Mohon tunggu...
Abdulazisalka
Abdulazisalka Mohon Tunggu... Tutor - Tinggal di The Land of The Six Volcanoes . Katakan tidak pada Real Madrid.

Membacalah, Bertindaklah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Walau Buruk Rupa yang Penting Selamat

24 November 2020   06:25 Diperbarui: 24 November 2020   06:26 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baca cerita sebelumnya disini:
Bagian 1 Ada Ludah di Kopi, Bukan Cinta
Bagian 2 Dikejar Utang, Suami Hilang

Sebenarnya hati Tika telah patah dan jatuh berkali-kali. Tentu tak hanya soal lelaki, ternyata dunia seakan berkomplot membuat kemalangan bagi dirinya dan hidupnya. Kata orang dulu, konon cinta pertama seorang anak perempuan adalah bapaknya, Tika tak demikian dihidupnya. Tika telah lama yatim piatu, ia tinggal bersama bibi dan pamannya.

"Punya ponakan seperti anak, tapi tak berguna. Kamu itu bisa kasih apa untuk aku dan Tutut?"

Kata-kata yang tajam itu, berulang kali menyayat hati Tika. Sering kali Fajar berkata seperti itu saat meminta uang pada Tika, namun tak diberi. Dalam benaknya, ia ingin menghitung apa yang sudah ia lakukan selama ini, membayar listrik, uang sampah, dan berbagai macam lainnya yang sedangkan itu adalah tanggung jawab pamannya. Kalimat kasar yang sering diucapkan pamannya, telah menorehkan luka pada hati Tika.

"Hei ka, kalau saja kamu itu cantik, kamu bisa dapat suami kaya, dan pasti kita bisa berharap padanya. Coba lihat saja dirimu, dekil. Jelek begitu!"

Kalimat itu juga selalu mengoyak hati dan meruntuhkan percaya diri. Benaknya telah terkurung pada ruang-ruang gelap tak berpintu dan berjendela. Tika seharusnya tumbuh mekar layaknya gadis-gadis seusianya. Namun, Fajar berulang kali memupus tunas-tunas yang akan tumbuh.

***

Sementara itu Fajar, di warung kopi lorong sempit kota sebelah..

Warung itu tenar betul, meski tersembunyi pada lorong-lorong sempit di tengah-tengah area industri. Beroperasi dua puluh empat jam karena sang pemilik warung juga tinggal di dalamnya. Ternyata dulu warung itu hanyalah rumah. Merantau dari daerah jauh, seorang janda menyewa rumah berdinding kayu itu.

Mak Eti, demikian janda itu dipanggil. Demi sebongkah berlian dan demi sesuap nasi, teras rumah ia sulap menjadi warung kecil. Kursi-kursi bambu, bersama meja panjang tempat ia menaruh cemilan dan minuman menghiasi warung itu. 

Pengunjung warung kopinya kebanyakan kalangan pekerja, mulai dari mandor proyek, mandor pabrik, sales-sales, atau supir truk yang menepi sekedar melepas dahaga dan penatnya jalanan.

Janda itu, punya dua orang asisten. Datang dari desa, dua orang gadis ranum ini menjadi magnet pengunjung. Lugu, cantik, luwes, membuat para pelanggan riang gembira menghabiskan waktu lama-lama di warung Mak Eti. Tak hanya itu, sejak dua gadis hadir bekerja melayani, warung ini semakin terkenal dan tersohor.

Tiba-tiba lelaki itu turun dari motor butut yang kotor kemudian masuk ke warung. Ia duduk menjatuhkan pantatnya penuh semangat pada bangku bambu, dan minta minuman kesukaannya: kopi susu tanpa gula. Tina yang melayani dan membuatkan kopi untuknya.

"Na, Tina, mau pijet nih," kata Fajar meminta pelayanan ekstra super pada Tina.

"Iiihhhh om, lagi rame ini. Nanti saja kalau Ayu udah pulang, biar aku ada yang gantiin jaga," Tina menjawab dengan manja.

Pada sela percakapan, sayup-sayup terdengar langkah kaki bersama gemerincing benturan gelang-gelang emas keluar dari dalam rumah menuju warung. Tampaknya Mak Eti habis mandi, wajahnya bersih dan sangat segar. Sembari melangkah dan tersenyum pada pelanggan ia menghampiri Tina.

"Sudah na, kamu pijitin Fajar dulu sana. Aku bantuin bikin kopi ini," perintah Mak Eti pada Tina sambil tersenyum sangat manis.

"Eh jar, pijet gak hutang ya!" kata Mak Eti sambil mengedipkan mata genit.

"Beres mak, aku baru aja terima gaji dari bos. Yang penting mah layanan mantap, josss gandoss. Ya, kan, Na?" Lirikan genit penuh gairah pada Tina.

Keduanya berlalu dengan bahagia dari hadapan Mak Eti. Masuk ke sebuah tempat, bilik-bilik kecil di dalam rumah.

Pijat, pijat, pijat, katanya.

***

Hari ini Tika libur kerja, ia sedang mencuci baju-baju kotor milik bibi, paman, dan adiknya. Tika sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah saat ia libur. Jika hari biasa, ia melakukannya pada malam hari sepulang ia kerja.

Tiba-tiba ada ketukan sangat kasar di pintu depan, tika melangkah perlahan. Ia sedikit mendengar suara, sepertinya lebih dari satu orang memanggil nama bibinya sambil menggedor-gedor kasar. Jika terus dilakukan, niscaya akan roboh dan rusak pintu kayu tersebut.

"Woi Tut, jangan ngumpet! Bayar utangmu!"

Salah satu dari orang yang datang teriak penuh amarah tanpa basa-basi salam. Tika sedikit kaget, membuka pintu pelan-pelan sambil mengintip. Ternyata ada tiga orang yang datang. Setelah pintu di buka, tanpa aba-aba orang-orang itu masuk menyibak setiap gorden pada setiap pintu yang ada. Tapi ia hanya menjumpai Tika bersama baju-baju kotor serta cucian yang akan dijemur.

"Bibi tidak di rumah, Pak. Lagi pergi, mindring sepertinya tadi," ucap Tika sambil berjalan mengikuti orang-orang itu ke belakang.

"Hei, bilang pada bibimu supaya segera bayar utangnya. Sudah tak ada ampun lagi baginya!" Dengan keras lelaki tua itu menghardik.

Ternyata para tetangga telah berkumpul, bak mendapatkan tontonan menarik pengganti sinetron. Sebenarnya mereka adalah tetangga yang selalu menghindar bertemu Tutut dan Fajar. Soalnya ketika bertemu dan bercakap, pasti temanya hutang.

Lelaki yang menghardik itu, matanya berapi-api menatap tajam ke Tika, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tika sebenarnya kikuk dan sangat risih. Ia mengenakan pakaian tidur semalam yang tipis. Tiba-tiba perutnya mual mendadak tak tertahankan.

"Ponakannya ternyata buruk rupa begini. Coba saja kalau cantik, tak rugi aku mengutangi Tutut berapapun!"

Tiga orang tamu itu beranjak pergi. Tika segera membanting pintu dengan kuat, seperti pelari handal, ia berlari kencang ke kamar mandi. Ia muntah sangat banyak tak terhelakkan. 

Berputar-putar kepalanya, perutnya seperti bubur diaduk. Ia teringat percakapan dengan Diyah tempo hari, tentang penyelesaian persoalan separuh hidupnya ini.

Tika sendiri berkata pada Diyah, bahwa sebenarnya kecantikan bisa menyelesaikan separuh persoalan hidupnya ini. Lalu Diyah juga menambahkan, akan selesai jika Tika menikah lagi. 

Tapi kenyataan hari ini ia menemui hal-hal yang justru berbeda. Karena ia buruk rupa, ia bisa terhindar dari masalah yang sangat mungkin kelak hadir akibat hutang-hutang bibi dan pamannya.

Jadi apa Fajar hanya pijat saja?, Bagaimana Tika akan merubah hidupnya?, Lantas apakah yang dilakukan Tutut sekarang?

Bersambung.............

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun