Anak kelinci mulai berpikir, mungkin ini nasib yang harus diterima. Badannya lemas tak berdaya. Dalam situasi yang tak berdaya, ia masih terus berpikir dan rasa ingin tahunya tak kunjung reda. Namun, ia semakin lemas hingga ia merasa tak ada gunanya.
Pada titik nol paling rendah itu suara halus dan merdu tiba-tiba muncul menuntun hati kecilnya. Ia berkata dalam hati,
"Kenapa aku tak bisa melompat? Kenapa aku tak bisa menerima keadaan ini? Kenapa aku selalu menyalahkan keadaan? Kenapa aku cemas dengan kekuranganku? Kenapa aku tidak bisa menerima, suka tidak suka aku telah dirawat oleh babi yang tak bisa melompat? Kenapa aku tak ada rasa terimakasih?
"Bukankah jika Ayahku tak merawatku bisa saja aku sudah mati? Siapapun yang telah membesarkanku tentu ia bisa mengajariku melompat jika aku memang kelinci yang bisa melompat? Bukan ini hanya soal waktu? Atau mungkin suatu hari akan ada kebijaksanaan yang menuntunku? Bisa jadi usahaku belum maksimal? Kenapa aku tidak yakin dan percaya bahwa suatu hari aku akan diantar ke suatu tempat indah untuk belajar melompat dan bisa terus makan sayur oleh ia yang telah membesarkanku, membimbing, merawat, dan mendidikku sejauh ini?
Anak kelinci termenung, air matanya jatuh tak terhelakkan. Sekeras-kerasnya ia berteriak, "Ayah! Ayah! Ayah! Ayah! Maafkan anakmu yang tak tahu diri ini! Aku telah salah menilaimu!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H