Mohon tunggu...
Abdulazisalka
Abdulazisalka Mohon Tunggu... Tutor - Tinggal di The Land of The Six Volcanoes . Katakan tidak pada Real Madrid.

Membacalah, Bertindaklah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kamu Pernah Menangis Saat Membaca Puisi Anak Kecil?

29 November 2020   15:30 Diperbarui: 29 November 2020   15:36 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi Karya Wahyu Hendrawan, saat mengikuti Lomba Puisi, Cerpen, Esai Ekologi Tingkat Provinsi Sumatera Selatan

Saya baru saja menangis. Saat saya menulis ini, belum tuntas air mata saya. Benar-benar masih basah, bukan karena habis kupas bawang merah. Saya terharu, saya tersipu, saya malu, saya merasa tak ada apa-apanya, sekaligus saya sangat bangga terhadap suatu karya. 

Kadang banyak orang menangis untuk keadaan dirinya saat sedang susah atau sedang dalam masalah. Anak-anak kecil menangis karena tak dituruti keinginannya oleh orangtua. 

Banyak lelaki dan perempuan menangis karena putus cinta. Ada juga yang menangis karena orangtua, keluarga, kerabat atau sahabatnya meninggal. Beberapa menangis karena bahagia. Tapi hari ini saya tidak menangis karena itu semua. 

Lama sekali tak pernah menangis saat membaca sebuah tulisan. Akhirnya Wahyu Hendrawan yang masih duduk di bangku sekolah dasar telah mematahkan rekor tidak menangis saya. Anda boleh percaya dan boleh tidak percaya. Sosok pria dan masih anak-anak ini, bersekolah di SDN 204 Palembang. Belum pernah melihat wajahnya sekalipun, tapi karyanya berhasil menyadarkan dan membangunkan hati saya. Bahkan ini karya pertamanya yang saya baca sudah mampu mendobrak sanubari.

Puisi Karya Wahyu Hendrawan, saat mengikuti Lomba Puisi, Cerpen, Esai Ekologi Tingkat Provinsi Sumatera Selatan
Puisi Karya Wahyu Hendrawan, saat mengikuti Lomba Puisi, Cerpen, Esai Ekologi Tingkat Provinsi Sumatera Selatan

Saya malu benar-benar malu. Anak SD mampu menyuguhkan diksi yang luar biasa. Anak sekecil Wahyu mampu dengan kelugugan dan kejujurannya menggambarkan situasi Indonesia terutama Palembang, Sumatera Selatan.

Puisinya benar-benar menggambarkan daya rusak pertambangan. Dampak negatif pembangunan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) di Muara Enim. Rusaknya lingkungan. Tercemarnya air sungai. Ikan-ikan Sungai Enim yang mati karena eksploitasi. Serta sapaan dan curhatan santun kepada Bapak Presiden Jokowi.

Rasa ingin tahu saya sekarang adalah siapa orangtuanya dan gurunya. Kenapa ia bisa begitu hebat. Bagaimana lingkungannya. Apa yang membentuk ia sampai bisa membuat puisi yang luar biasa cemerlang, elok dan gagah.

Entah situasi apa yang telah membuat ia sepandai itu, mungkin karena memang kejujuran dan keluguannya dalam melihat sesuatu telah membentuk dirinya.

Karya Wahyu merupakan puisi untuk lomba. Ia juara dua. Lomba puisi, cerpen, esai bertemakan ekologi yang di selenggarakan oleh AEER (Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat) bersama Teater Potlot Palembang telah menjadi pintu Wahyu untuk memupuk benih-benih jiwa sastranya. Luar biasa, saya hormat padanya.

Apa nilai-nilai yang bisa kita ambil dari puisi Sepedah, Ikan dan Batubara (Wahyu Hendrawan)?

Pertama, berani mengkritik dengan santun dan syahdu
Dalam bait pertama puisinya, ia menyuguhkan kata-kata kritik dengan santun untuk Bapak Presiden Jokowi. Keberanian yang ia punya adalah benar-benar karakter yang harus dimiliki oleh pemuda bangsa. Kesantunan yang ia miliki adalah benar-benar budi pekerti Indonesia.

Kedua, kita harus terus merawat dan peduli lingkungan
Pada konteks puisi tersebut, pertambangan dan PLTU menimbulkan dampak yang kurang baik. Mulai dari hilangnya perkebunan dan hutan, rusaknya ekologi sungai, matinya flora dan fauna serta air, udara, pertanian ikut tercemar. 

Juga banyak sekali jalan rusak akibat lalu lalangnya transportasi pengangkut batu bara. Dari sini seharusnya kita belajar, bahwa pertambangan dan PLTU harus benar-benar memperhatikan keselamatan lingkungan, bukan hanya mengejar keuntungan demi keberlangsungan perusahaan.

Ketiga, melalui puisi dan sastra kita dapat menggambarkan keadaan sosial dan lingkungan
Wahyu telah menjadi peringatan dan tamparan keras bagi pemuda yang hanya bisa berpuisi tentang cinta, kisah-kasihnya, atau puisi-puisi melodrama lainnya. Tak salah kita berpuisi tentang itu semua. 

Tapi jika anak kecil saja mampu untuk menggambarkan keadaan suatu lingkungan sosial tertentu melalui puisi, mengapa kita yang jauh lebih dewasa tidak bisa? Tentu kita harus belajar dari Wahyu untuk menjadi penulis yang mampu mengisahkan realita secara lugas dan jelas.

Bagi saya, Wahyu dan puisinya adalah tamparan keras. Ia telah membuat yakin bahwa menulis adalah cara terbaik manusia untuk meraih bagian jiwanya. Ia juga mengajarkan bahwa melalui puisi kita bisa menguak fakta yang ditutupi. Membuat saya sadar diri. Mengingatkan untuk selalu peduli lingkungan untuk merawatnya agar asri dan lestari.

Anak-anak dengan kejujurannya. Bocah-bocah dengan kesuciannya. Wahyu telah membuat saya yakin bahwa generasi anak kecil sekarang bukan hanya pandai main tiktok dan game terkini. Melainkan sosok-sosok luar biasa penerus bangsa. Generasi sastrawan muda telah lahir. Kita harus menyambutnya dengan gembira. Wahyu wajib terkenal, saya ingin melihat wajah manisnya.

Semua anak adalah seniman. Masalahnya adalah bagaimana tetap menjadi seorang seniman setelah ia besar nanti (Pablo Picasso)

Sumber 1, 2, 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun