Sampai pada pertengahan Maret, masker benar-benar langka. Tuhan, ternyata kau telah mengirimkan Indah sebagai malaikat penyelamat. Tanpa kiriman masker darinya, mungkin aku akan ikut-ikutan membeli masker yang harganya tak masuk akal kala itu.
Karena aku berusaha bertaubat, maka protokol kesehatan harus tegak. Bahkan ketika itu kami sepakat tidak akan berjumpa sampai pandemi berlalu. Tegang dan sangat takut tertular.
Beberapa Peristiwa Tidak Masuk Akal
Awal pandemi hadir, aku berpikir. Para pejabat yang sebelumnya tidak care kepada rakyat pasti akan menjadi lebih baik. Tidak asal bicara, kerja nyata dan tidak ada korupsi.
Karena pandemi ini adalah teguran. Sudah sepantasnya semua berubah menjadi lebih baik. Ternyata, dugaanku salah total. Pikiran positif itu justru dihancurkan oleh kenyataan dan membuatku tampak bodoh sebagai rakyat biasa.
Mulai dari Alat Pelindung Diri (APD) untuk Nakes dari kantong sampah, pejabat yang berkata "Indonesia aman dan virus Corona cepat mati." Fetish 'bungkus' kain jarik, Odading Mang Oleh, FPI yang kontroversi, hingga korupsi yang tak mengenal pandemi.
Masih banyak sebenarnya peristiwa lainnya yang tak kalah populer. Rasanya, memang Indonesia butuh ketawa. Banyak hal kontradiktif dan kontra produktif dari pemerintah, artis, agamawan dan masyarakat umum lainnya.
Konyol sekali banyak rencana yang berantakan. Bukan hanya rencanaku . Mungkin banyak orang juga merasakannya. Jangankan orang, mungkin kalau patung bisa ngomong juga akan menyatakan hal yang sama. Aku yakin!
Permata yang Pergi Ketika Pandemi
Aku pernah merawat perempuan tua. Yang pada senjakala kehidupannya menghabiskan waktu di kursi roda. Di usia senjanya, segalanya melapuk, kecuali hidung, dagu dan bola  mata. Masih indah. Bentuk yang dia peroleh dari garis keturunannya sebagai Arab. Perempuan ini kehilangan marganya karena menikah dengan seorang lelaki Jawa. Kakek ku.
Dulu setiap pagi, menjelang berangkat kerja, aku akan memandikannya. Memberi suapan makanan. Biasanya bubur. Cacah daging yang ditumbuk sehalus mungkin. Lalu buah-buahan. Dia menyukai anggur. Dia selalu berlaku manja di kamarnya yang luas. Nenek ku seorang pengolok melalui caranya. Dia terkekeh jahat setiap aku terlihat kurang nyaman membersihkan kotoran yang keluar dari duburnya.
Kalau hari minggu tiba, kami akan  berbincang lebih panjang. Aku tak harus tergesa-gesa, tak ada jadwal kerja yang menganggu kehangatan kami. Berbeda dengan kakek, yang ajeg mendapati cucunya sebagai umat yang dikhawatirkan jatuh dalam kesesatan, sehingga setiap ada waktu, agama akan menjadi menu indoktrinasinya, nenek melihat cucu-cucunya selayaknya teman. Ah, itu cuma diriku saja yang diperlakukan demikian.
"Amu pingin opo sak iki?"