Kunci lainnya dalam suksesi pendidikan di Finlandia adalah cara guru memperlakukan para siswa-siswinya. Guru-guru Finlandia selalu terbiasa memperlakukan siswa-siswinya dengan mengenal setiap anak, bermain bersama, berkawan dengan siswa-siswi, merayakan pembelajaran, mengejar impian kelas, dan mengedukasi persoalan bullying. Berkat jam istirahat yang cukup dan teratur, guru-guru dapat leluasa mendekatkan diri dengan para siswa-siswinya. Guru-guru Finlandia selalu menekankan pentingnya rasa memiliki dan dimiliki bagi setiap anak. Tujuan besarnya adalah rasa memiliki dan dimiliki memiliki peran besar dalam menciptakan antusiasme pembelajaran di sekolah. Selain itu juga memberikan rasa percaya diri pada murid untuk berkomunikasi dan terbuka bertanya kepada para guru-gurunya.
Mungkin ini terdengar sangat sepele ketika guru harus mengenal, bermain, dan berkawan dengan siswa-siswinya, namun sense of belonging berperan signifikan dalam rasa kebahagiaan dan kesejahteraan. Salah satu cara yang biasanya digunakan oleh para guru Finlandia ialah dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang sifatnya pendekatan personal seperti "morning circle". Dalam kegiatan ini, guru dan murid akan melingkar dan saling bercerita atau mengutarakan pikiran mereka. Kegiatan ini berperan penting bagi guru dalam memupuk kedekatan secara personal.
Selain kedekatan antara guru dan murid secara personal, kedekatan antar murid dengan murid secara personal juga penting, baik dengan sesama kelasnya ataupun selainnya. Ada satu hal unik yang sering digunakan oleh para guru untuk saling merekatkan siswa dengan teman yang berbeda kelas. Guru-guru akan memberikan tugas kepada murid kelas 6 untuk berpasangan dengan murid kelas 1. Keduanya akan saling berpasangan untuk berteman dan saling berkomunikasi. Hal ini penting agar memberikan dorongan rasa dimiliki.Â
"Siswa yang lebih tua tidak perlu tangguh. Mereka tidak perlu keren. Mereka hanya perlu menjaga teman kecil itu dan menjadi panutan" (h.86).
Â
Sebenarnya masih banyak hal menarik lain yang bisa anda baca sendiri di dalam bukunya, seperti bagaimana sekolah Finlandia berupaya menghapus perisakan atau bullying di sekolah. Sekolah Finlandia memiliki program unik bernama KiVa. KiVa merupakan singkatan dari kiusaamista vastaan yang artinya melawan perisakan. Kata "kiva" sendiri juga dapat diterjemahkan arti yaitu baik. Cara kerja KiVa cukup sederhana, siswa akan bermain peran, akan ada 3 peran yakni pelaku bullying, korban bullying, dan mediator. Ketiga-tiganya diperankan oleh siswa secara langsung, dan guru hanya mendampingi dan memberi arahan. Fokus KiVa adalah memahamkan siswa tentang sikap perilaku yang berbeda (korban) dan intensi atas sikap atau ucapan (pelaku), serta moderator bertugas menjembatani antar keduanya.
Perisakan atau bullying tidaklah cukup dapat dihentikan apabila hanya melalui penyadaran, namun juga perlu dalam pembiasaan sikap. Â Para guru di sekolah Finlandia tidak hanya berperan dalam mendidik materi, namun juga mendidik dalam karakter/sikap, utamanya karakter/sikap mandiri. Untuk itu menjadi guru di Finlandia itu sangatlah susah. Status guru di Finlandia sangatlah dihargai, mereka harus memiliki gelar magister di bidang pendidikan untuk dapat menjadi guru. Guru-guru di Finlandia dituntut untuk mencerdaskan dalam hal materi dan membentuk profil karakater siswa-siswi yang mandiri. Dapat kita intip bersama, seringkali guru-guru Finlandia memberikan tugas berbasis projek (project based learning)/PBL untuk dikerjakan secara mandiri oleh siswa-siswi baik itu secara berkelompok ataupun tugas perorangan. Guru hanya memberikan instruksi dan arahan, selebihnya siswa-siswi akan bergerak secara mandiri untuk mengerjakannya.
Selain mengerjakan tugas secara mandiri, siswa-siswi juga dididik untuk dapat belajar secara mandiri. Mereka diberikan waktu untuk membaca, memahami, ataupun mengerjakan secara mandiri tanpa harus didampingi atau bahkan diawasi oleh para guru. Ini tentu penting dalam membentuk jiwa pembelajar mandiri yang tangguh juga dalam pembentukan rasa tanggung jawab yang kuat. Memang kalau bagian yang ini diterapkan di Indonesia pastilah semua murid akan kesusahan, namun apabila konsisten dilatih untuk mandiri dalam mengerjakan tugas dan belajar, maka kedepan akan terbiasa dengan sendirinya.
Dalam kehidupan sehari-hari pun sebenarnya siswa-siswi ini juga sudah terbiasa secara mandiri untuk pulang dan pergi sendirian tanpa diantar dan dijemput oleh orang tuanya. Anak-anak kecil di Finlandia sudah terbiasa menggunakan transportasi publik secara mandiri. Pembentukan sikap kemandirian memang tidak bisa hanya diajarkan dari sekolah, namun juga harus dari keluarga dan masyarakat. Mulailah dengan memberikan sedikit demi sedikit kebebasan dan tanggung jawab pada anak-anak.
Selain sikap mandiri, siswa-siswi Finlandia juga dibekali dengan berbagai kompetensi. Kompetensi dari yang paling mendasar hingga kompetensi terkait teknologi masa kini. Ada pula kelas-kelas yang mengajarkan tentang musik, dan menjadi pelatih. Nilai-nilai yang terkait dalam kompetensi pun juga kerap menjadi bahan materi pembelajaran untuk didiskusikan oleh para siswa-siswi. Sebuah kompetensi dan keilmuan yang unggul selalu dibutuhkan kolaborasi. Maka menjadi penting bagi guru di Finlandia untuk berkolaborasi melalui para ahli dengan mendatangkannya.
Setiap strategi demi strategi yang telah dituliskan oleh Timothy D. Walker dari pengalaman mengajarnya di Finlandia memberikan banyak sekali masukan kepada kita bahwa masih banyak hal yang harus kita kerjakan untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik. Bukan suatu ketidakmungkinan jika strategi ini juga dapat berhasil bila diterapkan di Indonesia. Namun yang perlu kita pahami adalah pendidikan tak selamanya tentang transfer knowledge. Lebih jauh dan luas dari itu, pendidikan merupakan jalan bahagia menuju kesuksesan. Hal yang harus kita ingat dalam pendidikan di Finlandia adalah Bahagia dan Sejahtera.