan untuk program pembangunan yang selama ini dijalankan. Pada pertemuan tersebut, negara-negara berkembang menanyakan bagaiamana memasukkan aspek lingkungan dalam pembangunan yang selama ini terkonsentrasi pada pembangunan sektor ekonomi. Sebagian negara berkembang bahkan mencurigai isu lingkungan  adalah akal-akalan negara maju untuk menghindar dari tuntutan agar negara maju membantu negara berkembang dengan menyumbang sebesar 0,7 persen dari GDP (Gross Domestic Product) mereka untuk negara berkembang. Namun demikian peserta konferensi akhirnya mencapai kesepakatan, dan dihasilkan sebuah deklarasi yang merupakan tonggak penting terbentuknya konsep dan penerapan Pembangunan Berkelanjutan.

Pembangunan konvensional telah merusak dan mencemari lingkungan. Hal ini bersamaan dengan terjadinya kesenjanngan sosial ekonomi. Pembangunan Berkelanjutan membutuhkan tiga yang tumbuh bersama-sama, yakni aspek lingkungan, aspek sosial, aspek eknomi yang tumbuh dan saling berinteraksi  seperti yang digambarkan dalam tabel berikut:

TABEL 2

Dari/Ke

Ekonomi

Sosial

Lingkungan

Ekonomi

Pengentasan Rakyat Miskin

Dampak terkait

Dampak terkait

Sosial

Dampak terkait

Pembangunan manusia

Dampak terkait

Lingkungan

Dampak terkait

Dampak terkait

Pelestarian ekosistem

Tabel di atas menunjukkan pengentasan rakyat miskin akan berdampak pada aspek sosial dan aspek lingkungan.Hal ini juga akan terjadi pula pada pembangunan aspek sosial dan lingkungan sesuia dengan penjelasan tabel di atas. Pembangunan berkelanjutan, bentuk pembangunan ini dan segala dampak terhadap aspek yang lain harus juga turut dipertimbangkan. Setiap keterkaitan dan dampak pembangunan, harus dapat diungkap dengan menyeluruh. Hal ini akan membuat proses pembangunan keberlanjutan tidak timpang terhadap salah satu aspek saja.

Paradigmapembangunan berkelanjutan membutuhkan perubahan fundamental terhadap paradigma pembangunan konvensioanal. Pertama, pembangunan keberlanjutan mengubah perspektif pendek ke erspektif jangka panjang. Hal ini berdasar pertimbangan pembangunan konvensional yang lebih mementingkan keuntungan jangka pendek dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam secara intensif. Kedua, pembangunan keberlanjutan melemhakan posisi ekonomi sebagai prioritas pembangunan, namun meletakkannya sejajar dengan aspek sosial dan lingkungan. Ketiga, pembangunan berkelanjutan memerlukan kebijaka secara fundamental agar kepentingan publik dapat ditempatkan di atas kepentingan pribadi; caranya adalah dengan menggunakan instrumen fiskal dan moneter yang tepat dalam sebuah kerangka kebijakan yang lebih kondusif. Keempat, pembangunan keberlanjutan harus menangkap kegagalan pasar dan menginternalisasi semua biaya eksternal yang berkaitan dengan pembangunan sosial dan lingkungan. Gagasan ini bukanlah untuk “memperoleh harga yang diinginkan” tapi untuk “menetapkan harga yang tepat”. Kelima, pembanguna keberlanjutan memerlukan sistem check and balance yang didukung oleh kemitraan tiga sisi yang setara antara pemerintah, korporasi dan, masyarakat sipil yang secara bersama-sama dapat melakukan koreksi terhadap pasar serta melakukan perbaikan kondisi terhadap kegagalan pemerintah.

2.2 Kerangka Berpikir

Pembangunan Berkelanjutan merupakan paradigma pembangunan yang tidak hanya menitikberatkan pertumbuhan ekonomi, namun juga memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. Konsep pembangunime dalam pemikiran Emil Salim merupakan paradigma pembangunan konvensional. Paradigma pembangunan konvesional telah menyebabkan kesenjangan sosial ekonomi dan kerusakan lingkungan. Pembangunan konvensional merupakan wujud lain dari kolonialisme yang dilakukan negara-negara industri maju. Upaya eksploitasi pada mulanya tidak hanya terjadi pada sumber daya berupa manusia, namun juga eksploitasi dalam bentuk sumber daya alam. Terlebih lagi eksploitasi ini merujuk pada sumber daya dalam sektor kehutanan.

Pembangunan konvensional dalam sektor kehutanan menyebabkan kerusakan alam. Ekosistem hutan menjadi terganggu akibat pohon-pohon yang banyak ditebangi. Pembangunan konvensional yang menitikberatkan aspek ekonomi berdampak pada terjadinya kesenjangan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Tentu saja hal ini termasuk dalam konteks kemiskinan yang diciptakan akibat keterbatasan pemenuhan kebutuhan hidup. Hutan yang menjadi pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat sekitar hutan tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan ekonomi tersebut.

Pembangunan berkelanjutan merupakan solusi yang tepat dalam mengatasi permasalahan ini. Pembangunan berkelanjutan menerapkan sistem yang berimbang dan interaktif, yakni antara aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek lingkungan. Lingkungan yang mengalami kerusakan akibat penerapan pembangunan konvensional perlu adanya upaya untuk rehabilitasi. Hal ini dikarenakan lingkungan menopang kehidupan masyarakat. Hutan yang merupakan bagian dari lingkungan perlu penerapan kebijakan pembangunan keberlanjutan. Hutan bagian yang sentral dalam pembangunan dewasa ini.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Deskripsi Kasus

·Ideologi Pembangunanisme Sektor Kehutanan

Pembangunanisme merupakan bentuk lain dari eksploitasi yang dilakukan negara industri maju terhadap negara berkembang. Kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang sebagian besar dimiliki negara berkembang mengundang ketertarikan negara industri maju untuk melakukan praktek kolonial. Kebutuhan akan sumber daya alam sebagai bahan produksi negara industri maju dikarenakan negara industri maju terbatas dalam memenuhi kebutuhan produksi industrinya. Praktek kolonialisme sebagai upaya dalam pemenuhan kebutuhan industri dengan mengeskploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki negara berkembang di Dunia Ketiga.

Sektor kehutanan yang merupakan bagian dari sumber daya alam tidak luput dari praktek eksploitasi. Ideologi pembangunanisme yang diterapkan negara Dunia Selatan, khususnya Amerika Serikat merupakan bentuk aplikatif negara Dunia Ketiga untuk menerapkan pola pembangunan di negaranya. Ideologi pembangunanisme merupakan pola pembangunan yang menitikberatkan pada aspek ekonomi semata. Pertumbuhan pembangunan yang mengesampingkan aspek di luar ekonomi menimbulkan dampak bagi manusia dan lingkungan. pertimbangan sosial dan lingkungan sebagai akibat dari ideologi pembangunanisme yang dianut pemerintahan di era Soeharto menyebabkan terjadinya kemiskinan. Pembangunan yang melihat pertumbuhan ekonomi dari tingkat pendapatan barang dan jasa yang dihasilkan industri (Gross Domestic Product) dalam sebuah negara berdampak pada tidak dilihatnya aspek sosial dan lingkungan.

Ideologi pembangunanisme telah menciptakan kerusakan di sektor kehutanan. Masyarakat sekitar hutan yang bergantung secara ekonomi untuk pemenuhan hidup menjadi terganggu. Kemiskinan yang terjadi di masyarakat sekitar hutan merupakan akibat dari ideologi pembangunanisme. Pembangunan kehutanan nyatanya merupakan eksploitasi yang dilakukan negara dengan mengatasnamakan pembangunan. Terjadinya gesekan konflik vertikal maupun horisontal sebagai akibat terjadinya pembangunan yang dilakukan negara dalam sektor kehutanan.  Konflik sosial seringkali berakar dari produk undang-undang semasa pemerintahan Orde Baru. Masyarakat sekitar hutan merasa tidak dilibatkan dalam usaha tata kelola pembangunan hutan.

·Kritik Ideologi Pembangunanisme

Ideologi pembangunanisme pada masanya tidak luput dari berbagai macam kritik, baik dalam konteks teori dan aplikatifnya. Pembangunanisme yang merupakan teori ekonomi berubah menjadi ideologi. Dalam konteks teori, pembagunanisme merupakan bagian dari proyek modernisasi negara industri maju. Modernisasi menjadikan praktek eksploitasi terhadap negara Dunia Ketiga dilegalkan dengan mengatasnamakan pemberadaban suatu bangsa. Praktek pembangunanisme yang terjadi di negara Dunia Ketiga, seperti yang terjadi di Amerika Latin melahirkan kritikus dari upaya pembangunan yang mengatasnamakan modernisasi.

Kritik dari teori pembangunan yakni teori ketergantungan. Teori ketergantungan merupakan varian dari teori struktural. Kendati berinduk pada teori struktural yang sangat Marxis, teori ketergantungan sebenarnya lahir dari gabungan pandangan liberal dan sosialis. Pencetus teori in adlah dua ilmuwan yang mewakili dua mazhab besar itu, yakni Raul Prebisch, seorang pakar ekonom liberal yang pernah menjabat penasihat ahli di PBB, dan Paul Baran, seorangg pemikir Marxis yang sangat isu pembangunan di Dunia Ketiga. Tapi, teori ketergantungan mendapatkan gaung kerasnya di tangan para intelektual “kiri” seperti Andre Gunder Frank, Tehotonio Dos Santos, Christoper Chase-Dunn, dan Fernando Henrique Cardoso. Proposisi teori ketergantungan yakni sebab utama kemiskinan dan kegagalan pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga bukan karena keterlambatan melakukan modernisasi, tapi justru karena adanya campur tangan dari luar (negara-negara kapitalis), sehingga menghalangi perkembangan negara-negara Dunia Ketiga. Argumen berangkat dari asumsi bahwa negara-negara Dunia Ketiga (yang biasa disebut “negara pinggiran”) memiliki dinamikanya tersendiri yang unik dan berbeda dari negara-negara Kapitalis Barat. Karena keunikan ini, maka pendekatan yang dipakai juga harus berbeda.

Ketergantungan yang berlebihan terhadap negara industri maju merupakan faktor utama negara “pinggiran” sulit berkembang. Pola hubungan yang tidak setara menciptakan kesenjangan yang terus mmelebar antara negara-negara kapitalis dan negara-negara miskin. Solusinya adalah memberikan kebebasan bagi negara-negara pinggiran untuk mengembangkan dirinya sendiri dengan melihat konteks budaya dan kesejarahan yang ada padanya.

3.2 Analisis Kasus

·Pembangunan Sektor Kehutanan Pasca Reformasi

Konsep pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development)bukanlah hasil dari pemikiran ahli ekonomi ataupun pakar pembangunan. Konsep yang mengandung asas dan pronsip-prinsip dasar untuk pembangunan masa depan itu lahir dari hasil reaksi civil society (masyarakat warga) atas pola pembangunan dan kebijakan publik yang dianggap keliru. Mereka menolak pola dan praktik-praktik pembangunan model konvensional yang tidak peduli lingkungan dan kondisi sosial masyarakat yang tersisihkan oleh pembangunan tersebut. Upaya mereka dalam menolak pembangunan konvensional yang merusak lingkungan dilakukan dengan berbagai aksi dan gerakan sosial serta melakukan advokasi terhadap kebijakan publi di tingkat global, nasional, sampai lokal di berbagai pelosok dunia.  Aksi masyarakat sipil yang peduli lingkungan itu kemudian menjelma dalam “gerakan lingkungan” yang menggelinding, hingga akhirnya melahirkan konsep dan pendekatan “pembangunan berkelanjutan”.

Produk kebijakan yang berupa undang-undang menjadi landasan atas eksploitasi sumber daya hutan. Pembangunan sektor kehutanan yang menjadi otoritas negara dalam faktanya menimbulkan berbagai macam kerusakan lingkungan. Pembangunan konvensional juga menimbulkan terjadinya konflik, baik konflik vertikal maupun konflik horisontal. Konflik kehutanan sebagai dampak dari produk undang-undang Orde Baru yang tidak mempertimbangkan keterlibatan masyarakat sekitar hutan.

·Permasalahan dalam Pembangunan Hutan

Konflik kehutanan menjadi isu yang berkembang semenjak pasca reformasi 1998. Berdasarkan data yang diperoleh dari HuMa yang merupakan organisasi non pemerintah yang berfokus pada hukum berbasis masyarakat dan kajian ekologis mencatat bahwa semenjak tahun 2012, terdapat 232 konflik yang terjadi di 2 provinsi, dan sebanyak 72 konflik terjadi di kawasan hutan, dan lebih spesifk lagi, 41 konflik terjadi di Jawa. Ini adalah data-data yang dilaporkan dari para mitra HuMa di wilayah regional, belum termasuk konflik-konflik sosial kehutanan yang bersifat latent dan belum dilaporkan ke publik. Konflik-konflik agraria tersebut berkaitan dengan klaim penguasan tanah dan ketiadan akses masyarakat untuk mengelola hutan. Tak adanya lahan garapan dan akses terhadap sumber daya hutan juga mengakibatkan kemiskinan masyarakat desa hutan.

Sedangkan untuk regional Jawa Timur berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dari 163 konflik agraria yang terjadi sepanjang tahun 2011, sebanyak 36 kasus terjadi di Jawa Timur. Jumlah itu menjadikan provinsi yang memiliki luas wilayah 47.157,72 km2 ini berada diurutan pertama dalam kasus konflik agraria di Indonesia. Secara kuantitas, konflik agraria yang terjadi di Jawa Timur pada tahun 2012 memang mengalami penurunan.Namun, provinsi ini masih tetap berada diurutan pertama dalam kasus konflik agraria sepanjang tahun 2012. Dari 198 konflik agraria yang terjadi diseluruh wilayah Indonesia, 24 kasus di Jawa Timur. Konflik agraria yang ada di Jawa Timur ini tersebar di 259 desa, 136 kecamatan, dan 31 Kabupaten/Kota. Konflik ini melibatkan pelbagai instansi pemerintah seperti, kehutanan, perkebunan (baik perkebunan swasta maupun perkebunan milik pemerintah), institusi militer, pertambangan, dan pelbagai instansi pemerintah lainnya.Konlik kehutanan acapkali melibatkan dua atau lebih aktor yang terlibat konflik, yakni pemerintah dan pihak yang terkait dengan masyarakat lokal di sekitar wilayah hutan. Konflik kehutanan yang terjadi di wilayah Jawa Timur dapat disebabkan karena pelbagai macam persoalan, antara lain persoalan penataan batas hutan, pengelolaan sumber daya hutan, transformasi kebijakan hutan, pemberdayaan masyarakat di sekitar area hutan, konflik sosial hingga sengketa agraria.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pembangunan sektor kehutanan sejatinya sudah dimulai semenjak era kolonialisme Belanda. Namun, periode pembangunan sektor kehutanan yang paling menunjukkan keterlibatan pemerintah yakni di era presiden Soeharto. Kebijakan Soeharto dalam pembangunan sektor kehutanan dimulai semenjak dirinya menjadi presiden. Dalam faktanya, kebijakan pembangunan sektor kehutanan yang dilakukan hanya menguntungkan pemodal asing dan sekelompok orang saja. Berbagai macam produk undang-undang, peraturan pemerintah, dan kebijakan liannya hanya berpihak pada pemilik modal asing.

Konsep pembangunan sektor hutan pada mulanya menerapkan kebijakan pembangunan yang konvensional. Kebijakan pembangunan konvensional menitikberatkan pembangunan pada sektor ekonomi saja. Pengelolaan hutan yang  tidak didasarkan atas kepentingan rakyat, menyebabkan hutan yang menjadi sumber daya secara ekonomi masyarakat sekitar hutan terganggu. Pembangunan sektor kehutanan merupakan bentuk eksploitasi yang dilegalkan atas nama negara. Perlu adanya pembangunan sektor kehutanan produktif dan tidak eksploitatif.

Ideologi pembangunanisme telah menciptakan kerusakan di sektor kehutanan. Masyarakat sekitar hutan yang bergantung secara ekonomi untuk pemenuhan hidup menjadi terganggu. Kemiskinan yang terjadi di masyarakat sekitar hutan merupakan akibat dari ideologi pembangunanisme. Pembangunan kehutanan nyatanya merupakan eksploitasi yang dilakukan negara dengan mengatasnamakan pembangunan. Terjadinya gesekan konflik vertikal maupun horisontal sebagai akibat terjadinya pembangunan yang dilakukan negara dalam sektor kehutanan.  Konflik sosial seringkali berakar dari produk undang-undang semasa pemerintahan Orde Baru. Masyarakat sekitar hutan merasa tidak dilibatkan dalam usaha tata kelola pembangunan hutan.

Konsep pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) merupakan pola pembangunan yang tidak hanya menitikberatkan pada aspek ekonomi saja. Keterkaitan antara pembangunan dengan konteks sosial dan lingkungan. Pembangunan keberlanjutan menerapkan model pembangunan yang interaktif antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Hutan dalam hal ini termasuk kategori lingkungan memerlukan pembangunan yang tidak hanya dari sisi hutan itu sendiri, namun juga perlu memperhatikan masyarakat di sekitar hutan. Perlu adanya keterlibatan dalam tata kelola hutan antara masyarakat dengan pemerintah. Meskipun hal ini sudah termaktub dalam undang-undang, namun masyarakat seringkali tidak dilibatkan dalam tata kelola hutan. Hal ini berdampak pada terjadinya konflik sosial.

4.2 Saran

Pembangunan berkelanjutan menerapkan sistem yang berimbang dan interaktif, yakni antara aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek lingkungan. Lingkungan yang mengalami kerusakan akibat penerapan pembangunan konvensional perlu adanya upaya untuk rehabilitasi. Hal ini dikarenakan lingkungan menopang kehidupan masyarakat. Hutan yang merupakan bagian dari lingkungan perlu penerapan kebijakan pembangunan keberlanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Iwan J. Dkk. 2010. Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

Budiman, Arif. 2006. Kebebasan, Negara, Pembangunan. Jakarta: Pustaka Alvabet dan Freedom Institut.

Fakih, Mansour. 2010. Bebas dari Neoliberalisme. Yogyakarta: Insistpress

Hidayat, Herman. 2008. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: Yayasan Obor.

Sumardjani, Lisman. 2007. Konflik Sosial Kehutanan: Mencari Pemahaman untuk Penyelesaian Terbaik. Bogor: Fflora Mundial Communication.

http://huma.or.id/tentang-huma#599

http://id.wikipedia.org/wiki/Mafia_Berkeley

http://id.wikipedia.org/wiki/Pengawahutanan

http://www.koran-sindo.com/node/297683

http://www.kpa.or.id/wp-content/uploads/2013/04/Paper-Hutan-Jawa_Rahma.pdf

Deforestasi dalah kegiatan penebangan hutanatau tegakan pohon (stand of trees) sehingga lahannya dapat dialihgunakan untuk penggunaan nir-hutan (non-forest use), yaknipertanian,peternakanataukawasan perkotaan. Wikipedia,http://id.wikipedia.org/wiki/Pengawahutanan, diakses pada tanggal 22 Desemeber 2014

Mafia Berkeley merupakan sebutan untuk teknokrat ekonomi lulusan Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat. Misalnya Wijoyo Nitisastro, Emil Salim, Sadeli, Ali Wardana, dll. Kelompok tersebut dipercaya untuk merancang pembangunan ekonomi pemerintahan Soeharto (1968-1978). Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Mafia_Berkeley diakses pada tanggal 22 Desemeber 2014

Hidayat, Herman. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: Yayasan Obor, 2008, hal. 1-2.

Sumardjani, Lisman. Konflik Sosial Kehutanan: Mencari Pemahaman untuk Penyelesaian Terbaik. Bogor: Fflora Mundial Communication.  2007. Hal. 125-130

Fakih, Mansour. Bebas dari Neoliberalisme. Yogyakarta. Insistpress. 2010. Hal 22-23

Ibid. Hal 23-24

Ibid. Hal 24-25

Aziz, Iwan J. Dkk. Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). 2010. Hal. 1-2

Ibid. Hal. 24-25

Ibid. Hal 27-28

Budiman, Arif. Kebebasan, Negara, Pembangunan. Jakarta: Pustaka Alvabet dan Freedom Institut. 2006. Hal. x-xi

Ibid. Hal xi

Op Cit. Hal. 153

http://huma.or.id/tentang-huma#599 diakses pada tanggal 26 Desember 2014 pukul 19.00

http://www.kpa.or.id/wp-content/uploads/2013/04/Paper-Hutan-Jawa_Rahma.pdf diakses pada tanggal 26 Desember 2014 pukul 19.00

http://www.koran-sindo.com/node/297683 diakses pada tanggal 01 Oktober 2014 pukul 19.00

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun