Mohon tunggu...
Abdulazisalka
Abdulazisalka Mohon Tunggu... Tutor - Tinggal di The Land of The Six Volcanoes . Katakan tidak pada Real Madrid.

Membacalah, Bertindaklah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Baik atau Buruk, Ia Tetaplah Ayahmu

30 November 2020   06:29 Diperbarui: 30 November 2020   07:15 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenapa ayah baru menceritakannya sekarang? Ayah jahat. Gara-gara ayah membesarkanku dalam pengasuhanmu, sampai hari ini aku tak bisa melompat, Yah. Ini semua gara-gara ayah.

Sore hari, di sebuah padang rumput yang lebat dan jauh dari peradaban indah manusia, hiduplah seekor kelinci yang meski sudah menginjak usia remaja belum juga bisa melompat. Persis seperti kucing yang berjalan di atas tanah. Punya telinga lebar, tapi tak bisa lompat. Ia melihat jelas dengan mata kepalanya sendiri saat berjalan menyusuri padang rumput, semua kelinci sejenis dirinya bisa melompat. Saat melihat pemandangan itu ia benar-benar mengutuki takdir buruknya.

Suatu hari ia memberanikan diri menanyai ayahnya yang tidak bisa melompat juga. Ia tidak ingin lagi memendam prasangkanya. Setelah ia coba melihat dengan seksama Ayahnya, ternyata ciri dan jenisnya berbeda dari lainnya.

"Apakah aku memang benar-benar anakmu, Ayah?" tanya si anak kelinci suatu siang.

"Inilah saat-saat yang dilema dan sangat mendebarkan bagiku. Akhirnya kau menanyakan juga," jawab sang Ayah.

"Kamu memang sebenarnya bukan anakku. Namun, aku tetap ayahmu karena aku yang merawat dan membesarkanmu hingga sekarang. Aku, ayahmu ini, memang seekor babi yang sebenarnya tak bisa melompat seperti kelinci.

"Aku akan ceritakan kisahnya nak. Dulu, suatu pagi buta aku sedang berjalan pelan di suatu hutan sunyi dan aku melihat ada seekor kelinci yang sepertinya baru lahir menangis keras tergeletak di semak-semak. Tak ada induk kelinci yang merawatnya. Aku memutuskan untuk membawanya. Itulah kau.

"Saat dulu merawatmu, aku sadar kamu bukan babi sepertiku. Aku memberi makan apa yang aku makan, aku tak sering memberimu sayur dan wortel. Aku juga tak tahu cara melompat nak. Saat aku ingin membawamu ke gerombolan kelinci dulu kau takut tak mau, padahal yang bisa mengajari cara melompat adalah mereka dan seharusnya kau berteman dengan mereka bukan babi atau lainnya. Maafkan aku, anakku, karena kau dibesarkan dalam pengasuhan babi bodoh ini."

"Kenapa ayah baru bilang sekarang? Ayah jahat sekali. Gara-gara ayah merawatku dan membesarkanku sampa hari ini aku tak bisa melompat. Ini semua karena kau Ayah." Si anak kelinci kecewa dan marah ia meninggalkan Ayahnya dengan rasa kesal.

Waktu terus berjalan, tak terasa sudah lima hari anak kelinci itu marah dan menjauhi ayahnya. Ia merasa telah dirawat ayah palsu yang jelek dan salah. Ia benar-benar kecewa atas keadaan ini. Dari waktu ke waktu semakin bertambah kebencian terhadap ayahnya. Dari rasa jengkel juga ia jadi ingin belajar keras agar ia bisa melompat. Jika benar yang dikatakan ayahnya makan sayur dan wortel serta berteman dengan gerombolan kelinci lainnya ia bisa melompat, pasti ia bisa.

Lagi-lagi ia bingung bagaimana memulai pelajaran melompatnya. Ayahnya tak pernah mengajari dasar dan langkah awal untuk melompat. Ia benar-benar tak tahu cara memulainya. Ia mulai mencoba pelan-pelan, tapi tetap saja ia tak bisa melompat. Rasa putus asa rupanya hinggap pada perasaannya.

Anak kelinci mulai berpikir, mungkin ini nasib yang harus diterima. Badannya lemas tak berdaya. Dalam situasi yang tak berdaya, ia masih terus berpikir dan rasa ingin tahunya tak kunjung reda. Namun, ia semakin lemas hingga ia merasa tak ada gunanya.

Pada titik nol paling rendah itu suara halus dan merdu tiba-tiba muncul menuntun hati kecilnya. Ia berkata dalam hati,

"Kenapa aku tak bisa melompat? Kenapa aku tak bisa menerima keadaan ini? Kenapa aku selalu menyalahkan keadaan? Kenapa aku cemas dengan kekuranganku? Kenapa aku tidak bisa menerima, suka tidak suka aku telah dirawat oleh babi yang tak bisa melompat? Kenapa aku tak ada rasa terimakasih?

"Bukankah jika Ayahku tak merawatku bisa saja aku sudah mati? Siapapun yang telah membesarkanku tentu ia bisa mengajariku melompat jika aku memang kelinci yang bisa melompat? Bukan ini hanya soal waktu? Atau mungkin suatu hari akan ada kebijaksanaan yang menuntunku? Bisa jadi usahaku belum maksimal? Kenapa aku tidak yakin dan percaya bahwa suatu hari aku akan diantar ke suatu tempat indah untuk belajar melompat dan bisa terus makan sayur oleh ia yang telah membesarkanku, membimbing, merawat, dan mendidikku sejauh ini?

Anak kelinci termenung, air matanya jatuh tak terhelakkan. Sekeras-kerasnya ia berteriak, "Ayah! Ayah! Ayah! Ayah! Maafkan anakmu yang tak tahu diri ini! Aku telah salah menilaimu! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun