Mulai dari "kewajiban" terlibat dalam pasar bebas hingga regulasi memangkas subsidi-subsidi sosial, telah berhasil membangun kontruksi ekonomi yang sangat rapuh bahkan fiktif. Hampir 90 persen rumusan ekonomi pembangunan kita hanyalah turunan atau aplikasi dari dikte yang dianjurkan oleh Gedung Putih (AS), IMF, Bank Dunia, CGI, ECA, plus konsultan-konsultan ekonomi besutan mereka.
Jika merujuk sejarah, maka syarat-syarat bagi kecendrungan dunia dalam situasi yang mirip fase-fase awal terjadinanya resesi ekonomi dunia antara tahun 1925-1930 di mana negara-negara kapitalis-imprealis mulai melakukan konsolidasi. Sejak saat itu blok-blok negara imprealis mulai terlihat, yaitu imperealis-komunis (Sovyet), imperealis-kapitalis (AS dan Inggris), imperealis-rasis (Jerman), dan imperealis-totaliter (Jepang).
Dalam masa konsulidasi itu, mulai terjadi polarisasi negara-negara imperialis. Negara-negara imperialis-kapitalis dan negara imperialis komunis bergabung menjadi satu, menbentuk blok sekutu/Allies (AS, Inggris, Uni Sovyet dan lain-lain). Sedangkan negara-negara imperialis-rasis dan imperialis totaliter membentuk satu blok yang disebut Axis (Jerman, Jepang, Italia, dan Spanyol. ketegangan akhirnya berpuncak pada peristiwa perang Dunia II tahun 1939.
Di titik inilah, bukan hanya Indonesia, tapi negara-negara asia, Amerika Tengah-Selatan, dan Afrika, perlu merumuskan secara super serius persiapan-persiapan menghadapi situasi di atas. Meski rapuh tapi ASEAN sebagai sebuah model integrasi kawasan menjadi mendesak untuk menbincang soal ini hingga ke tingkat perumusan garis kolektif untuk proteksi kepentingan ekonomi kawasan secara utuh.
Bermain-main dalam soal ini, akan mengantar setiap negara (apalagi Indonesia) ke nafas ekonomi terakhir, dan runtuh dalam gelombang resesi ekonomi dunia.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.Saat dunia teramcam resesi dan secara nasional terjadi krisis politik serius. Sesaat lagi, pemilu nasional tahun 2009 digelar. Mirip saat menjelang pemilu tahun 2004, sejumlah partai baru muncul bak jamur dimusim hujan.
Sayang, meski praktik politik Indonesia dalam klaim liberaliasi politik pasca Soeharto, tapi ruang bagi hadirnya alat dan model politik di luar arus utama yang ada sangat terbatas.Sikap setengah hati ini mudah difahami, sebagai konsekuensi logika politik yang memang tidak dalam upaya demokratisasi total atas ruang politik nasional kita.
Politik Terselubung
Siapapun faham kalau pondasi sistem perpolitikan Indonesia hari ini fiktif. Praksis politik hanyalah bentuk-bentuk formalisasi politik belaka tanpa adanya kehendak kuat untuk simetris dengan kepentingan fundamental rakyat, mulai dari sistem, pola relasi, hingga model rekruitmen kader/politisi setiap partai yang hanya menggunakan logika uang dan keluarga, menyempurnakan fakta situasi politik Indonesia dalam wajah morat-marit.
Tidak tarbantahkan lagi, kalau pasca rezim Soeharto, de-ideologisasi politik justru semakin menguat. Praktik politik formal dijalankan tidak dalam visi dan orientasi politik yang jelas. Orang-orang mendirikan partai dan berpolitik praktis hanya sebagai satu gerak mobilisasi vertikal untuk mengkonsulidasikan kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi/usaha mereka yang barsifat oligarkis.
Mental parasit ini semakin lengkap ketika aktifitas ini dijalankan, dilegitimasi, dan dioperasionalisasi oleh kelas-menegah yang berwatak leusure class atau kelas ongkang-ongkang kaki. Perselingkuhan antara politisi oligarkis dengan kaum terdidik penjilat menghasilkan berbagai manipulasi, hegemoni, dan demostikasi (penjinakkan) atas kesadaran dan kepentingan politik rakyat. Lebih khusus pada konstituen partai terkait.