Beberapa pekan yang lalu saya berkesempatan pulang ke rumah karena rindu bercengkrama dengan keluarga di sebuah desa kecil di Kabupaten Sragen. Singkat cerita ketika sampai di rumah, saya sempat tercengang dan menerawang jauh sejenak. Tentu bukan tercengang karena melihat paras rupawan mbak Nella Kharisma yang nyasar ketika mau manggung atau melihat kejadian luar biasa lainnya, hehe.
Sederhana saja, pasalnya saat itu di depan rumah terlihat sosok bapak yang sedang nyoleti (membersihkan) cangkul yang dipenuhi tanah. Dari kondisi sekitar pekarangan, cangkul tersebut sehabis digunakan untuk membersihkan rumput dan menanam beberapa jenis palawija.
Seketika pikiran ini melayang jauh, selayaknya balon udara yang dilepaskan ketika acara-acara seremonial. Kengerian demi kengerian memenuhi benak pikiran. Teringat sosok Mbak Eno Fariah, karyawan PT PGM, Kosambi, Tangerang. Mbak Eno harus mengalami nasib tragis terrenggut nyawanya dengan cangkul yang tertanam kuat ke dalam alat vitalnya. Sungguh kebiadaban di atas kebiadaban.
Tiga pemuda menjadi tersangka dalam kejadian yang hewani (baca: tidak manusiawi) tersebut. Bahkan salah satunya adalah anak yang masih bau kencur, anak sekolah yang masih berumur 15 tahun. Setelah dilaksanakan penyelidikan masing-masing memiliki motif yang berbeda, namun benang merahnya adalah motif balas dendam.
Motifnya di antaranya adalah merasa sakit hati karena sering diejek. Kemudian motif lainnya kasih tak sampai, cinta yang bertepuk sebelah tangan. Andai saja dia mengenal kesenian hadroh, maka tepuk sebelah tangan akan sangat membantu dalam menguasai kesenian itu, dan yang jelas lebih bermanfaat.
Pikiran ini menerawang lagi mengingat film Kakek Cangkul besutan sutradara Nuri Dahlia. Adapun pemainnya adalah Zaky Zimah, Herfiza Novianti, Rizky Mocil, dan lainnya. Dalam film tersebut dikisahkan betapa tragis kematian Kakek Cangkul, menjadi hantu gentayangan karena jasadnya tidak dikubur, tetapi dibuang ke sungai.
Kakek Cangkul menebar teror ke seluruh penjuru desa. Dia menghantui warga untuk meminta tolong mencari dan menggalikan kubur untuknya secara wajar. Jika tidak mau, maka leher warga siap saja untuk ditebas dengan cangkulnya.
Masih menerawang lagi, kali ini mengenai tradisi memanggil hujan yang terjadi di Kota Semarang. Sebuah tarian yang bernama Tari Ujungan diilhami dari para petani yang berebut air dengan cara saling mengayunkan cangkul. Tidak sengeri sebelumnya, tradisi tersebut dikemas dengan tarian yang lebih modern dan menakjubkan yang mampu menghipnotis para penonton.
Selanjutnya, penerawangan harus terhenti karena dikejutkan dengan suara bapak, "Eh le, kok ngalamun (melamun), parkir motornya, sini duduk ngeteh dan menikmati pohung godok (singkong rebus)". Akhirnya saya duduk bersandingan dan saling bercerita. Sekilas saya menceritakan tentang apa yang saya pikirkan tentang kengerian-kengerian yang berhubungan dengan cangkul.
Dengan menghela nafas panjang, kemudian bapak angkat cerita tentang makna terdalam dari cangkul. Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang suka dengan pasemon (perumpamaan). Hal inilah yang menjadikan Walisongo, utamanya Sunan Kalijaga menggunakan metode pasemon benda cangkul sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai ketuhanan dan pendidikan.
Cangkul atau dalam bahasa Jawa disebut pacul dimaknai ngipatake barang sing muncul. Artinya membuang barang yang timbul, muncul, atau yang tidak selaras. Maksudnya membuang jauh-jauh pikiran dan perbuatan yang buruk, jelek, atau jahat.