Kadang orang melarat dan miskin selalu mengalah dan pasrah. Begitu pula nenek Tutut mengajarkannya, ketika ia diganggu teman-temannya saat bermain lebih baik mengalah. Nenek ketakutan kalau sampai tak mengalah harus berurusan dengan orang-orang kaya. Tutut telah belajar perbedaan kuasa antar kasta bahkan sejak ia belum memahami makna melarat dan kemiskinan yang sesungguhnya.
Hidup serba kekurangan dan keterbelakangan. Ketika Tutut ingin sekolah neneknya bilang tidak. Tak ada uang untuk beli buku. Tak ada uang untuk daftar. Tak ada uang untuk seragam. Dulu tak ada kartu sakti yang diterbikan penguas kala itu.
Di umur 8 tahun, ia telah bekerja. Neneknya menitipkannya pada Mbok Jum untuk bantu-bantu cuci piring dan gelas di warung makannya. Tapi neneknya tetap bekerja kepada siapa saja yang bersedia menggunakan tenaganya saat menjelang renta itu. Tutut tak dapat upah, tapi Mbok Jum memberinya makan tiga kali sehari. Begitu hari demi hari ia jalani.
***
"Pergilah bersamaku. Menikahlah denganku. Nati kamu tak perlu bekerja dengan Mbok Jum. Aku yang akan menafkahimu," begitu laki-laki bertubuh kecil, dekil, tengil yang selalu merayu saat mampir di warung Mbok Jum.
Tutut sebenarnya tak terlalu buruk. Jelek tidak, tapi juga tidak cantik. Kulitnya coklat semi gelap. Hidungnya nyaris pesek. Tapi, Fajar yang dekil itu lebih jelek daripada laki-laki kebanyakan. Tak pernah ada gadis yang mau dipacarinya, bahkan untuk menjadi teman bicara juga.
"Memangnya mas Fajar kerja apa?"
"Woooo, kamu ini gak tau, ya? Aku ini tangan kanan Juragan Tino yang paling dihormati. Kamu tau siapa dia? Haa, gak tau? Halaaa, kamu ini emang taunya cuma piring sama sendok.
"Juragan Tino itu pemilik perternakan sapi terbesar di kota ini. Dia menyuplai daging sapi ke restoran-restoran besar. Hanya orang kaya yang makan daging sapi. Bukan warung makan kaya punya Mbok Jummu ini."
Wajahnya ceria kalau Fajar datang. Ia senang sekali mendengarkan cerita-cerita tentang orang kaya. Rumah tingkat, berwarna, pakai bata, tak ke pasar, tak ke warung, tidur di kasur empuk. Bagi Tutut, laki-laki dekil itu merupakan jendela dunia.
"Halaaaaah, jangan dengarkan omongan Fajar itu, Tut. Sejak zaman buaya makan tikus sampai buaya makan gadis muda, ia sudah ikut juragan ono, juragan ene, juragan ninu, tapi mana buktinya? Sepeda motor aja butut. Jangan termakan bujuk rayunya."