Pembangunan manusia
Dampak terkait
Lingkungan
Dampak terkait
Dampak terkait
Pelestarian ekosistem
Tabel di atas menunjukkan pengentasan rakyat miskin akan berdampak pada aspek sosial dan aspek lingkungan.Hal ini juga akan terjadi pula pada pembangunan aspek sosial dan lingkungan sesuia dengan penjelasan tabel di atas. Pembangunan berkelanjutan, bentuk pembangunan ini dan segala dampak terhadap aspek yang lain harus juga turut dipertimbangkan. Setiap keterkaitan dan dampak pembangunan, harus dapat diungkap dengan menyeluruh. Hal ini akan membuat proses pembangunan keberlanjutan tidak timpang terhadap salah satu aspek saja.
Paradigmapembangunan berkelanjutan membutuhkan perubahan fundamental terhadap paradigma pembangunan konvensioanal. Pertama, pembangunan keberlanjutan mengubah perspektif pendek ke erspektif jangka panjang. Hal ini berdasar pertimbangan pembangunan konvensional yang lebih mementingkan keuntungan jangka pendek dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam secara intensif. Kedua, pembangunan keberlanjutan melemhakan posisi ekonomi sebagai prioritas pembangunan, namun meletakkannya sejajar dengan aspek sosial dan lingkungan. Ketiga, pembangunan berkelanjutan memerlukan kebijaka secara fundamental agar kepentingan publik dapat ditempatkan di atas kepentingan pribadi; caranya adalah dengan menggunakan instrumen fiskal dan moneter yang tepat dalam sebuah kerangka kebijakan yang lebih kondusif. Keempat, pembangunan keberlanjutan harus menangkap kegagalan pasar dan menginternalisasi semua biaya eksternal yang berkaitan dengan pembangunan sosial dan lingkungan. Gagasan ini bukanlah untuk “memperoleh harga yang diinginkan” tapi untuk “menetapkan harga yang tepat”. Kelima, pembanguna keberlanjutan memerlukan sistem check and balance yang didukung oleh kemitraan tiga sisi yang setara antara pemerintah, korporasi dan, masyarakat sipil yang secara bersama-sama dapat melakukan koreksi terhadap pasar serta melakukan perbaikan kondisi terhadap kegagalan pemerintah.
2.2 Kerangka Berpikir
Pembangunan Berkelanjutan merupakan paradigma pembangunan yang tidak hanya menitikberatkan pertumbuhan ekonomi, namun juga memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. Konsep pembangunime dalam pemikiran Emil Salim merupakan paradigma pembangunan konvensional. Paradigma pembangunan konvesional telah menyebabkan kesenjangan sosial ekonomi dan kerusakan lingkungan. Pembangunan konvensional merupakan wujud lain dari kolonialisme yang dilakukan negara-negara industri maju. Upaya eksploitasi pada mulanya tidak hanya terjadi pada sumber daya berupa manusia, namun juga eksploitasi dalam bentuk sumber daya alam. Terlebih lagi eksploitasi ini merujuk pada sumber daya dalam sektor kehutanan.
Pembangunan konvensional dalam sektor kehutanan menyebabkan kerusakan alam. Ekosistem hutan menjadi terganggu akibat pohon-pohon yang banyak ditebangi. Pembangunan konvensional yang menitikberatkan aspek ekonomi berdampak pada terjadinya kesenjangan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Tentu saja hal ini termasuk dalam konteks kemiskinan yang diciptakan akibat keterbatasan pemenuhan kebutuhan hidup. Hutan yang menjadi pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat sekitar hutan tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan ekonomi tersebut.
Pembangunan berkelanjutan merupakan solusi yang tepat dalam mengatasi permasalahan ini. Pembangunan berkelanjutan menerapkan sistem yang berimbang dan interaktif, yakni antara aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek lingkungan. Lingkungan yang mengalami kerusakan akibat penerapan pembangunan konvensional perlu adanya upaya untuk rehabilitasi. Hal ini dikarenakan lingkungan menopang kehidupan masyarakat. Hutan yang merupakan bagian dari lingkungan perlu penerapan kebijakan pembangunan keberlanjutan. Hutan bagian yang sentral dalam pembangunan dewasa ini.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Deskripsi Kasus
·Ideologi Pembangunanisme Sektor Kehutanan
Pembangunanisme merupakan bentuk lain dari eksploitasi yang dilakukan negara industri maju terhadap negara berkembang. Kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang sebagian besar dimiliki negara berkembang mengundang ketertarikan negara industri maju untuk melakukan praktek kolonial. Kebutuhan akan sumber daya alam sebagai bahan produksi negara industri maju dikarenakan negara industri maju terbatas dalam memenuhi kebutuhan produksi industrinya. Praktek kolonialisme sebagai upaya dalam pemenuhan kebutuhan industri dengan mengeskploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki negara berkembang di Dunia Ketiga.
Sektor kehutanan yang merupakan bagian dari sumber daya alam tidak luput dari praktek eksploitasi. Ideologi pembangunanisme yang diterapkan negara Dunia Selatan, khususnya Amerika Serikat merupakan bentuk aplikatif negara Dunia Ketiga untuk menerapkan pola pembangunan di negaranya. Ideologi pembangunanisme merupakan pola pembangunan yang menitikberatkan pada aspek ekonomi semata. Pertumbuhan pembangunan yang mengesampingkan aspek di luar ekonomi menimbulkan dampak bagi manusia dan lingkungan. pertimbangan sosial dan lingkungan sebagai akibat dari ideologi pembangunanisme yang dianut pemerintahan di era Soeharto menyebabkan terjadinya kemiskinan. Pembangunan yang melihat pertumbuhan ekonomi dari tingkat pendapatan barang dan jasa yang dihasilkan industri (Gross Domestic Product) dalam sebuah negara berdampak pada tidak dilihatnya aspek sosial dan lingkungan.
Ideologi pembangunanisme telah menciptakan kerusakan di sektor kehutanan. Masyarakat sekitar hutan yang bergantung secara ekonomi untuk pemenuhan hidup menjadi terganggu. Kemiskinan yang terjadi di masyarakat sekitar hutan merupakan akibat dari ideologi pembangunanisme. Pembangunan kehutanan nyatanya merupakan eksploitasi yang dilakukan negara dengan mengatasnamakan pembangunan. Terjadinya gesekan konflik vertikal maupun horisontal sebagai akibat terjadinya pembangunan yang dilakukan negara dalam sektor kehutanan. Konflik sosial seringkali berakar dari produk undang-undang semasa pemerintahan Orde Baru. Masyarakat sekitar hutan merasa tidak dilibatkan dalam usaha tata kelola pembangunan hutan.
·Kritik Ideologi Pembangunanisme
Ideologi pembangunanisme pada masanya tidak luput dari berbagai macam kritik, baik dalam konteks teori dan aplikatifnya. Pembangunanisme yang merupakan teori ekonomi berubah menjadi ideologi. Dalam konteks teori, pembagunanisme merupakan bagian dari proyek modernisasi negara industri maju. Modernisasi menjadikan praktek eksploitasi terhadap negara Dunia Ketiga dilegalkan dengan mengatasnamakan pemberadaban suatu bangsa. Praktek pembangunanisme yang terjadi di negara Dunia Ketiga, seperti yang terjadi di Amerika Latin melahirkan kritikus dari upaya pembangunan yang mengatasnamakan modernisasi.
Kritik dari teori pembangunan yakni teori ketergantungan. Teori ketergantungan merupakan varian dari teori struktural. Kendati berinduk pada teori struktural yang sangat Marxis, teori ketergantungan sebenarnya lahir dari gabungan pandangan liberal dan sosialis. Pencetus teori in adlah dua ilmuwan yang mewakili dua mazhab besar itu, yakni Raul Prebisch, seorang pakar ekonom liberal yang pernah menjabat penasihat ahli di PBB, dan Paul Baran, seorangg pemikir Marxis yang sangat isu pembangunan di Dunia Ketiga. Tapi, teori ketergantungan mendapatkan gaung kerasnya di tangan para intelektual “kiri” seperti Andre Gunder Frank, Tehotonio Dos Santos, Christoper Chase-Dunn, dan Fernando Henrique Cardoso. Proposisi teori ketergantungan yakni sebab utama kemiskinan dan kegagalan pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga bukan karena keterlambatan melakukan modernisasi, tapi justru karena adanya campur tangan dari luar (negara-negara kapitalis), sehingga menghalangi perkembangan negara-negara Dunia Ketiga. Argumen berangkat dari asumsi bahwa negara-negara Dunia Ketiga (yang biasa disebut “negara pinggiran”) memiliki dinamikanya tersendiri yang unik dan berbeda dari negara-negara Kapitalis Barat. Karena keunikan ini, maka pendekatan yang dipakai juga harus berbeda.
Ketergantungan yang berlebihan terhadap negara industri maju merupakan faktor utama negara “pinggiran” sulit berkembang. Pola hubungan yang tidak setara menciptakan kesenjangan yang terus mmelebar antara negara-negara kapitalis dan negara-negara miskin. Solusinya adalah memberikan kebebasan bagi negara-negara pinggiran untuk mengembangkan dirinya sendiri dengan melihat konteks budaya dan kesejarahan yang ada padanya.
