Mohon tunggu...
Abdul Rohim
Abdul Rohim Mohon Tunggu... -

alumni smks alhikam

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik dan Kepemimpinan di Pulau Garam

15 Januari 2015   06:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:07 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Peranan kiai di Madura sangat penting, dan orientasi masyarakat Madura adalah kiai, tidak pada kepemimpinan birokrasi. Pandangan ini yang kemudian dimaknai “kegagalan” integrasi politik dan ekonomi Madura dalam sistem nasional, sebagaimana ditunjukkan oleh tipisnya pengaruh partai pemerintah dalam beberapa kali Pemilu. Dalam penelitian Towen-Bouswsma (1988) dan Joordan (1985) disimpulkan, bahwa terdapat indikasi yang sangat kuat adanya “kegagalan” pemerintah dalam mengintegrasikan sistem politik dan ekonomi yang bersifat nasional dalam kehidupan masyarakat Madura. Pandangan kedua peneliti tersebut dibantah oleh Kuntowijoyo yang menyatakan, bahwa kuatnya pengaruh kiai di tengah masyarakat Madura karena faktor ekologi dan sistem sosial. Ekologi tegalan hingga sekarang masih dominan. Apa yang dikenal dengan “Revolusi Hijau” dan “Revolusi Biru” di bidang pertanian tidak mampu merubah sistem sosial, politik dan kultural Madura. Ekosistem tegal sudah menjadi satu dengan masyarakat Madura, sehingga sulit untuk memisahkan pengaruhnya pada organisasi sosial dan sistem simbol masyarakatnya.

Pola ekosistem tegalan di atas dimaksudkan untuk menujukkan pola pemukiman dan sekaligus organisasi desa. Di Madura, sama halnya di Jawa, pola pemukiman persawahan mengelompok pada satu induk (nuclear village) dengan persawahan di sekitar desa. Akan tetapi, karena jumlah sawah tidak teralu berarti, maka pola pemukiman semacam itu jarang terjadi. Kebanyakan desa mempunyai pola desa tersebar (scattered village), dimana perumahan penduduk terpencar dalam kelompok-kelompok kecil. Untuk mempersatukan desa-desa yang terpencar itu, perlu ada jenis organisasi sosial lain yang mampu membangunkan solidaritas . Di sinilah letak pentingnya agama dan kiai di pedesaan Madura.

Karena desa tidak dipersatukan dalam suasana ekonomi, maka sistem simbol menjadi lebih kuat. Demikian juga, karena terpencar, perlu ada pengikat yang menjembatani pemecahan desa. Dalam hal ini agama menjadi “organizing principle” bagi orang Madura. Pertama, agama memberikan collective sentiment melalui upacara-upacara ibadah dan ritual serta simbol yang satu. Misalnya, di Madura orang juga terpaksa membangun Masjid desa untuk melaksanakan ibadah jum’at secara bersama, karena dalam ketentuan syariat, tidaklah sah shalat jum’at yang tidak dihadiri 40 orang jamaah. Keharusan agamalah yang menjadikan masyarakat Madura menjadi masyarakat dengan membentuk organisasi sosial, yang didasarkan pada agama dan pada otoritas kiai. Masyarakat sipil yang dibangun di atas masyarakat desa hanya menjadi organisasi supradesa yang berada di permukaan, tetapi tidak mempunyai raison d’etre-nya sendiri.

Sebagaimana masyarakat patrimonial yang memegang teguh hierarki, posisi kiai sebagai pemimpim keagamaan dalam masyarakat Madura menjadi sangat kuat. Kekuasaan sosial terpusat pada tokoh-tokoh yang secara tradisional keberadaannya sangat dibutuhkan untuk mempersatukan mereka, bukan karena dipaksakan maupun keinginan para tokohnya. Dalam konteks inilah yang awalnya peran kiai hanya menyempit dalam area keagamaan kemudian melebar ke kawasan sosial dan bahkan politik.

Selain itu, pandangan hidup orang Madura antara lain tercermin dalam ungkapan bhuppa’ bhabbu’ ghuru rato. Pandangan ini menyangkut filosofi kepatuhan orang Madura pada bapak, ibu, guru dan raja (pemimpin formal), yang mereka sebut sebagai figur-figur utama. Dalam kehidupan sosial budaya orang Madura terdapat standard referensi kepatuhan terhadap figur-figur utama secara khirarkikal . Sebagai aturan normatif yang mengikat kepada semua orang Madura, maka palanggaran atau paling tidak—melalaikan aturan itu—akan mendapat sangsi sosial secara kultural.

Kepatuhan kepada guru merupakan aturan yang sangat normatif yang menjadi dasar bagi setiap makhluk di dunia. Bagaimana dengan kepatuhan kepada guru di Madura? Pada tataran ini Wiyata lebih menggaris bawahi bahwa tidak semua masyarakat dapat mematuhi guru sekuat orang Madura. Bagi orang Madura, guru (kiai) merupaka jaminan masalah moralitas dan masalah-masalah ukhrawi, maka kepatuhan orang Madura kepada guru didasarkan pada alasan tersebut. Sementara rato dalam sejarah Madura banyak dipegang oleh para kiai. Dari sinilah filosofi tersebut sangat kuat dan menjadi penanda identitas kultural orang Madura. Dari sini dapat dilihat bahwa ketaatan orang Madura pada kiai karena memang filosofi hidup mereka yang sangat kuat terbentuk sejak dini.

b. Blater

Adapun struktur ekologis wilayahnya yang tandus dan tidak produktif telah menyebabkan masyarakatnya mengalami kemiskinan sosial-ekonomi. Di samping memang adanya pengalaman masyarakat Madura di masa kapitalisme kolonial yang mengalami proses eksploitasi dan dehumanisasi. Kenyataan ini melahirkan perilaku kriminal di tengah masyarakat. Di sinilah blater muncul. Dalam konsepsi masyarakat Madura, blater adalah orang yang memiliki kemampuan olah kanuragan, dan kekuatan magis yang (biasanya) mereka digunakan dalam tindak kriminal. Bagi masyarakat Madura sendiri, ada dua pandangan mengenai sosok blater ini. Ada blater yang memberikan perlindungan keselamatan secara fisik kepada masyarakat, berperilaku sopan dan tidak sombong. Namun, ada juga blater yang disebut “bajingan” karena tidak menjalankan peran sosial yang baik di masyarakat.

Mereka ditakuti masyarakat karena keberingasan sosialnya. Kelompok itu dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti kepentingan politik. Hubungan antara kiai dengan kelompok blater cenderung bersifat simbiosis, saling membutuhkan, walaupun fungsi dan peranan sosial mereka antagonistic. Tidak sedikit, seorang kiai atau haji memiliki latar belakang sosial sebagai blater sehingga kadang-kadang perangai blater-nya tetap muncul, sekalipun mereka sudah menyandang symbol-simbol keagamaan Islam tersebut.

Kaum blater masih dominan di posisi sebagai elite pedesaan, belum merangkak secara cepat layaknya kiai yang begitu eksis dan tampil dominan sebagai elite perkotaan. Blater sebagai orang kuat di desa masih tampil cukup dominan. Di pedesaan, komunitas blater masih memainkan peran sebagai broker keamanan dalam interaksi ekonomi dan sosial politik. Selain itu, tak sedikit yang bermain di dua kaki, selain sebagai broker keamanan juga sebagai tokoh formal, yakni menjadi state apparatus dengan cara menjadi klebun (kepala desa). Di banyak tempat di pedesaan Madura, tak sedikit klebun desa berasal dari komunitas blater atau dipegaruhi oleh politik perblateran.

Berbeda dengan kiai, dalam membangun kekuatan sosial, blater melakukannya melalui praktik-praktik kriminal, seperti carok, sabung ayam, dan modus pencurian dan perampokan. Blater yang sudah kembali hidup normal dalam masyarakat biasanya menjadi penengah dan mediator yang baik dalam menyelesaikan konflik antaranggota masyarakat. Itu sebabnya, ideologi sosial yang mereka bangun adalah membantu masyarakat. Dua kekuatan ini, dalam konteks pembentukan karakter masyarakat Madura, perannya sangat terasa. Tradisi blater, misalnya, telah membentuk karakter masyarakat Madura yang keras dalam membela harga diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun