Pola sistem dunia terus bergeser. Setiap negara di berbagai belahan dunia tak henti merumuskan kepentingan nasionalnya. Semua menyiapkan diri menghadapi situasi paling sulit dalam kalkulasi strategi.
Sedang kita justru sebaliknya. Saat negeri lain sedang berbenah diri, kita malah menggerogoti dan mengaborsi kapasitas diri. Belum lagi karena ketiadaan konsensus nasional tentang arah kolektif sebagai sebuah bangsa dan negara merdeka, menyempurnakan parodi politik yang hanya mampu melayani dirinya sendiri. Lebih dari itu mereka tetap merasa nyaman menggadai bangsa sendiri ke tangan kaum penjajah yang telah berganti rupa.
Kehadiran komunitas Ukusa, Uni Eropa, SCO, dan Mar Cosur disertai dengan segala konflik kepentingan politik dan kepentingan ekonomi di antara mereka dapat menjadi indikasi bahwa peta geopolitik saat ini bisa dikatakan tengah bergeser dari geopolitik unipolar ke geopolitik tripolar. Selanjutnya menjadi multipolar.
Fakta di atas menunjukkan kalau hitungan selanjutnya mudah saja. Jika WTO tidak mampu mengambil "jalan tengah" antarkeserakahan negara-negara besar/kapitalis dengan kepentingan nasional negara-negara miskin, maka dunia akan terancam dalam ketegangan ekonomi tingkat tinggi.
Situasi ini akan diawali dengan faksionalisasi modal antarpenguasa korporasi-korporasi multinasional yang akan menahan laju siklus saham dan pasar moneter dunia dalam kalkulasi keuntungan mesin modal mereka. Di titik ini perang dalam konteks geo-ekonomi akan berlangsung terbuka dan vulgar.
Sedang di tingkat negara/antar negara masuk dalam pola kerja sama ekonomi dengan semangat yang tidak lagi multilateral tapi hanya bersifat bilateral dan regional. Globalisisi mengalami penyempitan ruang dengan hadirnya gerak regionaliasi ekstrim di setiap benua.
Misalnya, jika kemacetan relasi ekonomi dunia terjadi, maka integrasi ekonomi kawasan ala Uni Afrika dan Marcosur (blok negara-negara Amerika latin) akan terakselerasi secara lebih massif sebagai kekuatan ekonomi protektif di wilayah mereka.
Fase berikutnya mudah ditebak. Pertarungan ekonomi dalam tema perang migas, antarkorporasi-korporasi migas utama dunia akan berlangsung panas. Keadaan akan semakin tegang, ketika terjadi penyatuan kekuatan gerak antara kepentingan negara dengan kepentingan korporasi migas yang berbasis di negara tersebut secara penuh. Misalnya, rezim pemerintahan AS melebur dengan operasi ekonomi PT Exxon Mobile
Migas Dunia
Menghadapi negara-negara plus korporasi milik China atau Rusia, maka lonjakan harga migas dunia akan berlangsung gila-gilaan. Perkiraan umum puncak dari situasi ini adalah tahun 2015 (secara populer di kenal dengan sebutan oil peak), di mana negara-negara raksasa memastikan penguasaan total atas seluruh sumber-sumber utama migas dunia. Menimbunnya, dan melepaskan dalam konteks kepentingan terbatas.
Situasi ini akan sangat berbahaya atas masa depan ekonomi nasional Indonesia. Lebih rumit lagi, karena sajak tahun 1998 lewat program penyesuaian struktural /structual, adjusment program (SAP) IMF plus bank dunia dengan sangat lihai menjebak gerak ekonomi nasional dalam jejaring perangkap berlapis.
Mulai dari "kewajiban" terlibat dalam pasar bebas hingga regulasi memangkas subsidi-subsidi sosial, telah berhasil membangun kontruksi ekonomi yang sangat rapuh bahkan fiktif. Hampir 90 persen rumusan ekonomi pembangunan kita hanyalah turunan atau aplikasi dari dikte yang dianjurkan oleh Gedung Putih (AS), IMF, Bank Dunia, CGI, ECA, plus konsultan-konsultan ekonomi besutan mereka.
Jika merujuk sejarah, maka syarat-syarat bagi kecendrungan dunia dalam situasi yang mirip fase-fase awal terjadinanya resesi ekonomi dunia antara tahun 1925-1930 di mana negara-negara kapitalis-imprealis mulai melakukan konsolidasi. Sejak saat itu blok-blok negara imprealis mulai terlihat, yaitu imperealis-komunis (Sovyet), imperealis-kapitalis (AS dan Inggris), imperealis-rasis (Jerman), dan imperealis-totaliter (Jepang).
Dalam masa konsulidasi itu, mulai terjadi polarisasi negara-negara imperialis. Negara-negara imperialis-kapitalis dan negara imperialis komunis bergabung menjadi satu, menbentuk blok sekutu/Allies (AS, Inggris, Uni Sovyet dan lain-lain). Sedangkan negara-negara imperialis-rasis dan imperialis totaliter membentuk satu blok yang disebut Axis (Jerman, Jepang, Italia, dan Spanyol. ketegangan akhirnya berpuncak pada peristiwa perang Dunia II tahun 1939.
Di titik inilah, bukan hanya Indonesia, tapi negara-negara asia, Amerika Tengah-Selatan, dan Afrika, perlu merumuskan secara super serius persiapan-persiapan menghadapi situasi di atas. Meski rapuh tapi ASEAN sebagai sebuah model integrasi kawasan menjadi mendesak untuk menbincang soal ini hingga ke tingkat perumusan garis kolektif untuk proteksi kepentingan ekonomi kawasan secara utuh.
Bermain-main dalam soal ini, akan mengantar setiap negara (apalagi Indonesia) ke nafas ekonomi terakhir, dan runtuh dalam gelombang resesi ekonomi dunia.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.Saat dunia teramcam resesi dan secara nasional terjadi krisis politik serius. Sesaat lagi, pemilu nasional tahun 2009 digelar. Mirip saat menjelang pemilu tahun 2004, sejumlah partai baru muncul bak jamur dimusim hujan.
Sayang, meski praktik politik Indonesia dalam klaim liberaliasi politik pasca Soeharto, tapi ruang bagi hadirnya alat dan model politik di luar arus utama yang ada sangat terbatas.Sikap setengah hati ini mudah difahami, sebagai konsekuensi logika politik yang memang tidak dalam upaya demokratisasi total atas ruang politik nasional kita.
Politik Terselubung
Siapapun faham kalau pondasi sistem perpolitikan Indonesia hari ini fiktif. Praksis politik hanyalah bentuk-bentuk formalisasi politik belaka tanpa adanya kehendak kuat untuk simetris dengan kepentingan fundamental rakyat, mulai dari sistem, pola relasi, hingga model rekruitmen kader/politisi setiap partai yang hanya menggunakan logika uang dan keluarga, menyempurnakan fakta situasi politik Indonesia dalam wajah morat-marit.
Tidak tarbantahkan lagi, kalau pasca rezim Soeharto, de-ideologisasi politik justru semakin menguat. Praktik politik formal dijalankan tidak dalam visi dan orientasi politik yang jelas. Orang-orang mendirikan partai dan berpolitik praktis hanya sebagai satu gerak mobilisasi vertikal untuk mengkonsulidasikan kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi/usaha mereka yang barsifat oligarkis.
Mental parasit ini semakin lengkap ketika aktifitas ini dijalankan, dilegitimasi, dan dioperasionalisasi oleh kelas-menegah yang berwatak leusure class atau kelas ongkang-ongkang kaki. Perselingkuhan antara politisi oligarkis dengan kaum terdidik penjilat menghasilkan berbagai manipulasi, hegemoni, dan demostikasi (penjinakkan) atas kesadaran dan kepentingan politik rakyat. Lebih khusus pada konstituen partai terkait.
Jika situasi politik terus mengaborsi dimensi tanggung jawab politik (artikulasi dan edukasi) atas hak politik rakyat, maka akan kecendrungan apatisme bahkan sikap anti-politik akan menggejala dan selanjutnya terakumulasi menjadi tindakan-tindakan isolasi diri atas segala aktifitas politik yang berlangsung.
Dalam konteks strategi, ini akan mengubur seluruh harapan kita melihat terbangunnya tatanan politik demokrasi-partisipatoris yang benar-benar menjalankan amanah rakyat. Partai tidak akan lagi mendapatkan kepercayaan apa-apa, bahkan dalam prosentase paling minim sekalipun.
Seluruh aktifitas politik nasional bakal terhenti, sebuah prakarsa politik apapun menjadi mentah karena tidak mendapatkan legitimasi dari rakyat.
Soal ini tidak disadari atau dianggap remeh oleh elit politik. Mereka terlalu fokus pada agenda taktis pemilu 2009. Bukannya kebingungan menentukan arah negara kita dan berpikir tentang semua permasalahan itu.
Mengapa pada kasus negara-negara tetangga, maka kemungkinan ke arah itu terbuka. Inisiatif dan prakarsa politik populis haruslah dirancang secara super serius dari sekarang agar kita dapat menjaga keseimbangan gerak politik nasional dimana satu sisi tingkat penetrasi politik global akan terus mengunci, sedang sisi lain, kondisi subjektif politik nasional terancam lumpuh.
Di sini, nasib rakyat dalam pertaruhan besar. Anda bisa hitung sendiri. Ketika imflikasi atas tingginya imflasi ekonomi dunia, bertemu dengan kebuntuan prakarsa politik nasional, dan hilangnya kepercayaan rakyat di setiap lokal, maka situasi chaos bersifat mutlak. Semoga tidak.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H