3.2 Analisis Kasus
·Pembangunan Sektor Kehutanan Pasca Reformasi
Konsep pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development)bukanlah hasil dari pemikiran ahli ekonomi ataupun pakar pembangunan. Konsep yang mengandung asas dan pronsip-prinsip dasar untuk pembangunan masa depan itu lahir dari hasil reaksi civil society (masyarakat warga) atas pola pembangunan dan kebijakan publik yang dianggap keliru. Mereka menolak pola dan praktik-praktik pembangunan model konvensional yang tidak peduli lingkungan dan kondisi sosial masyarakat yang tersisihkan oleh pembangunan tersebut. Upaya mereka dalam menolak pembangunan konvensional yang merusak lingkungan dilakukan dengan berbagai aksi dan gerakan sosial serta melakukan advokasi terhadap kebijakan publi di tingkat global, nasional, sampai lokal di berbagai pelosok dunia. Aksi masyarakat sipil yang peduli lingkungan itu kemudian menjelma dalam “gerakan lingkungan” yang menggelinding, hingga akhirnya melahirkan konsep dan pendekatan “pembangunan berkelanjutan”.
Produk kebijakan yang berupa undang-undang menjadi landasan atas eksploitasi sumber daya hutan. Pembangunan sektor kehutanan yang menjadi otoritas negara dalam faktanya menimbulkan berbagai macam kerusakan lingkungan. Pembangunan konvensional juga menimbulkan terjadinya konflik, baik konflik vertikal maupun konflik horisontal. Konflik kehutanan sebagai dampak dari produk undang-undang Orde Baru yang tidak mempertimbangkan keterlibatan masyarakat sekitar hutan.
·Permasalahan dalam Pembangunan Hutan
Konflik kehutanan menjadi isu yang berkembang semenjak pasca reformasi 1998. Berdasarkan data yang diperoleh dari HuMa yang merupakan organisasi non pemerintah yang berfokus pada hukum berbasis masyarakat dan kajian ekologis mencatat bahwa semenjak tahun 2012, terdapat 232 konflik yang terjadi di 2 provinsi, dan sebanyak 72 konflik terjadi di kawasan hutan, dan lebih spesifk lagi, 41 konflik terjadi di Jawa. Ini adalah data-data yang dilaporkan dari para mitra HuMa di wilayah regional, belum termasuk konflik-konflik sosial kehutanan yang bersifat latent dan belum dilaporkan ke publik. Konflik-konflik agraria tersebut berkaitan dengan klaim penguasan tanah dan ketiadan akses masyarakat untuk mengelola hutan. Tak adanya lahan garapan dan akses terhadap sumber daya hutan juga mengakibatkan kemiskinan masyarakat desa hutan.
Sedangkan untuk regional Jawa Timur berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dari 163 konflik agraria yang terjadi sepanjang tahun 2011, sebanyak 36 kasus terjadi di Jawa Timur. Jumlah itu menjadikan provinsi yang memiliki luas wilayah 47.157,72 km2 ini berada diurutan pertama dalam kasus konflik agraria di Indonesia. Secara kuantitas, konflik agraria yang terjadi di Jawa Timur pada tahun 2012 memang mengalami penurunan.Namun, provinsi ini masih tetap berada diurutan pertama dalam kasus konflik agraria sepanjang tahun 2012. Dari 198 konflik agraria yang terjadi diseluruh wilayah Indonesia, 24 kasus di Jawa Timur. Konflik agraria yang ada di Jawa Timur ini tersebar di 259 desa, 136 kecamatan, dan 31 Kabupaten/Kota. Konflik ini melibatkan pelbagai instansi pemerintah seperti, kehutanan, perkebunan (baik perkebunan swasta maupun perkebunan milik pemerintah), institusi militer, pertambangan, dan pelbagai instansi pemerintah lainnya.Konlik kehutanan acapkali melibatkan dua atau lebih aktor yang terlibat konflik, yakni pemerintah dan pihak yang terkait dengan masyarakat lokal di sekitar wilayah hutan. Konflik kehutanan yang terjadi di wilayah Jawa Timur dapat disebabkan karena pelbagai macam persoalan, antara lain persoalan penataan batas hutan, pengelolaan sumber daya hutan, transformasi kebijakan hutan, pemberdayaan masyarakat di sekitar area hutan, konflik sosial hingga sengketa agraria.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pembangunan sektor kehutanan sejatinya sudah dimulai semenjak era kolonialisme Belanda. Namun, periode pembangunan sektor kehutanan yang paling menunjukkan keterlibatan pemerintah yakni di era presiden Soeharto. Kebijakan Soeharto dalam pembangunan sektor kehutanan dimulai semenjak dirinya menjadi presiden. Dalam faktanya, kebijakan pembangunan sektor kehutanan yang dilakukan hanya menguntungkan pemodal asing dan sekelompok orang saja. Berbagai macam produk undang-undang, peraturan pemerintah, dan kebijakan liannya hanya berpihak pada pemilik modal asing.
Konsep pembangunan sektor hutan pada mulanya menerapkan kebijakan pembangunan yang konvensional. Kebijakan pembangunan konvensional menitikberatkan pembangunan pada sektor ekonomi saja. Pengelolaan hutan yang tidak didasarkan atas kepentingan rakyat, menyebabkan hutan yang menjadi sumber daya secara ekonomi masyarakat sekitar hutan terganggu. Pembangunan sektor kehutanan merupakan bentuk eksploitasi yang dilegalkan atas nama negara. Perlu adanya pembangunan sektor kehutanan produktif dan tidak eksploitatif.
Ideologi pembangunanisme telah menciptakan kerusakan di sektor kehutanan. Masyarakat sekitar hutan yang bergantung secara ekonomi untuk pemenuhan hidup menjadi terganggu. Kemiskinan yang terjadi di masyarakat sekitar hutan merupakan akibat dari ideologi pembangunanisme. Pembangunan kehutanan nyatanya merupakan eksploitasi yang dilakukan negara dengan mengatasnamakan pembangunan. Terjadinya gesekan konflik vertikal maupun horisontal sebagai akibat terjadinya pembangunan yang dilakukan negara dalam sektor kehutanan. Konflik sosial seringkali berakar dari produk undang-undang semasa pemerintahan Orde Baru. Masyarakat sekitar hutan merasa tidak dilibatkan dalam usaha tata kelola pembangunan hutan.
Konsep pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) merupakan pola pembangunan yang tidak hanya menitikberatkan pada aspek ekonomi saja. Keterkaitan antara pembangunan dengan konteks sosial dan lingkungan. Pembangunan keberlanjutan menerapkan model pembangunan yang interaktif antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Hutan dalam hal ini termasuk kategori lingkungan memerlukan pembangunan yang tidak hanya dari sisi hutan itu sendiri, namun juga perlu memperhatikan masyarakat di sekitar hutan. Perlu adanya keterlibatan dalam tata kelola hutan antara masyarakat dengan pemerintah. Meskipun hal ini sudah termaktub dalam undang-undang, namun masyarakat seringkali tidak dilibatkan dalam tata kelola hutan. Hal ini berdampak pada terjadinya konflik sosial.
4.2 Saran
Pembangunan berkelanjutan menerapkan sistem yang berimbang dan interaktif, yakni antara aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek lingkungan. Lingkungan yang mengalami kerusakan akibat penerapan pembangunan konvensional perlu adanya upaya untuk rehabilitasi. Hal ini dikarenakan lingkungan menopang kehidupan masyarakat. Hutan yang merupakan bagian dari lingkungan perlu penerapan kebijakan pembangunan keberlanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Iwan J. Dkk. 2010. Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Budiman, Arif. 2006. Kebebasan, Negara, Pembangunan. Jakarta: Pustaka Alvabet dan Freedom Institut.
Fakih, Mansour. 2010. Bebas dari Neoliberalisme. Yogyakarta: Insistpress
Hidayat, Herman. 2008. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: Yayasan Obor.
Sumardjani, Lisman. 2007. Konflik Sosial Kehutanan: Mencari Pemahaman untuk Penyelesaian Terbaik. Bogor: Fflora Mundial Communication.
http://huma.or.id/tentang-huma#599
http://id.wikipedia.org/wiki/Mafia_Berkeley
http://id.wikipedia.org/wiki/Pengawahutanan
http://www.koran-sindo.com/node/297683
http://www.kpa.or.id/wp-content/uploads/2013/04/Paper-Hutan-Jawa_Rahma.pdf
Deforestasi dalah kegiatan penebangan hutanatau tegakan pohon (stand of trees) sehingga lahannya dapat dialihgunakan untuk penggunaan nir-hutan (non-forest use), yaknipertanian,peternakanataukawasan perkotaan. Wikipedia,http://id.wikipedia.org/wiki/Pengawahutanan, diakses pada tanggal 22 Desemeber 2014
Mafia Berkeley merupakan sebutan untuk teknokrat ekonomi lulusan Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat. Misalnya Wijoyo Nitisastro, Emil Salim, Sadeli, Ali Wardana, dll. Kelompok tersebut dipercaya untuk merancang pembangunan ekonomi pemerintahan Soeharto (1968-1978). Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Mafia_Berkeley diakses pada tanggal 22 Desemeber 2014
Hidayat, Herman. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: Yayasan Obor, 2008, hal. 1-2.