Mohon tunggu...
Abdulah Mazid
Abdulah Mazid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Masyarakat

Hai! Saya Abdul; orang biasa yang terkadang suka membaca, menulis, memancing dan tidur.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Surat Pemuda Jelata

24 Juli 2024   07:19 Diperbarui: 24 Juli 2024   07:22 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Surat Pemuda Jelata

Sesuatu yang tak berharga

Dari seorang tak dikenal,

Untuk Hari Jadi Nona

Nona yang manis, paling manis, dan akan selalu manis.

Entah berapa pemuda yang terpana oleh senyummu yang serupa permen kapas itu:

Lembut, manis, membuat gemeletuk setiap hati yang suntuk.

Entah berapa pemuda yang terpesona oleh budi baikmu,

Selaras doa yang tersemat di balik namamu.

Kau tebar cinta di tiap sudut kota,

Kau beri pejalan kaki roti,

Kau lari buru-buru, hanya untuk mengabari:

"Maaang, ada yang beliiii"

Entah berapa pemuda yang tergerak hatinya untuk mengetuk hatimu.

Mereka mungkin sering mengganggumu,

Memunculkan perasaan risih di hatimu.

Tapi sungguh, jangan salahkan mereka, Nona. Salahmu sendiri, siapa suruh semanis itu!

Nona yang manis, paling manis, dan akan selalu manis. Serta mulia, Nona!

Sekarang usiamu berapa?

Sial! Aku yang jelata ini jadi tak tahu diri,

Sungguh aku tak tahu diri.

Bolehkah aku turut mengisi rasa, Nona?

Sepetak saja di salah satu sudut hatimu, sedikit saja Nona.

Walau tiada sebanding barang seculi,

Meski mungkin Dia yang kuasa marah padaku, karena sudah berani menatapmu tanpa seizinnya, padahal kau miliknya seutuhnya,

Akan kulangitkan doa-doa baik untukmu,

Tapi setelah kudoakan orang tuaku tentunya,

Sebab mereka yang utama, Nona.

Nona yang manis, paling manis, dan akan selalu manis. Serta mulia, Nona!

Maaf, Nona, aku jadi tak tahu diri.

Aku sungguh tak tahu diri.

Kepada hujan yang berlinang di langit matamu, aku iri!

Kenapa ia boleh begitu dekat dengan pipimu?

Kepada debu-debu di ujung sepatumu, aku pun iri!

Kenapa mereka bisa begitu lekat dengan langkah-langkahmu? Dan kepada diri yang jelata, aku mengingatkan, "Hei! Sadar, TOLOL!"

Ya. Aku kemudian sadar diri,

Betapa aku yang jelata ini mesti kembali memeluk mimpi yang sudah kuputuskan belum lama ini.

Mimpi yang terdengar konyol,

Tapi apa bagusnya mimpi yang tak bisa ditertawakan?

Kau tahu, Nona, aku punya mimpi:

Kelak, akan kuajari anak-anak di negeri terbitnya matahari,

Negeri di mana bunga-bunga sakura

Meranum semusim sekali,

Bagaimana cara berpuisi dengan hati;

Bagaimana cara bercerita dengan rasa.

Maaf, Nona, aku tak tahu diri

Bercerita begini rupa

Padahal mengenalmu secuil pun tidak.

Mohon maafkan pemuda jelata ini, Nona.

Nona yang manis, paling manis, dan akan selalu manis.

Jika berkenan kuberi saran,

Teruslah berbuat baik,

Sebab segala yang baik akan berbiak,

Akan berbuah melimpah di kemudian hari.

Percayalah, Nona,

Selagi kita berusaha,

Dia yang Maha Pasti

Tak pernah ingkar janji.

Serang, 8-9 Juni 2024

A.m.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun