Pernikahan disebut-sebut sebagai salah satunya cara untuk mencegah sebuah pergaulan bebas di masa sekarang ini. Pernikahan ini lah yang kemudian disebut dengan pernikahan dini, yang mana anak muda di usia 18 tahun ke bawah menikah. Beberapa alasan yang menjadikan pernikahan ini terjadi adalah untuk pencegahan moralitas yang tidak pantas yang terjadi antara lawan jenis yang kemudian mengakibatkan kehamilan diluar nikah.Â
Akan tetapi, banyak orang yang masih awam mengenai akibat dari markanya pernikahan dini ini... maka dari itu, rasanya patut dipertanyakan lagi. Apakah benar pernikahan dini dapat menyelesaikan masalah-masalah yang saya sebutkan diatas?
Sebelum kita membahas akibat dari pernikahan dini. Perlu rasanya kita mengetahaui dari pernikahan dini, bagaimana? Berdasar pada survei yang pernah dilakukan oleh Plan International, ada beberapa penyebab masih banyaknya terjadi pernikahan dini, terutama di Negara Indonesia, adalah:
Kentalnya tradisi dan pandangan masyrakat desa, yang kemudian menjadikan dogma yang melekat  agar anak perempuan sebaiknya segera menikah. Jika dipresentasekan, maka sebanyak 38% anak perempuan di bawah 18 tahun sudah menikah, sementara itu berbanding terbalik dengan anak lelaki hanya 3.7% prsentsenya.
Akses Pendidikan menjadi alasan yang kedua ditambah dengan ekonomi dari masing-masing keluarga yang kemudian memunculkan layanan Pendidikan untuk Kesehatan Pendidikan terutama bagi perempuan pun memiliki kerendahan. Hal ini memicu pernikahan dini sebagai sebuah solusi dari masalah kerendahan ekonomi dan lainnya.
Kemiskinan inilah yang kemudian membuat banyak orang tua rela untuk mengorbankan anak-anak perempuan mereka dengan melangsungkan sebuah penikahan dini. Mereka para perempuan yang menurutnya dianggap sebagai beban ekonomi keluarga mau tak mau harus dinikahkan walaupun rentan usianya masih dikatakan dini.Â
Banyaknya anak perempuan yang dikeluarkan dari sekolah untuk segera dinikahkan dengan alasan yang beragam itu menjadi dasar yang kemudian menguatkan anggapan bahwa pernikahan adalah solusianya. Para orang tua yang dengan harapannya agar beban hidup orang tua berkurang karena tidak lagi menanggung pangan atau sandang anak perempuannya karena kemudian anak perempuan tinggal menjadi tanggung jawab suaminya saja.
Pembenaran atas tindakan kekerasan seksual dianggap sebagai suatu yang krusial dan menjadi dalih pernikahan dini sebagai solusi yang amat tepat menurut para orang tua. Negara Bangladesh, sebuah adat yang masih kental mengenai anggapan bahwa lelaki harus menikahi perempuan yang jauh lebih muda menjadikan maraknya pernikahan dini. Belum lagi pernikahan paksa korban pemerkosaan dengan pelakunya, dengan alasan menutupi aib keluarga.Â
Padahal, nantinya hal ini menjadi sebuah cara jitu bagi para pasangan yang tak direstui oleh orang tuanya itu melakukan hal yang tak sewajarnya. Karena toh nantinya mereka berdua itu akan dinikahkan walaupun dalam "paksaan" yang nantinya akan menutupi aib dari kedua keluarganya itu.
Sebab pernikahan adalah sebuah keputusan yang sangat penting yang akan diambil oleh setiap insan dalam kehidupannya. Â Maka dari itu untuk memutuskan menikah, seseorang harus tahu siapa yang dipilihnya dan apa yang harus disiapkannyaa.Â
Pemahaman ajaran agama mengenai pernikahan dini agar anak perempuan terhindar dari zina.
Lalu, bagaimana dengan akibat pernikahan dini itu sendiri?
Meskipun dalam Islam pernikahan memang dianggap efektif mencegah zina. Â Namun ada sebuah imbas dari pernikahan dini ini yang kemudian justru rentan dengan perceraian. Usia yang terlalu muda ini menjadi kebenaran bagi pasangan bahwa mereka tidak siap dengan urusan rumah tangga dan realita yang ada.
Kandungan dengan usia yang masih terlalu muda dan ibu yang mengandung masih muda akan menjadikan kerentanan yang kemudian menyebabkan kematian bayi atau ibunya bahkan keduanya. Ditambah lagi dengan rendahnya wawasan yang diakibatkan akses Pendidikan yang rendah pula menjadikan pengetahuan mengenai sebuah keluarga, anak, bayi terkhusu mengenai Kesehatan reproduksi pun rendah
Kendatipun bayi yang terlahir dari pernikahan dini dapat bertahan hidup, akan tetapi ada kemungkinan besar bayi itu mengalami keterlambatan perkembangan, kesulitan dalam belajar, gangguan perilaku, dan kecenderungan mengulangi lingkaran serupa dengan orang tuanya itu pun besar: menikah dini di kemudian hari. Risiko terakhir lebih tinggi bila anaknya juga perempuan, hal ini selaras dengan sebuah pepatah "buah jatuh tak jauh dari pohonnya" yang tak asing lagi di telinga kita.
Perempuan yang melangsungkan pernikahan terlalu dini pada (minimal di usia 14 tahun) justru paling rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini dikarenakan rendahnya tingkat Pendidikan pasangan suami-istri (akibat putus sekolah) membuat mereka tidak sadar akan hak-hak mereka sebagai istri, ibu, ayah, suami dan manusia yang sejatinya. Apabila kemudian pada akhirnya mereka ditelantarkan suami (atau suami mereka meninggal), mereka pun akan kesulitan mencari sumber penghidupan yang layak agar kelangsungan hidupnya tetap berjalan semestinya.Â
Hingga pada akhirnya, julukan "beban keluarga" pu akan kembali dirasakan oleh orang tua, bahkan bisa saja mereka rentan terjebak dalam dunia prostitusi, meski mungkin niat utamanya sebuah kebenaran hanya untuk menghidupi diri sendiri dan anak-anaknya akan tetapi jalan dan caranya adalah sebuah kesalahan yang mutlak.
Perempuan yang menikah dini juga rentan mengalami depresi, terutama bila dinikahkan secara paksa. Haknya untuk menentukan jalan hidupnya sendiri telah dirampas, sehingga kondisi emosionalnya menjadi labil. Tidak hanya rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah-tangga, perempuan pun dapat menjadi pelaku, misalnya menjadi penyiksa anak.
Lalu, bagaimana dengan solusi untuk mengatasi akibat pernikahan dini?
Solusi dari penikahan dini ini tidak hanya keluarga saja. Masyarakat dan pemerintah memiliki andil yang harus mereka lakukan dengan menangani masalah ini. Menurut Mark Pierce dari Plan International, kombinasi dari peningkatan dalam ranah pendidikan, pemberdayaan dari segi ekonomi, akses layanan kesehatan reproduksi yang baik, dan penegakan hukum serta kebijakan dalam masalah ini akan memicu perlindungan terhadap anak yang akan dapat mengatasi masalah akibat pernikahan dini.
Sebuah edukasi mengenai pernikahan perlu dilakukan. Kaarena pernikahan bukan hanya berbicara tentang cinta dan sayang saja. Disitu ada sebuah tanggung jawab besar yang mana tanggung jawab itu memerlukan sebuah pemahaman yang matang mengenai pernikahan itu sendiri.
Kendati kematangan sebuaha pola pikir tidak diukur dengan usia. Akan tetapi usia seseorang pun akan membantu pola pikirnya dalam memandang sebuah perkara atau masalah. Termasuk dengan perkara pernikahan dini.
Maka disinilah peran dari semua lini bukan hanya dari keluarga saja. Akan tetapi masyrakat secara luas. Agar pernikahan dini tidak lagi menjadi jawaban apalagi pelarian atas ketidak sanggupannya memenuhi kebutuhan anak, yang kemudian hal itu dianggap beban.
Justru sebaliknya. Ketika seorang anak, perempuan contohnya yang menikah pada usia yang masih dini itu menikah. Maka disitu pasti akan menjadi beban pula bagi keluarga secara khusus. Karena mereka yang menikah dini itu masih belum  memahami secara mendalam apa itu pernikahan, ap aitu tanggung jawab dari istri dan suami, bagaimana mengurus anak jika memang sudah menjadi ibu yang mempunyai anak.
Jika pernikahan dini adalah solusi dari maraknya kekerasan seksual, pergaulan bebas, dan sebagainya. Maka ini bukan satu-satunya solusi. Karena al-qur'an sendiri menjawab dari maraknya perbuatan zina atau pergaulan bebas itu dengan solusi untuk menundukkan pandngan, menjaga auratnya dengan memakai krudung atau jilbab sehingga sesuatu yang memancing syahwat itu tak menjadi tontonan.
Dari situ, maka kita turunkan kembali pencegahan dari pernikahan dini dan pergaulan bebas:
- Memahami agama secara mendalam
- Memahami kedudukan diri sendiri baik sebagai laki-laki atau perempuan
- Memahami makna dan apa apa yang dianggap pergaulan bebas
- Memahami pernikahan itu sendir
Keempat car aini tentunya bukan seutuhnya cara yang ampuh untuk pencegahan itu, akan tetapi setidaknya hal ini mewakilinya. Dan ini bukan hanya tanggung jawab orangtua untuk memberikan pemahaman kepada anaknya, tapi jauh dari itu tanggung jawab ini diberikan juga kepada masyarakat secara luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H