Kata move on hari-hari ini kian akrab di telinga. Kata move on juga sangat laku karena sering bersliweran di pasar social media, tapi sekaligus menjadi momok bagi kawla muda yang hubungannya kandas oleh orang ketiga, agama, restu mertua, atau visi yang tidak seirama.
Mirisnya, kata move on seolah menjadi legitimasi bagi kaum patah hati untuk berbuat sesuka hati. Seperti mengulas aib 'mantan' di media sosial, misalnya.
Move on itu apa, sih?
Pertama, move on bukan tentang orangnya. Tapi tentang kebiasaan yang dilakukan bersamanya.
Misalnya, hari-hari kita selesai beraktivitas, dia selalu menjemput. Namun setelah putus cinta, kebiasaan itu luput.
Atau, hari-hari yang biasanya tak perlu pusing mencari partner saat kondangan, namun setelah putus cinta, kelimpungan mencari gandengan, atau terpaksa pergi sendirian.
Memang sulit dibayangkan. Hari-hari selalu ada perhatian, kini hilang ditelan rembulan. Hari-hari selalu ada kata sayang, kini hilang diterjang gelombang. Hari hari selalu ada warna, kini hanya pekat yang menerpa.
Aktivitas hari-hari yang dulu dilalui telah menjadi memori usang. Dan perubahan drastis itu memerlukan waktu dan energi untuk kembali beradaptasi. Disitu letak move on yang hakiki. Bukan tentang orang, tapi tentang habitual.
Bukan tentang orang, tapi tentang habitual.
Blundernya, para barisan sakit yang tidak siap dengan kebiasaan baru, kerap mengakali. Mereka akan mencari sosok pengganti. Jadilah sosok pengganti itu menjadi bahan pelampiasan. Hanya untuk melampiaskan kebiasaan-kebiasaan yang dulu pernah dilkakukan. Jadi, aktivitasnya sama, hanya orangnya yang berbeda.
Aktivitasnya sama, hanya orangnya yang berbeda.