Hadist Nabi Saw berbunyi, "Aku sesuai persangkaan hamba-Ku" (Hr. Hakim). Memang sesuatu yang tidak mudah dalam hal berprasangka baik dengan Allah. Bukan hanya dengan Allah yang telah menciptakan manusia dengan kekuatan yang maha dahsyatnya itu. Berprasangka dengan baik kepada orang lain pun susah. Bahkan, berpsangka baik dengan diri sendiri saja pun juga suatu hal yang teramat sangat susah.
Terlebih kala kita meminta, berdoa dengan tulus setulus tulusnya terus menerus. Tapi harapan dan keinginan kita masih saja belum terkabulkannya.
Walaupun demikian hal ini memiliki kaitannya dengan iman kita kepada takdir yang artinya berarti beriman kepada seluruh ketetapan Allah. Beriman bukan hanya dengan sikap penerimaan tanpa sebuah usaha tapi beriman berarti menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dengan secara layak. Yakni dengan cara berserah diri sepenuhnya dan menjalani hidup sesuai dengan apa yang ditakdirkan Allah yaitu berusaha untuk kehidupan yang lebih baik.
Hal inilah menjadi sebuah dasar mengapa kita seorang hamba perlu menjadikan diri kita orang yang sentiasa berprasangka baik bukan hanya dengan Allah seperti yang tertuang dalam hadits nabi "Aku sesuai persangkaan hamba-Ku" (Hr. Hakim). Tapi berprasangka dengan siapapun dalam konteks luas.
Atas setiap situasi inilah seorang hamba harus senantiasa menghadapinya dengan sikap yang tenang. Tatkala situasi tidak seperti yang kita harapkan, upaya untuk berpikir jernih dan tidak berlarut dalam situasi teramatlah penting. Sikap kekecewaan merupakan kewajaran sebagai reaksi logis akan akibat dari situasi yang buruk walaupun pada dasarnya Allah memilih itu bukan karena hal itu buruk, tapi itulah yang terbaik untuk hambanya. Akan tetapi emosi seperti itu merupakan hal yang bisa kita kontrol. Tentunya dengan kontrol kita yang baik.
Ketenangan sebagai Penjaga Motivasi Hidup
Terlepas dari sudut pandang teologis sebagai bentuk pasrah diri terhadap ketetapan Allah, usaha untuk tetap menjadi pribadi yang tenang secara psikologi juga teramat berguna untuk menjaga motivasi hidup seseorang. Permisalan ini banyak kita dapat dalam kehidupan kita di dunia, tentu dalam hal sebuah kegagalan.
Dengan terus berprasangka baik. Maka seseorang tidak akan mudah untuk terombang-ambingkan dalam kehidupan. Sama halnya dengan pencapaian kesuksesan, kegagalan hidup juga merupakan susunan proses yang menjadi batu pijakan yang terus tersusun sesuai dengan lorong waktu. Dalam filsafat waktu adalah gerbong peristiwa yang saling menjalin satu sama lain dan sama sekali tidak berujung. Ujung waktu adalah ketiadaan yakni sebuah kematian.
Prasangka baik terhadap kehidupan kit aini akan membantu orang itu dalam berjalan menyusuri kehidupan melalui lorong waktu kehidupan tadi. Bahwa hidup dan kehidupan merupakan segala kemungkinan untuk hal yang lebih baik masih sangat terbuka dengan lebarnya. Selama kaki masih mampu untuk dilangkahkan maka masih ada kemungkinan yang besar untuk hal yang lebih baik daripada sebelumnya.
Dalam perihal hubungan spritual dengan Allah pun sama halnya seperti itu. "Janganlah berputus asa terhadap rahmat Allah" kata Allah dalam Al-Quran. Maka tidak diragukan lagi berprasangka baik, berpikir dengan teramat sadar adalah kunci dalam kehidupan.
Perlunya Berprasangka Baik Dalam Hidup
Pada dasarnya dunia memang bukan suatu tempat yang dengan sengaja diciptakan sebagai sebuah ketenangan. Dunia pada hakikatnya merupakan kebalikan daripada kehidupan akhir yang dirahmati Allah. Baik diartikan secara kiasan maupun apa adanya seperti yang dikabarkan oleh Al-Quran dan hadist Nabi Saw.
Karena dunia bukanlah sebagai tempat kesenangan yang terus menerus, maka masalah hidup adalah hal yang teramat wajar saja. Jika kita masih ingat bagaimana guru ngaji menceritakan bagaimana Nabi Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih putranya, Ismail. Bagaimana Allah memerintahkan kepada ibunya Nabi Musa untuk menghanyutkannya di sungai yang sangat panjang yakni sungai Nil.
Maka itu artinya tantangan hidup juga merupakan bagian dari proses pertumbuhan dari keimanan itu sendiri. Kita mesti percaya akan janji Allah bahwa Allah tidak mungkin menguji seorang hamba di luar batas kemampuannya sendiri. Ini sebuah janji yang teramat mutlak.
Kita sebagai manusia, seorang hamba memang tidak mudah untuk memahami takaran Sang Pencipta kita Allah SWT itu sendiri. Kadang kita harus sampai pada posisi di mana kehidupan telah berjalan di luar batas kemampuan kita sendiri. Tapi itulah ujian, selama masih tetap bisa berdiri dan menjalaninya bisa jadi itu bagi Allah masih dalam batas kemampuan kita. Jadilah maknai hal itu dengan kedinginan otak dan kesimpelan
Kuncinya hidup yang sebetulnya terletak pada berprasangka baik. Prasangka baik menjadi amunisi yang mujarab dan tersendiri dalam menjalani kehidupan. Jika kita memahami dengan pemahaman yang mendalam, maka sebenarnya Allah tidak pernah menghadirkan suatu keadaan tanpa penyelesaian.
Ini merupakan tahapan-tahapan, aturan main dari Allah untuk kehidupan itu sendiri. Karena kita berbuat sesuai dengan kebutuhan, sesuai dengan apa yang ingin kita tuju. Maka, lakukanlah selayak mungkin, berusaha dengan semaksimal mungkin. Yang perlu seorang hamba kerjakan hanyalah bagian kecilnya saja, sedangkan selebihnya adalah urusan Allah.
Maka... mari kita berkarakter selayaknya seorang hamba yang menghamba dengan Tuhannya.
Jadilah pribadi baik, yang berprasangka baik sampai hal itu menjadi baik tentu atas izin Allah yang maha Baik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H