Saya baru saja menangis. Saat saya menulis ini, belum tuntas air mata saya. Benar-benar masih basah, bukan karena habis kupas bawang merah. Saya terharu, saya tersipu, saya malu, saya merasa tak ada apa-apanya, sekaligus saya sangat bangga terhadap suatu karya.Â
Kadang banyak orang menangis untuk keadaan dirinya saat sedang susah atau sedang dalam masalah. Anak-anak kecil menangis karena tak dituruti keinginannya oleh orangtua.Â
Banyak lelaki dan perempuan menangis karena putus cinta. Ada juga yang menangis karena orangtua, keluarga, kerabat atau sahabatnya meninggal. Beberapa menangis karena bahagia. Tapi hari ini saya tidak menangis karena itu semua.Â
Lama sekali tak pernah menangis saat membaca sebuah tulisan. Akhirnya Wahyu Hendrawan yang masih duduk di bangku sekolah dasar telah mematahkan rekor tidak menangis saya. Anda boleh percaya dan boleh tidak percaya. Sosok pria dan masih anak-anak ini, bersekolah di SDN 204 Palembang. Belum pernah melihat wajahnya sekalipun, tapi karyanya berhasil menyadarkan dan membangunkan hati saya. Bahkan ini karya pertamanya yang saya baca sudah mampu mendobrak sanubari.
Saya malu benar-benar malu. Anak SD mampu menyuguhkan diksi yang luar biasa. Anak sekecil Wahyu mampu dengan kelugugan dan kejujurannya menggambarkan situasi Indonesia terutama Palembang, Sumatera Selatan.
Puisinya benar-benar menggambarkan daya rusak pertambangan. Dampak negatif pembangunan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) di Muara Enim. Rusaknya lingkungan. Tercemarnya air sungai. Ikan-ikan Sungai Enim yang mati karena eksploitasi. Serta sapaan dan curhatan santun kepada Bapak Presiden Jokowi.
Rasa ingin tahu saya sekarang adalah siapa orangtuanya dan gurunya. Kenapa ia bisa begitu hebat. Bagaimana lingkungannya. Apa yang membentuk ia sampai bisa membuat puisi yang luar biasa cemerlang, elok dan gagah.
Entah situasi apa yang telah membuat ia sepandai itu, mungkin karena memang kejujuran dan keluguannya dalam melihat sesuatu telah membentuk dirinya.
Karya Wahyu merupakan puisi untuk lomba. Ia juara dua. Lomba puisi, cerpen, esai bertemakan ekologi yang di selenggarakan oleh AEER (Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat) bersama Teater Potlot Palembang telah menjadi pintu Wahyu untuk memupuk benih-benih jiwa sastranya. Luar biasa, saya hormat padanya.
"Aku tidak dapat sepeda dari Pak Jokowi karena tidak bisa menjawab nama-nama ikan.
Dari kecil tak ku jumpai tilapnya lagi.
Padahal kata bapak di sungai enim banyak ikan."Karya Wahyu Hendrawan, SDN 204 Palembang.
Bangga terlibat sebagai juri lomba karya tulis ekologi ini pic.twitter.com/jMZPP8k3ND--- Okky Madasari (@okkymadasari) November 28, 2020
Apa nilai-nilai yang bisa kita ambil dari puisi Sepedah, Ikan dan Batubara (Wahyu Hendrawan)?
Pertama, berani mengkritik dengan santun dan syahdu
Dalam bait pertama puisinya, ia menyuguhkan kata-kata kritik dengan santun untuk Bapak Presiden Jokowi. Keberanian yang ia punya adalah benar-benar karakter yang harus dimiliki oleh pemuda bangsa. Kesantunan yang ia miliki adalah benar-benar budi pekerti Indonesia.
Kedua, kita harus terus merawat dan peduli lingkungan
Pada konteks puisi tersebut, pertambangan dan PLTU menimbulkan dampak yang kurang baik. Mulai dari hilangnya perkebunan dan hutan, rusaknya ekologi sungai, matinya flora dan fauna serta air, udara, pertanian ikut tercemar.Â
Juga banyak sekali jalan rusak akibat lalu lalangnya transportasi pengangkut batu bara. Dari sini seharusnya kita belajar, bahwa pertambangan dan PLTU harus benar-benar memperhatikan keselamatan lingkungan, bukan hanya mengejar keuntungan demi keberlangsungan perusahaan.
Ketiga, melalui puisi dan sastra kita dapat menggambarkan keadaan sosial dan lingkungan
Wahyu telah menjadi peringatan dan tamparan keras bagi pemuda yang hanya bisa berpuisi tentang cinta, kisah-kasihnya, atau puisi-puisi melodrama lainnya. Tak salah kita berpuisi tentang itu semua.Â
Tapi jika anak kecil saja mampu untuk menggambarkan keadaan suatu lingkungan sosial tertentu melalui puisi, mengapa kita yang jauh lebih dewasa tidak bisa? Tentu kita harus belajar dari Wahyu untuk menjadi penulis yang mampu mengisahkan realita secara lugas dan jelas.
Bagi saya, Wahyu dan puisinya adalah tamparan keras. Ia telah membuat yakin bahwa menulis adalah cara terbaik manusia untuk meraih bagian jiwanya. Ia juga mengajarkan bahwa melalui puisi kita bisa menguak fakta yang ditutupi. Membuat saya sadar diri. Mengingatkan untuk selalu peduli lingkungan untuk merawatnya agar asri dan lestari.
Anak-anak dengan kejujurannya. Bocah-bocah dengan kesuciannya. Wahyu telah membuat saya yakin bahwa generasi anak kecil sekarang bukan hanya pandai main tiktok dan game terkini. Melainkan sosok-sosok luar biasa penerus bangsa. Generasi sastrawan muda telah lahir. Kita harus menyambutnya dengan gembira. Wahyu wajib terkenal, saya ingin melihat wajah manisnya.
Semua anak adalah seniman. Masalahnya adalah bagaimana tetap menjadi seorang seniman setelah ia besar nanti (Pablo Picasso)