Mohon tunggu...
Aziz Baskoro Abas
Aziz Baskoro Abas Mohon Tunggu... Freelancer - Tukang Nulis

Doyan Nulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dilema Wanita: Body Shamming dan Standar Kecantikan

27 Januari 2019   22:59 Diperbarui: 8 Juli 2020   12:08 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Kata Body shamming menjadi populer dan tak lagi tabu akhir-akhir ini.

Sebelum lanjut, alangkah elegannya kita mulai dari definisi perilaku body shamming terlebih dahulu. Perilaku body shamming adalah pernyataan negatif kepada individu yang memiliki ukuran tubuh tertentu. Bisa karena terlalu besar maupun ukuran tubuh yang terlampau kecil. (sumber : bodyshamming.org)

Kalau anda ingin tahu lebih dalam tentang body shamming, silahkan baca jurnal di bawah ini. Biar terlihat lebih akademis aja, hehe.

Jurnal tentang perilaku body shamming

Inti dari perilaku ini adalah mengomentari bentuk fisik seseorang. Secara umum, perilaku ini berlaku bagi semua gender. Namun, perilaku ini acap kali diprotes oleh kaum wanita ketimbang pria. Wanita terlihat lebih fight melawan perilaku ini

Hasil Riset : Wanita Lebih Sering Menjadi Korban Perilaku Body Shamming

Beberapa pemberitaan public figure Indonesia mengenai perilaku ini juga didomniasi oleh artis ber-gender wanita. Mereka terlihat lebih concern menanggapi perilaku ini ketimbang artis pria.

Pada satu sisi, pemberontakan wanita dalam menyadarkan orang-orang tentang buruknya perilaku ini adalah suatu nilai yang sangat positif. Apalagi, perilaku ini sudah melekat menjadi kultur 'basa-basi' di beberapa wilayah Indonesia. Perjuanganya akan semakin sulit. 

Namun pada sisi yang lain, mayoritas wanita di Indonesia secara tidak sadar melanggengkan stigma standar kecantikan (secara fisik). Standar kecantikan adalah adanya kategori-kategori secara fisik yang menentukan seseorang itu cantik atau tidak.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa standar kecantikan di Indonesia meliputi kulit putih, hidung mancung, pipi tirus, rambut lurus, tubuh tinggi dan langsing.

Hal itu gue simpulkan berdasarkan asumsi dari:

  1. Ajang kecantikan, dan ajang-ajang yang sejenis
  2. Bentuk fisik para aktris
  3. Banyaknya wanita yang melakukan operasi plastik.  

Ajang kecantikan seperti; Putri Indonesia atau ajang-ajang sejenisnya, para aktris yang wara-wiri di televisi, secara tidak langsung turut mengalirkan stigma standar kecantikan wanita Indonesia. Karena untuk masuk ke dalam lingkungan tersebut, ada syarat mutlak yang harus dipenuhi. Walaupun ada syarat lain, tapi tetap ada syarat yang membatasi fisik. 

Syarat-syarat itulah yang menjadi tolak ukur pertama, yang ujungnya menghasilkan kemunculan standar kecantikan.

Ketika syarat-syarat fisik tersebut tidak terpenuhi, maka banyak wanita yang rela menggelontorkan pundi-pundinya hanya untuk mengubah tampilan fisik. Bahkan ada yang sampai kecanduan.

Maka di sini lah dilematisnya kaum wanita, khususnya di Indonesia. Mereka mengutuk perilaku body shamming, tapi sekaligus mengalirkan stigma standar kecantikan. Di situ letak paradoksnya.

Maka, tidak heran jika perilaku body shamming sering terjadi di antara kaum wanita.

Baca : Alasan Mengapa Perilaku Body Shamming Kerap Terjadi Diantara Wanita

Logika sederhananya, jika ada wanita cantik, maka ada wanita jelek. Cantik maupun jelek, keduanya adalah kalimat yang mengkotak-mengkotakkan bentuk fisik.

Anehnya, mereka berontak ketika mendapat komentar negatif (ejekan) tentang bentuk fisik. Tapi menikmati ketika mendapat komentar positif (pujian) tentang bentuk fisik.

Padahal, standar kecantikan adalah pengkotak-kotakkan bentuk fisik. Sementara body shamming adalah pengutukan terhadap pengkotak-kotakkan bentuk fisik. Ini menjadi sangat dilematis.

Padahal, standar kecantikan adalah pengkotak-kotakan bentuk fisik. Sementara body shamming adalah pengutukan terhadap pengkotak-kotakan bentuk fisik. 

Jika standar kecantikan fisik masih bergema, maka perilaku body shamming berpotensi akan terus ada.

Jadi, pengutukan perilaku body shamming adalah alasan kuat untuk mengutuk instrumen-instrumen yang mengalirkan stigma standar kecantikan. 

Gue termasuk orang yang kontra terhadap standar kecantikan, apalagi perilaku body shamming. Karena bentuk fisik adalah pemberian Tuhan. Ngapain manusia mengkotak-kotakkan dan mengomentari pemberian bentuk fisik dari Tuhan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun