c. Perempuan atau Wanita Madura
Catatan VOC Daghregister tanggal 15 September 1624 “Orang Madura nyatanya bukan hanya laki-laki yang ikut berperang, akan tetapi perempuan pun ikut berperang dan peperangan tersebut tidak kalah dari laki-laki. Apabila ada laiki-laki yang luka dibagian punggungnya, maka oleh tentara wanita dibunuh sekalian, sebab dibagian punggung tersebut menunjukkan laki-laki tersebut melarikan diri dari peperangan yang kemudian dikejar oleh musuh sampai berhasil dilukai. Akan tetapi lukanya dibagian depan, maka oleh para wanita madura segera di obati, karena luka yang demikian menunjukkan bahwa luka yang diakibatkan dari pertempuran yang berhadap-hadapan. “
Dari penggalan-penggalan kalimat tersebut, memberikan gambaran bagaimana wanita Madura sangat berperan dalam membantu keberhasilan perjuangan kaum laki-laki. Disamping itu, para wanita Madura berperan besar dalam membangun karakter kaum laki-laki Madura sebagai pejuang yang tangguh, pantang menyerah dan berjiwa kesatria dalam membela kehormatan dan kedaulatan bangsa dan negaranya.
Nilai-nilai inilah yang senantiasa diturunkan dari generasi ke generasi dan karakter tersebut tetap berlanjut dan menjadi bagian integral dalam prinsip-prinsip hidup masyarakat Madura hingga saat ini.
Dengan demikian, dapat ditarik suatu garis tegas bahwa peran wanita Madura memiliki peran setara dengan kaum lelakinya, baik dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dalam peperangan sekalipun. Bahkan dalam konteks-konteks tertentu peran wanita Madura terlihat sangat keras dan sangat menentukan keberhasilan kaum laki-laki, tanpa mengesampingkan posisi laki-laki sebagai pemimpin dan pelindung kehormatan wanita.
d. Pergeseran Nilai Pemimpin Madura
Selain kiai masih memainkan peran sesuai dengan statusnya sebagai seorang kiai, ia tidak akan menuai “gugatan” umatnya. Akan tetapi, dalam hal politik praktis, akhir-akhir ini, ada pergeseran pandangan masyarakat terhadap para kiainya .Masuknya kiai didalam ranah politik, baik sebagai politisi, maupun sebagai pejabat politik didaerah, seperti sebagai bupati atau ketua DPRD, sering mengundang apresiasi negative masyarakat atau umatnya. Tidak ada larangan bagi sesorang kiai untuk memiliki usaha ekonomi.yang penting,dalam hal ini adalah kiai itu tidak terlibat langsung dalam kegiatan usaha ekonominya.Dikatakan,di madura ini para kiai juga banyak yang menanam tembakau.Artinya,kiai itu bertani.Tetapi,proses penanaman dan kegiatan produksinya itu dilakukan oleh santri-santrinya atau diperkerjakan/dipercayakan kepada orang lain.santri-santri tersebut tidak dibayar karena yakin para santri akan memperoleh barokah kiai.
Jadi, kyai tidak menanggani kegiatan tersebut secara langsung. Kalau kyai sendiri yang terjun berdagang atau bertani, hal seperti ini akan tidak dihargai oleh masyarakat. Sebaliknya, jika urusan bertani dan berdagang diserahkan atau dipercayakan kepada orang lain, walaupun modal usahanya dari kiai, tidak berpengaruh apa-apa terhadap martabat kiai. Di Madura ini, kata Pak Rachmat, sulit masyarakat menerima seorang kiai yang merangkap sebagai petani atau pedagang sebagaimana layaknya petani atau pedagang yang sesungguhnya.dan hanya inilah yang bisa saya sampaikan semoga bermamfaat kami temen - temen sekaliyan dan terakhir "mator sekelangkong".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H