Judul: Teach Like Finland: 33 Strategi Sederhana Untuk Kelas Yang Menyenangkan
Penulis: Timothy D. Walker
Penerjemah: Fransiskus Wicakso
Penerbit: PT Gramedia
Cetakan: Kesembilan, Maret 2022
Ukuran: 270 halaman; 15 cm x 23 cm
ISBN: 978-602-452-044-1
Ihwal pendidikan memang selalu menarik untuk dibaca dan dikaji lebih mendalam. Sebagaimana hakikat manusia sebagai mahkluk paedagogik (homo educandum), manusia telah terlahir sebagai makhluk pembelajar sekaligus pendidik di sepanjang hayatnya. Namun naluri sebagai pembelajar sekaligus pendidik itu tak serta merta muncul pada diri seseorang, perlu pendayagunaan secara masif, strategis, dan terstruktur untuk memaksimalkan aktualisasi diri manusia.Â
Mari kita sedikit melihat dan menyaksikan betapa luas dan beragamnya peradaban hari ini dalam mengembangkan pola-pola pendidikannya, baik yang terjadi di keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Sebuah lembaga internasional telah merekam bagaimana perkembangan pendidikan di berbagai belahan dunia saat ini. OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) ialah lembaga tersebut, lembaga yang kemudian menerbitkan sebuah program penilaian yang kini kita kenal dengan sebutan PISA (Programme for International Student Assesment).
Program PISA meliputi penilaian pada 3 aspek yakni literasi membaca, sains, dan matematika. Pada hasil penilaian terakhir PISA, Indonesia saat ini menduduki peringkat ke-74 atau peringkat keenam dari bawah. (https://radioedukasi.kemdikbud.go.id/read/3341/kemendikbudristek-harap-skor-pisa-indonesia-segera-membaik.html) Sungguh bukan sebuah kebanggaan untuk diperlihatkan di kancah global. Berbanding terbalik sangat jauh dengan jawara-jawara pendidikan di negara-negara Nordik yang selalu menempati posisi-posisi teratas PISA seperti Finlandia, Denmark, dan Swedia. Negara-negara Nordik ini memang sudah dikenal sejak PISA diterbitkan pertama kali pada tahun 2000. Finlandia misalnya, negara yang telah mengambil banyak perhatian dunia dalam memperlihatkan hasil capaiannya. Meskipun negara Finlandia merupakan negara kecil yang kerap menjadi underrated dipandangnya dalam bidang pendidikan, namun faktanya Finlandia mampu menorehkan capaiannya melewati negara-negara besar lainnya seperti Australia dan Amerika.
Finlandia merupakan sebuah contoh unik yang harus kita perhatikan, mungkin tidak sepenuhnya sistem Pendidikan ala Finlandia akan cocok untuk diterapkan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Tapi setidaknya Finlandia telah berhasil membuktikan bahwa strategi-strategi yang telah mereka terapkan sejauh ini sangat memuaskan hasilnya. Tentu kita bertanya-tanya, bagaimana Finlandia mencapai itu semua? Jawabannya ada di buku ini. Buku "Teach Like Finland: 33 Strategi Sederhana Untuk Kelas Yang Menyenangkan" akan membersamai kita pergi mengunjungi Finlandia menengok kelas demi kelas untuk mengetahui semua dibalik kesuksesannya dalam bidang Pendidikan.
"Penelitian demi penelitian dilakukan dari dekade demi dekade telah menunjukkan bahwa kebahagiaan bukanlah hasil dari kesuksesan namun kunci kesuksesan" (h.6).Â
Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala saya. Sekolah Finlandia berusaha dengan sangat keras, berpikir tentang cara memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia Pendidikan. Finlandia memberikan banyak hal di sekolah, memberikan jam istirahat yang lebih, pembelajaran yang asik, keleluasaan aktivitas luar sekolah (less homework), desain ruang belajar yang sederhana, pembelajaran di alam, dan kedamaian kelas.
Finlandia sangat terkenal dengan jam istirahat yang berlebih. Tentu kata "berlebih" di sini digunakan karena saya melihat bagaimana jam istirahat diterapkan di sekolah Indonesia. Sekolah Finlandia sangatlah berbeda, sekolah Finlandia memberikan waktu istirahat sekitar 15 menit setelah 45 menit pembelajaran dengan estimasi total jam sekolah sekitar 4-5 jam. Tentu istirahat yang seperti ini akan terlihat berlangsung sangat banyak sekali (4-5x istirahat), namun sekolah Finlandia selalu memprioritaskan siswa dan gurunya untuk rutin mengistirahatkan otak mereka. Mereka sangat menghindari rasa kebosanan dan kelelahan bagi siswa dan guru di sekolah Finlandia, yang mereka inginkan adalah performance terbaik saat belajar.
Selain rajin mengistirahatkan otak, sekolah Finlandia juga mendorong guru dan siswanya untuk melaksanakan pembelajaran yang asik. Pembelajaran yang asik tidak didominasi oleh guru, namun pembelajaran yang asik selalu terjadi oleh guru dan murid secara seimbang. Pembelajaran yang asik tidak menganjurkan siswa untuk duduk diam dan mendengarkan, pembelajaran yang asik mendorong siswa bergerak dan berbicara. Begitulah pembelajaran diterapkan di Finlandia. Mereka benar-benar mengefesiensikan waktu belajar dan memaksimalkan cara belajar dengan sangat baik.
Tentu efisiensi waktu dan pemaksimalan cara belajar saja tidak cukup untuk menjadikan Finlandia unggul dalam pendidikan. Finlandia benar-benar menerapkan konsep bahagia dan sejahtera sebagai kunci keberhasilan. Hal itu dibuktikan dengan sedikitnya PR yang diberikan oleh guru di sana. Sekolah Finlandia memberikan keleluasaan aktivitas non-akademik selepas dari sekolah. Mereka faham bahwa PR yang banyak hanya akan memberikan beban berat bagi siswa dan mengurangi keleluasaan mereka untuk dapat eksplorasi hal-hal di luar sekolah. Bahkan kerap kali saat istirahat sekolah ataupun pembelajaran, guru memberikan keleluasan kepada siswa untuk pergi ke luar kelas melakukan eksplorasi di alam liar. Sungguh sangat menakjubkan bukan, mereka benar-benar menerapkan kebahagiaan sebagai kunci, bukan hasil.
Kunci lainnya dalam suksesi pendidikan di Finlandia adalah cara guru memperlakukan para siswa-siswinya. Guru-guru Finlandia selalu terbiasa memperlakukan siswa-siswinya dengan mengenal setiap anak, bermain bersama, berkawan dengan siswa-siswi, merayakan pembelajaran, mengejar impian kelas, dan mengedukasi persoalan bullying. Berkat jam istirahat yang cukup dan teratur, guru-guru dapat leluasa mendekatkan diri dengan para siswa-siswinya. Guru-guru Finlandia selalu menekankan pentingnya rasa memiliki dan dimiliki bagi setiap anak. Tujuan besarnya adalah rasa memiliki dan dimiliki memiliki peran besar dalam menciptakan antusiasme pembelajaran di sekolah. Selain itu juga memberikan rasa percaya diri pada murid untuk berkomunikasi dan terbuka bertanya kepada para guru-gurunya.
Mungkin ini terdengar sangat sepele ketika guru harus mengenal, bermain, dan berkawan dengan siswa-siswinya, namun sense of belonging berperan signifikan dalam rasa kebahagiaan dan kesejahteraan. Salah satu cara yang biasanya digunakan oleh para guru Finlandia ialah dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang sifatnya pendekatan personal seperti "morning circle". Dalam kegiatan ini, guru dan murid akan melingkar dan saling bercerita atau mengutarakan pikiran mereka. Kegiatan ini berperan penting bagi guru dalam memupuk kedekatan secara personal.
Selain kedekatan antara guru dan murid secara personal, kedekatan antar murid dengan murid secara personal juga penting, baik dengan sesama kelasnya ataupun selainnya. Ada satu hal unik yang sering digunakan oleh para guru untuk saling merekatkan siswa dengan teman yang berbeda kelas. Guru-guru akan memberikan tugas kepada murid kelas 6 untuk berpasangan dengan murid kelas 1. Keduanya akan saling berpasangan untuk berteman dan saling berkomunikasi. Hal ini penting agar memberikan dorongan rasa dimiliki.Â
"Siswa yang lebih tua tidak perlu tangguh. Mereka tidak perlu keren. Mereka hanya perlu menjaga teman kecil itu dan menjadi panutan" (h.86).
Â
Sebenarnya masih banyak hal menarik lain yang bisa anda baca sendiri di dalam bukunya, seperti bagaimana sekolah Finlandia berupaya menghapus perisakan atau bullying di sekolah. Sekolah Finlandia memiliki program unik bernama KiVa. KiVa merupakan singkatan dari kiusaamista vastaan yang artinya melawan perisakan. Kata "kiva" sendiri juga dapat diterjemahkan arti yaitu baik. Cara kerja KiVa cukup sederhana, siswa akan bermain peran, akan ada 3 peran yakni pelaku bullying, korban bullying, dan mediator. Ketiga-tiganya diperankan oleh siswa secara langsung, dan guru hanya mendampingi dan memberi arahan. Fokus KiVa adalah memahamkan siswa tentang sikap perilaku yang berbeda (korban) dan intensi atas sikap atau ucapan (pelaku), serta moderator bertugas menjembatani antar keduanya.
Perisakan atau bullying tidaklah cukup dapat dihentikan apabila hanya melalui penyadaran, namun juga perlu dalam pembiasaan sikap. Â Para guru di sekolah Finlandia tidak hanya berperan dalam mendidik materi, namun juga mendidik dalam karakter/sikap, utamanya karakter/sikap mandiri. Untuk itu menjadi guru di Finlandia itu sangatlah susah. Status guru di Finlandia sangatlah dihargai, mereka harus memiliki gelar magister di bidang pendidikan untuk dapat menjadi guru. Guru-guru di Finlandia dituntut untuk mencerdaskan dalam hal materi dan membentuk profil karakater siswa-siswi yang mandiri. Dapat kita intip bersama, seringkali guru-guru Finlandia memberikan tugas berbasis projek (project based learning)/PBL untuk dikerjakan secara mandiri oleh siswa-siswi baik itu secara berkelompok ataupun tugas perorangan. Guru hanya memberikan instruksi dan arahan, selebihnya siswa-siswi akan bergerak secara mandiri untuk mengerjakannya.
Selain mengerjakan tugas secara mandiri, siswa-siswi juga dididik untuk dapat belajar secara mandiri. Mereka diberikan waktu untuk membaca, memahami, ataupun mengerjakan secara mandiri tanpa harus didampingi atau bahkan diawasi oleh para guru. Ini tentu penting dalam membentuk jiwa pembelajar mandiri yang tangguh juga dalam pembentukan rasa tanggung jawab yang kuat. Memang kalau bagian yang ini diterapkan di Indonesia pastilah semua murid akan kesusahan, namun apabila konsisten dilatih untuk mandiri dalam mengerjakan tugas dan belajar, maka kedepan akan terbiasa dengan sendirinya.
Dalam kehidupan sehari-hari pun sebenarnya siswa-siswi ini juga sudah terbiasa secara mandiri untuk pulang dan pergi sendirian tanpa diantar dan dijemput oleh orang tuanya. Anak-anak kecil di Finlandia sudah terbiasa menggunakan transportasi publik secara mandiri. Pembentukan sikap kemandirian memang tidak bisa hanya diajarkan dari sekolah, namun juga harus dari keluarga dan masyarakat. Mulailah dengan memberikan sedikit demi sedikit kebebasan dan tanggung jawab pada anak-anak.
Selain sikap mandiri, siswa-siswi Finlandia juga dibekali dengan berbagai kompetensi. Kompetensi dari yang paling mendasar hingga kompetensi terkait teknologi masa kini. Ada pula kelas-kelas yang mengajarkan tentang musik, dan menjadi pelatih. Nilai-nilai yang terkait dalam kompetensi pun juga kerap menjadi bahan materi pembelajaran untuk didiskusikan oleh para siswa-siswi. Sebuah kompetensi dan keilmuan yang unggul selalu dibutuhkan kolaborasi. Maka menjadi penting bagi guru di Finlandia untuk berkolaborasi melalui para ahli dengan mendatangkannya.
Setiap strategi demi strategi yang telah dituliskan oleh Timothy D. Walker dari pengalaman mengajarnya di Finlandia memberikan banyak sekali masukan kepada kita bahwa masih banyak hal yang harus kita kerjakan untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik. Bukan suatu ketidakmungkinan jika strategi ini juga dapat berhasil bila diterapkan di Indonesia. Namun yang perlu kita pahami adalah pendidikan tak selamanya tentang transfer knowledge. Lebih jauh dan luas dari itu, pendidikan merupakan jalan bahagia menuju kesuksesan. Hal yang harus kita ingat dalam pendidikan di Finlandia adalah Bahagia dan Sejahtera.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI