Mohon tunggu...
Abdul Razak
Abdul Razak Mohon Tunggu... -

I'm common man.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Skripsi Dihapus, Pola Pikir Jadi Pragmatis

20 Januari 2017   09:36 Diperbarui: 28 Maret 2018   19:37 1147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam beberapa waktu terakhir, muncul sebuah kabar dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang cukup mengejutkan. Pemerintah rencananya akan menghapus skripsi sebagai syarat kelulusan mahasiswa strata satu. Skripsi sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah karangan ilmiah yang wajib ditulis oleh mahasiswa sebagai bagian dari persyaratan akhir pendidikan akademisnya.

Desas-desus penghapusan skripsi berembus karena maraknya penjualan ijazah palsu oleh beberapa perguruan tinggi. Sayangnya, rencana ini tak begitu saja disambut hangat oleh masyarakat luas. Sebagian menyetujui, sedang lainnya menolak. Ide untuk menghapuskan skripsi sudah diawali sekitar tahun 1997. Kala itu kontoversi pun tak kalah ramai dengan hari ini. Pihak yang pro maupun kontra masing-masing mampu memberikan argumen cukup kuat. Kontroversi baru berakhir setelah keluarnya Permen (Peraturan Menteri) tahun 2000 yang menyatakan skripsi hanya menjadi pilihan.

Sejatinya setelah dikeluarkan Permen tahun 2000, seharusnya skripsi tak lagi menjadi syarat kelulusan seorang mahasiswa, tetapi dalam praktik lapangannya masih banyak perguruan tinggi yang mewajibkan, baik itu negeri maupun swasta. Hanya UI (Universitas Indonesia) menurut Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Prof. H. Mohammad Nasir, Ph.D., Ak yang tidak mewajibkan mahasiswanya mengerjakan skripsi dan hasilnya sarjana yang dihasilkan baik-baik saja.

Polemik penghapusan skripsi mendapat beragam reaksi dari berbagai kalangan. Mahasiswa, dosen, bahkan rektor pun tak luput mengomentari hal tersebut. Rektor Universitas Andalas Prof. Dr. H. Werry Darta Taifur, S.E., MA kontra terhadap polemik ini. Beliau berpendapat bahwa yang membedakan Sekolah Menengah Atas dengan perguruan tinggi adalah penelitian dan pengabdian, yang merupakan bagian dari Tri Dharma perguruan tinggi. Jika penelitian itu dihilangkan, roh Tri Dharma Perguruan Tinggi akan kabur.

Lain Rektor Universitas Andalas, lain pula Rektor Universitas Lampung. Meski sama-sama memimpin perguruan tinggi di Pulau Sumatera, Rektor Universitas Lampung Prof. Dr. Ir. Sugeng Prayitna Harianto, M.S mempunyai pendapat berlainan. Ia menyatakan bahwa sejak awal dia sudah sepakat bahwa skripsi bukan satu-satunya syarat lulus. Namun, hal itu terkendala peraturan akademik di Universitas Lampung yang masih mewajibkan skripsi untuk kelulusan semua mahasiswa. Alasan beliau sederhana tidak ingin ada lagi mahasiswa yang terhambat kelulusannya bahkan sampai drop out gara-gara skripsi.

Hal senada juga disampaikan Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Prof. Dr. H. Edy Suandi Hamid, M.Ec. Ia menyampaikan bahwa ia sependapat dengan wacana Menristek dan Pendidikan Tinggi. Sebagai gantinya bisa saja diberikan opsi lain, misalnya laporan spesifik dari tugas lapangan atau pengabdian masyarakat. Selain itu, mahasiswa juga bisa menyusun laporan hasil penelitian laboratorium, khususnya bagi mahasiswa program atau bidang eksak. Mantan Rektor UII (Universitas Islam Indonesia) itu berharap agar pemerintah mau mengkaji penghapusan skripsi lebih lanjut agar segera diterapkan.

Dari banyaknya pendapat yang disampaikan para ahli, baik pro dan kontra, penulis lebih memilih tidak setuju jika skripsi dihapuskan. Pemerintah terlalu dini mencanangkan hal tersebut. Ada baiknya memang pemberantasan mafia skripsilah yang harus dilakukan jika memang adanya penjualan skripsi menjadi alasan. Pastilah bukan hal sulit untuk memberantas mafia skripsi jika dilakukan secara sungguh-sungguh. Hanya saja, pemerintah tak memiliki tindakan tegas.

Selain pemerintah, pihak kampus juga seharusnya memberikan sanksi yang berat bagi oknum dosen yang hobi menjual skripsi. Jangan sampai pihak kampus menjadi malaikat pelindung demi menjaga citra kampus atau memang ada perselingkuhan antara pejabat kampus dan sang oknum hingga para pelaku dibiarkan begitu saja.

Skripsi sebenarnya memiliki banyak manfaat bagi mahasiswa, salah satunya ialah menjadikan mahasiswa akrab dengan kegiatan penelitian. Proses penulisannya yang benar-benar serius melatih mahasiswa agar disiplin tak pantang menyerah. Bisa dibayangkan bila skripsi musnah dari muka bumi, tak kan ada lagi mahasiswa yang memiliki kemampuan menulis dan pola pikir sistematis. Tersisalah mahasiswa-mahasiswa pragmatis.

Ketakutan pemerintah terhadap ijazah palsu maupun skripsi yang diperjualbelikan memang sudah sewajarnya, tetapi pemerintah tak seharusnya langsung menghapus skripsi. Ibarat kata, jika ingin mencari tikus, jangan membakar lumbung padi. Masalah baru akan bermunculan. Siapkah pemerintah menanggungnya atau akan menyelesaikannya dengan masalah baru?

Bila kita mau berpikir lebih rasional serta arif, permasalahan adanya praktik jual-beli skripsi dapat diselesaikan dengan mudah. Tinggal kerja sama dari banyak pihak seperti mahasiswa dan para pejabat kampus. Pemerintah bukanlah kekasih perguruan tinggi yang bisa memberikan perhatian 24 jam penuh. Segala bentuk kecurigaan terhadap praktik jual-beli skripsi sesegera mungkin dilaporkan.

Khazanah perguruan tinggi harus diramaikan dengan banyaknya penelitian, pengabdian, dan hal-hal bersifat akademis lainnya. Perguruan tinggi dikenal sebagai laboratorium pengembangan diri, tempat para akademisi mengasah kemampuan juga mengabdi kepada masyarakat sebagaimana yang tertuang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Adanya polemik penghapusan skripsi jangan sampai membuat masyarakat lupa terhadap problem yang lain. Kita hidup dalam negeri yang kacau, maka kejernihan pikiran sangat dibutuhkan guna menetralisasi atau menyelesaikan beban bangsa ini. Pemerintah bukanlah dewa yang segala titahnya wajib didengar dan dipatuhi. Pemerintah sebatas pelayan rakyat yang akan mengambil kebijakan berdasarkan kepentingan orang banyak. Sebagai rakyat, sudah menjadi tugas kita semua untuk mencermati polemik penghapusan skripsi dengan bijak. Segala pendapat haruslah didengar dan ditimbang kebenarannya. Puncak kebenaran selalu berada pada hati yang bersih.

Pemberitaan yang ramai oleh media massa tentang penghapusan skripsi berhasil menjadikannya sebagai “The News Maker”. Mari menunggu kabar selanjutnya.

NB: Sudah hampir 2 tahun artikel ini dibuat dan juga ini pernah terbit di Banjarmasin Post (salah satu media cetak di Kalimantan Selatan) edisi 9 Juni 2015. Tapi tak ada salahnya mengulang kembali apa yang pernah ditulis agar bisa dikenang suatu saat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun