Mohon tunggu...
Abdul Bukhori
Abdul Bukhori Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Sosiologi Fisip Unair

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pembangunan Hutan Pasca Reformasi

27 Desember 2014   19:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:22 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kekuasaan Soeharto selama 32 tahun memimpin Indonesia, tidak diimbangi dengan kebijakan sektor kehutanan yang pro-rakyat. Produk kebijakan telah terbukti menguntungkan pemilik modal asing. Meskipun pada tahun 1985 pemerintah telah mengeluarkan kebijakan larangan ekspor kayu yang berdampak hengkangnya beberapa pemodal asing, namun kerusakan lingkungan hutan dan semakin tersingkirnya masyarakat sekitar hutan menjadi bukti kegagalan pemerintahan Soeharto dalam tata kelola hutan.

Ideologi pembangunanisme yang diusung pemerintahan Orde Baru merupakan kepentingan yang terselubung dari kapitalisme. Pembangunan yang digemborkan era pemerintahan Soeharto merupakan wujud lain dari kapitalisme yang dilakukan negara. Pembangunanisme merupakan model governance pasca tahun 1930an. Merupakan alternatif terhadap paham kapitalisme liberal yang pada tahun tersebut mengalami kritis. Cikal bakal pembangunanisme didasarkan atas teori ekonomi J.M. Keynes yang sukses diterapkan oleh Rosevelt dengan proyek “New Deal”. Proyek ini dianggap berhasil membawa Amerika keluar dari tekanan krisis ekonomi di tahun 1930an. Namun, dalam perjalanan selanjutnya pembangunanisme dijadikan sebagai ideologi oleh Harry S, Trauman dalam strategi Perang Dingin untuk membendung semangat sosialisme yang bangkit bersamaan dengan runtuhnya kawasan bangsa-bangsa di Dunia Ketiga.

Paham pembangunanisme dibangun berdasarkan landasan paham developmentalisme. Paham developmentalisme merupakan pendekatan teori dan ideologi perubahan sosial pasca Perang Dunia II, atau era postkolonialisme yang dibangun atas landasan modernisasi. Paham modernisasi ini mulanya dikembangkan sebagai alternatif model liberal yang mengalami krisis legitimasi tahun 1930an menjelang berakhirnya era kolonialisme. Saat ini kita tengah menyaksikan runtuhnya model pembangunanisme ini atau yang disebut sebagai negara kapitalisme atau “State-led Development”. Pembangunanisme merupakan bagian dari perjalanan dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia, yang diperkirakan berusia lebih dari lima ratus tahun. Proses itu dimulai dari zaman kolonialisme yang merupakan bentuk kapitalisme yang berkembang di Eropa yang mengharuskan ekspansi secara fisik untuk memastikan bahan baku industri bagi negara mereka. Pada fase kolonialisme inilah segenap teori dan ideologi yang mendukungnya berlangsung dalam bentuk penjajahan secara langsung selama ratusan tahun.

Memasuki era postkolonialisme, penjajahan tetap berlangsung, namun dilakukan tidak secara fisik seperti era kolonianialisme. Dominasi dan eksploitasi tetap saja berlangsung dengan modus baru, yakni dengan teori dan ideologi. Era inilah yang dimaksud dengan pembangunanisme. Era ini ditandai dengan kemerdekaan negara terjajah secara fisik, namun dominasi negara penjajah terhadap negara bekas koloni tetap dilanggengkan melalui teori dan kontrol terhadap kebijakan sosial. Dalam kaitan itulah sesungguhnya teori pembangunan menjadi bagian dari alat dominasi, karena berbagai teori tersebut menjadi paradigma yang melanggengkan dan melegitimasi ketergantungan Dunia Ketiga terhadap negara-negara Utara. Dengan kata lain, pada fase kedua ini kolonialisasi tidak terjadi secara fisik, melainkan melalui hegemoni cara pandang dan ideologi serta discourse melalui reproduksi pengetahuan.

Proses pembangunan yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru telah menyebabkan terjadinya dehumanisasi dan pemiskinan struktural. Eksploitasi tidak hanya pada manusia dengan manusia , namun juga eksploitasi pada sumber daya alam. Hal ini menjadi sangat miris, karena proses eksploitasi dilakukan oleh negara. Proses eksploitasi yang mengatasnamakan pembangunan menjadi alat legitimasi pemerintah untuk melakukan tindakan represif terhadap rakyatnya. Kebebasan dalam konteks demokrasi tidak dapat dinikmati disebabkan karena rezim otoriter Orde Baru. Negara sebagai penjamin atas kehidupan sosial, ekonomi, politik warganya tidak dapat melaksanakan tanggung jawab tersebut. Kontrak sosial yang terjalin antara negara dengan rakyat dalam payung hukum Hak Asasi Manusia (HAM) tidak dilaksanakan. Hal ini juga berdampak terhadap tanggung jawab negara dalam mengelola sumber daya alam untuk kebutuhan masyarakat sesuai dengan amanat UUD 1945.

1.2. Fokus Masalah

Kerusakan hutan menjadi tanggung jawab pemerintah. Pembangunan pada sektor kehutanan yang lebih mengutamakan pemilik modal asing telah menyebabkan hutan menjadi sumber daya alam yang tengah mengalami deforestasi.  Pengelolaan hutan yang  tidak didasarkan atas kepentingan rakyat, menyebabkan hutan yang menjadi sumber daya secara ekonomi masyarakat sekitar hutan terganggu. Pembangunan sektor kehutanan merupakan bentuk eksploitasi yang dilegalkan atas nama negara. Perlu adanya pembangunan sektor kehutanan produktif dan tidak eksploitatif. Lalu, bagaimana konsep pemerintah pasca reformasi dalam melakukan pembangunan sektor kehutanan dewasa ini?

BAB II

KAJIAN TEORETIS

2.1 Kajian Teoritis

·Paradigma Pembangunan Keberlanjutan

Tahun 1972, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelenggarakan Konferensi negenai Lingkungan Manusia (Conference on The Human Environment) di Stockholm. Delegasi dari Indonesia untuk peserta konferensi tersebut dipimpin oleh Prof. Emil Salim. Di konferensi itulah untuk pertama kalinya secara luas  perwakilan warga negara dunia menekankan perlu adanya  perhitungan aspek lingkungan untuk program pembangunan yang selama ini dijalankan. Pada pertemuan tersebut, negara-negara berkembang menanyakan bagaiamana memasukkan aspek lingkungan dalam pembangunan yang selama ini terkonsentrasi pada pembangunan sektor ekonomi. Sebagian negara berkembang bahkan mencurigai isu lingkungan  adalah akal-akalan negara maju untuk menghindar dari tuntutan agar negara maju membantu negara berkembang dengan menyumbang sebesar 0,7 persen dari GDP (Gross Domestic Product) mereka untuk negara berkembang. Namun demikian peserta konferensi akhirnya mencapai kesepakatan, dan dihasilkan sebuah deklarasi yang merupakan tonggak penting terbentuknya konsep dan penerapan Pembangunan Berkelanjutan.

Pembangunan konvensional telah merusak dan mencemari lingkungan. Hal ini bersamaan dengan terjadinya kesenjanngan sosial ekonomi. Pembangunan Berkelanjutan membutuhkan tiga yang tumbuh bersama-sama, yakni aspek lingkungan, aspek sosial, aspek eknomi yang tumbuh dan saling berinteraksi  seperti yang digambarkan dalam tabel berikut:

TABEL 2

Dari/Ke

Ekonomi

Sosial

Lingkungan

Ekonomi

Pengentasan Rakyat Miskin

Dampak terkait

Dampak terkait

Sosial

Dampak terkait

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun