Mohon tunggu...
Raden Mas Noto Suroto
Raden Mas Noto Suroto Mohon Tunggu... -

Bangsawan Jawa

Selanjutnya

Tutup

Money

Skandal Sertifikat Bodong Sandiaga

29 Maret 2017   19:28 Diperbarui: 4 April 2017   18:14 17019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sandiaga Uno, Sumber Gambar Liputan 6

 "Salah satu tugas penting pejabat negara, adalah mempertahankan kekayaan negara bukan malah merampoknya..."

Jejak rekam calon pejabat publik adalah hal yang paling penting untuk diketahui publik, karena track record ini yang akan memberikan penjelasan kepada publik apa yang bisa dilakukan para pejabat negara dalam mengambil "kebijakan publik-nya" dari segala dimensi. Lansekap kebijakan publik bisa dilihat dari "tingkah laku" pejabat publik dalam melihat persoalan dan menyelesaikan persoalan yang hidup ditengah pergulatan politik, masyarakat dan budaya. Seperti bagaimana cara Jokowi dalam menyelesaikan persoalan persoalan politik dan sosial bisa dibaca dari track record dia di Kota Solo yang kerap menjadi referensi penting bagi pengamat politik ataupun masyarakat luas dalam melihat kebijakan publik dan langkah langkah politik yang dihasilkan saat ia menjadi Gubernur DKI Jakarta ataupun Presiden RI. Inilah kenapa "rekam jejak" menjadi patokan paling utama dalam menentukan pilihan Pejabat Publik di tengah suara rakyat.

Problematika Aset-Aset DKI Jakarta

Ada satu problem mendasar Pemda DKI yang jarang diketahui publik luas yaitu : "Berantakannya Manajemen Aset Pemda DKI", berantakannya pencatatan ini pernah dikeluhkan Gubernur DKI baik di masa Jokowi maupun di masa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Berantakannya manajemen aset ini rentan atas kejahatan kejahatan pemalsuan kepemilikan, penjualan gelap dan sertifikat 'bodong'. (baca : Wah Ini Jahatnya Sudah Satu Set ) . Permasalahan ini akan mengurai bagaimana karakter berbisnis Sandiaga akan mengancam aset aset DKI Jakarta, bila cara bisnisnya ia lakukan, dan kini karakter itu harus dipaparkan ke publik, dan ada klarifikasinya serta menjadi perhatian banyak pengamat kebijakan publik, pengamat politik, para pemimpin Parpol dan mereka memperhatikan bagaimana DKI Jakarta seharusnya diurus.

Ada beberapa kasus dimana Sandiaga memainkan penggelapan aset, menggelapkan kwitansi pembayaran, dan semuanya dilakukan seolah olah benar melalui prosedur hukum, namun sesungguhnya bukan saja melabrak etika, tapi juga sebuah perbuatan kriminil. Perhatian publik soal "karakter penggelapan aset ala Sandiaga" menjadi penting bagi publik, karena nun disana ada APBD DKI 70,19 trilyun, dan trilyunan aset aset yang manajemen pencatatannya masih berantakan sehingga rentan diburu para 'buaya-buaya' tanah yang jago melakukan penggelapan sertifikat dan pendobelan aset kepemilikan sehingga bisa diselesaikan lewat pintu pintu pengadilan yang keputusannya juga rentan dimainkan oleh para buaya tanah, markus (makelar kasus) dan mafia pengadilan.

Selain DKI Jakarta yang terancam, perilaku bisnis Sandiaga Uno juga harus dibuka sebagai "Pintu Masuk" membongkar permainan-permainan korupsi di Pertamina. Ada kecenderungan Pertamina, sebagai Perusahaan Negara di bidang perminyakan, bermain layaknya film Wall Street II : "Money Never Sleeps" yang dibintangi dengan ciamik oleh Michael Douglas sebagai biang mafia bursa Wall Street, bila film Wall Street I, di tahun 1988 mengenalkan kata "Greedy is Good" (rakus itu baik), maka film Wall Street II : 'Money Never Sleeps" mengedepankan isu "Kejahatan bisa dilakukan lewat prosedur hukum yang legal dan hal hal yang rumit". Penggelapan Pertamina yang besar besaran sampai ada potensi kerugian nefgara sebesar 60 trilyun akibat permainan permainan jual beli saham yang tidak wajar di banyak perusahaan perusahaan luar negeri, mungkin inilah yang dikatakan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo "ada kasus yang jumlah lebih raksasa ketimbang kasus E-KTP"...

Kasus penggandaan Sertifikat Lahan Balaraja, Tangerang yang nanti dipaparkan lebih rinci bisa juga menjelaskan bagaimana Permainan Permainan bisa terjadi antara Pengusaha Proyek dan Pertamina, hal ini bukan saja milik Pertamina, banyak kasus di BUMN BUMN besar tentang pengambilalihan proyek, ganti rugi negara atas penghentian proyek, lalu bagi bagi uang antara pengusaha dan oknum pejabat pemerintah serta penggede BUMN. Kasus Balaraja ini jumlahnya dari sisi Pertamina, relatif kecil tapi dari sisi tingkat bahaya karena melibatkan banyak orang orang yang kemudian duduk di kursi penting, kasus ini bisa menjadi De Te Fabulla Naratuur(Gambaran berikutnya) atas kasus kasus lain yang lebih kakap dan mengancam kekayaan negara.

Sandiaga Uno dan Kasus Tanah Di Belakang PT Japirex

Sebelum masuk ke dalam kasus Sandiaga Uno di Balaraja, Tangerang Selatan sebagai prolog mengenal karakter Sandiaga kita masuk dulu ke dalam kasus penggelapan kwitansi Sandiaga Uno di kasus pembayaran aset tanah PT Japirex, sebuah perusahaan 'kerajinan tangan' yang awalnya dimiliki oleh Almh. Heppy Herawati, isteri pertama Edward Soeryadjaya yang meninggal di tahun 1992. Sepeninggal isteri pertamanya, Edward menikah kembali dengan Fransiska Kumalawati Susilo, saat itu Edward memang membutuhkan seorang isteri yang bisa menjaga anak-anaknya yang masih kecil, namun pernikahan Edward dengan Fransiska Kumalawati Susilo (Siska) tidak bertahan lama, di awal tahun 2000-an mereka bercerai, Djoni Hidayat selain dekat dengan Edward juga dekat dengan isteri pertama Edward yang sudah meninggal Heppy Herawati, bahkan sebelum meninggal Heppy menitipkan sebidang tanah di belakang PT Japirex seluas 3.115 meter dipercayakan kepada Djoni Hidayat.

Sandiaga Uno dipercayakan Edward untuk masuk mengelola PT Japirex sebagai Direksi bersama rekannya Andreas Tjahjadi, namun PT Japirex tidak berjalan dengan baik, padahal Heppy membangun PT Japirex untuk membangun industri kerajinan tangan rakyat, sehingga bila berhasil industri itu bisa menggerakkan industri rakyat, namun niat sosial itu tidak bisa dibaca oleh Sandiaga yang amat Kapitalis itu, ia melihat bahwa ada aset yang bisa 'diduitin' dari PT Japirex, dan kemudian Sandiaga dengan sengaja 'membangkrutkan' PT Japirex lalu melego aset aset yang dimiliki PT Japirex, dibalik itu Sandiaga melihat ada lahan 3.115 meter yang lokasinya tepat dibelakang PT Japirex, sekalian ditawarkan untuk dibeli juga oleh pembeli yang dibawa Sandiaga, padahal tanah itu atas kuasa Djoni Hidayat, kasus jual beli itu tidak diketahui Djoni Hidayat bahkan ada pemalsuan tanda tangan, Djoni Hidayat hanya diberi uang Rp. 1 milyar dari 12 milyar pembayaran. Yang bikin kaget Djoni, ada kwitansi yang memalsukan tanda tangannya, karena ia merasa bertanggung jawab menjaga aset warisan Heppy, ia menanyakan ini ke Sandiaga Uno tapi tidak ada jawaban jelas, lalu ia mengadu kepada mantan isteri Edward Soeryadjaya, yang juga amat dekat dengan anak anak Heppy, meledaklah amarah Siska saat mengetahui Sandiaga memalsukan tanda tangan Djoni Hidayat, dan menggelapkan pembayaran tanah di Curug, seluas 1 hektar itu. Siska merasa bagaimana hak anak anak Heppy dirampok sedemikian rupa oleh Sandiaga, dan ia membaca bukti bukti ada kwitansi palsu dan Sandi memalsukan tanda tanga Djoni Hidayat, untuk mendapatkan pencairan tanah 3.115 meter di belakang PT Japirex itu. Kasus ini sebenarnya sudah matang sekali dan sudah ada di Kepolisian, beberapa kali Sandiaga dipanggil untuk menjelaskan kasus ini, tapi dia mangkir. Kasus ini sudah jelas terang benderang bagaimana Sandiaga Uno memalsukan kwitansi pembayaran tanah yang dikuasakan pada Djoni Hidayat. Polisi sesungguhnya sudah memiliki data yang valid, dan seharusnya pula Sandi sudah menyandang kasus tersangka. Tapi Sandi jelas bukan Ahok, bila Ahok kemudian malah mendatangi kantor Polisi sendiri untuk menjelaskan persoalannya dalam kasus di Pulau Seribu, sementara Sandi banyak menghindar dari panggilan pihak kepolisian, ia bahkan membangun opini publik dengan mendekati Edwin Soeryadjaya dan mengumbar ke media, padahal apa yang dilakukannya pada keluarga Soeryadjaya amat kejam, Sandi juga harus menjelaskan bagaimana ia mengambil dengan cara yang licik dua rumah di Kebayoran Baru yang terletak di Jalan Wijaya, dan Jalan Cibitung milik keluarga Soeryadjaya. Pada akhir masa hidupnya, Oom Willem juga sempat menanyakan kedua rumah di Kebayoran Baru itu.

Dilihat dari kasus tanah dibelakang PT Japirex, ada semacam kelakuan berulang Sandiaga yaitu memalsukan surat-surat, ini harus dikaji lebih dalam dalam "Investigasi Untuk Publik" karena Sandiaga Uno saat ini adalah salah satu kandidat Wakil Gubernur DKI Jakarta, investigasi menjadi penting dipaparkan ke publik dan juga perlu penjelasan banyak pihak serta tidak ada yang ditutup-tutupi karena kasus ini akan berimplikasi pada terancamnya APBD DKI 70.19 Trilyun serta aset aset tanah milik Pemda DKI yang sistem pencatatannya masih amat berantakan, bisa bisa alih akuisisi Aset akan beralih pada Sandiaga Uno dengan cara yang amat memalukan, seperti kasus pemalsuan tanda tangan pembayaran tanah yang dikuasakan pada Djoni Hidayat itu dan kasus tanah Balaraja yang sedia-nya untuk Proyek Depo Satelit Pertamina, kemudian mangkrak dan lucunya Pertamina bisa digetok oleh Sandiaga Uno membayarkan ganti rugi pembatalan, dengan sertifikat bodong.

Sertifikat Bodong Balaraja Untuk Membobol Pertamina

Di tahun 1996, Pertamina memerlukan tambahan Depot Pertamina di seputar Jakarta. Apalagi Depot Pertamina di Plumpang di Jakarta Utara mulai menjadi wilayah lahan perkotaan akibat perkembangan urbanisasi yang amat cepat. Adanya keinginan Pertamina itu, maka PT Pandan Wangi Sekartaji (PWS) mengajukan pada PT Pertamina, untuk membangun Depot Pertamina di wilayah Balaraja, Tangerang.

Setelah ada tawaran itu, Pertamina setuju dan kemudian meneken kerjasama dengan PT PWS, nilai proyek lumayan gede sekitar US$ 100 juta. Pembangunan Depot Pertamina, sebenarnya adalah Pembangunan dengan skim BOT (Build-Operate-Transfer), atau dalam bahasa Indonesia-nya "Bangunan Guna Serah" (BGS), ini artinya "PT PWS sebagai entitas swasta untuk mendanai, merancang, membangun, dan mengoperasikan suatu fasilitas yang dinyatakan dalam kontrak konsesi. Model ini memungkinkan penerima konsesi mendapatkan kembali investasi serta biaya operasi dan pemeliharaan yang dikeluarkan untuk suatu proyek dalam hal ini Depot Balaraja" .Saat mendapatkan kontrak proyek dengan Pertamina, PT PWS meminjam uang ke Van Der Host Limited, (VDHL) perusahaan yang berkedudukan di Singapura. Dana yang dipinjamkan sebesar US$ 40 juta. Setelah mendapatkan pinjaman PT PWS melakukan pembelian lahan seluas 20 hektar di Balajaraja Tangerang. PT VDHL mempunyai anak perusahaan PT Van Der Horst Teguh Sakti atau VDH Teguh Sakti, dalam komposisi saham VDHL, PT VDH Teguh Sakti memiliki saham PT VDHL. Dalam perjalanan selanjutnya PT PWS melakukan “Joint Operation” dengan PT Jakarta Depo Satelit, PT JDS itulah yang kemudian tercatat sebagai pemilik tanah di Balaraja tersebut, namun PT JDS memiliki hutang yang menjadikan jaminan Sertifikat No.31 kepada PT Van Der Horst Teguh Sakti yang dimiliki Edward Soeryadjaya. Dalam hal ini kepemilikan SHGB no.31 Sumur Bandung, Balaraja, Tangerang adalah milik Edward Soeryadjaya. 

Edward Memenangkan lelang perusahaan dan aset aset milik PT Van Der Horst Limited (VDHL)

Tahun 1997 terjadi badai krisis hebat, PT VDHI melakukan lelang perusahaan dan aset asetnya, pemenang lelang adalah L&M Group Investments (LMGI) yang sahamnya dimiliki oleh Edward, ini artinya seluruh aset VDHI dimiliki oleh Edward Soeryadjaya, termasuk lahan tanah yang sedia-nya akan dibangun Depot Pertamina di Balaraja. Surat Tanah itu atau Sertifikat Tanda Bukti Hak bernomor : 00031, atau disebut selanjutnya no. 31 dimana PT Jakarta Depo Satelit (JDS) yang tercatat namanya, sementara PT JDS dimiliki oleh VDHL, ini artinya : Surat Sertifikat bernomor : 31 adalah milik Edward Soeryadjaya pemilik PT LMGI yang memenangkan lelang perusahaan VDHL.

Sertifikat ini disimpan oleh Edward Soeryadjaya.  Selanjutnya nasib proyek Depot Satelit Balaraja terkatung-katung, sejalan dengan keadaan bisnis PT PWS mengalami berkali kali perubahan komposisi kepemilikan,  Johny Hermanto dan Tri Harwanto adalah salah satu pemilik PT PWS, sempat menjual PT PWS kepada PT Logistindo Jasa Indonesia senilai 2 milyar rupiah.  Saat itu masuklah Agoosh Yosran lalu Sandiaga Uno, Stefanus Ginting dan Made Suryadana sebagai direktur.

Surat Sandiaga Uno kepada Johannes Kotjo, yang mengakui bahwa Sertifikat no.31 adalah Sertifikat yang sah dan jadi instrumen penebusan
Surat Sandiaga Uno kepada Johannes Kotjo, yang mengakui bahwa Sertifikat no.31 adalah Sertifikat yang sah dan jadi instrumen penebusan
Pada tahap selanjutnya, ternyata transaksi antara PT PWS dengan PT Logistindo Jasa Indonesia tidak terlaksana, dan PT Logistindo sempat menjual saham 50% kepada PT Siwani Makmur.

Karena gagalnya transaksi, PT PWS kembali dikuasai Johny Hermanto dan Tri Harwanto. Lalu PT PWS menjual sahamnya kepada PT VDH Teguh Sakti senilai US$ 1,5 juta dollar.  PT VDH Teguh Sakti, lalu dibeli oleh Sandiaga Uno, namun pembayarannya baru sebesar US$ 650.000, sebesar US$ 250.000 lewat PT Capitalinc Investment dan US$ 400.000 dibayar langsung PT VDH Teguh Sakti, sisanya US$ 850.000 dijanjikan bila urusan dengan Pertamina beres.

Sandiaga yakin urusan dengan Pertamina beres, karena ia banyak kenalan dan jaringan baik di internal Pertamina, di penguasa saat itu dan punya pengacara kuat. Tapi ternyata ia bakalan kejeblos soal validitas Sertifikat SHGB no.31/Sumur Bandung. Karena kemudian ia justru memakai sertifikat asli tapi palsu (aspal) no.32 dalam sebagai instrumen syarat pembayaran pembelian proyek Depot Balaraja oleh Pertamina. 

Sertifikat no.31 dan Sertifikat no.32
Sertifikat no.31 dan Sertifikat no.32
Akhirnya benar dugaan Sandi, Pertamina akhirnya bersedia membayar setelah proses yang cenderung alot, tapi ini aneh biasanya Pertamina habis-habisan mempertahankan hak-nya namun lemah dalam kasus PT PWS, bahkan cenderung mudah dalam mencairkan dana penggantian atas dibatalkannya proyek Depot Pertamina Balaraja. Ada apa dengan Pertamina?

Namun syarat penggantian itu harus menggunakan Sertifikat No. 31 dan ini ada dalam klausul kesepakatan. Ini artinya Pertamina dan para pihak yang terkait sepakat bahwa Sertifikat no.31 adalah sertifikat yang sah. Dan sertifikat itu dipegang oleh Edward Soeryadjaya.  Bahkan Johannes Kotjo yang saat itu memiliki koridor saham kepada PT JDS, pernah meminta sertifikat no.31 kepada PT PWS, namun dijawab melalui surat pula oleh Sandiaga Uno selaku Direktur PWS bahwa ia bisa memberikan Sertifikat itu dengan semacam kompensasi sebesar US$ 8 Juta dan  US$ 35 Juta, utang JDS kepada PWS. Disinilah kemudian muncul banyak permainan.

Dino Sudradjat, Direktur PT JDS melaporkan pada Polisi bahwa Sertifikat No.31 itu hilang, Penerima-nya adalah seorang Polisi bernama Kompol Sunardi. Dalam laporan itu Sunardi mengetik bahwa sertifikat itu hilang. Namun keajaiban terjadi, Kompol Sunardi yang dulunya adalah Kapolsek Tangerang Selatan delapan tahun kemudian bertugas di Polda Metro Jaya, yang menerima laporan kehilangan sertifikat no.31 dipindah ke Polda Metro Jaya. Eh, 8 tahun kemudian malah Dino Sudradjat melapori bahwa sertifikat no.31 telah dicuri Edward Soeryadjaya. Disinilah terjadi percakapan “Bapak masih inget saya?” tanya Sunardi. Ditanya seperti itu, Dino Sudradjat menggeleng gelengkan kepala, rupa-rupanya ia lupa lupa ingat atas wajah Sunardi. “Dulu delapan tahun yang lalu saya dilapori oleh anda SHGB No.31/Sumur Bandung yang terletak di Balaraja, Tangerang dilaporkan oleh anda hilang, kini anda malah melaporkan bahwa Bapak Edward Soeryadjaya telah mencurinya. Ini berarti memang Dino Sudradjat mengakui bahwa sertifikat itu ada. 

Dari sinilah kemudian terjadi hal yang aneh, hilangnya sertifikat diganti dengan munculnya sertifikat baru tapi nomornya adalah 32. Jadi selama 9 tahun (2000-2009) lahan yang sedia-nya akan dijadikan Depot Pertamina itu, memiliki sertifikat ganda.

Semua yang terlibat dalam persoalan ini, termasuk Sandiaga Uno tahu bahwa Sertifikat no.31 tidak hilang tapi berada di tangan Edward Soeryadjaya, namun tiba-tiba muncul Sertifikat no.32 dan lucunya lagi, sertifikat duplikat itu memiliki nomor yang berbeda yaitu no.32. Jadi selama 9 tahun status tanah itu memiliki dobel sertifikat, ini harus diklarifikasi oleh pihak BPN yang terkait karena ini masuk dalam kejahatan surat kepemilikan tanah.

Nah, sertifikat bodong no.32 –lah yang kemudian dijadikan alat transaksi dalam pencairan ‘pembatalan’ proyek Depo Pertamina Balaraja.  Akhirnya Pertamina membayar kepada PT PWS sebesar US$ 6,4 Juta.

Nah, pengumuman penggantian dana Pertamina kepada PT Jakarta Depo Satelit (JDS) dalam hal ini rekanan PWS dalam persoalan proyek,

Terjadilah keributan besar antara Edward Soeryadjaya dan Sandiaga Uno, karena Edward menilai Sandi telah melakukan perbuatan menantang hukum, dengan menggunakan sertifikat no. 32 yang ternyata sertifikat aslinya ada. Apalagi sertifikat itu bisa digunakan dalam mencairkan uang Pertamina, sejumlah US$ 6,4 Juta.

Pencairan dana 6,4 Juta Dollar tidak diketahui Edward Soeryadjaya, suatu saat pada tanggal 9 Mei 2009, Edward membaca surat kabar KOMPAS yang memuat pengumuman pengambilalihan tanah antara Pertamina dengan Jakarta Depot Satelit terkait soal pengambilalihan proyek dan bangunan diatasnya. Edward sontak kaget ketika membaca bahwa salah satu syarat yang dikeluarkan Pertamina adalah Sertifikat No.32, sementara tidak ada SHGB no.32 yang ada adalah no.31. Ini artinya Pertamina dengan sengaja telah melakukan tindakan sembrono yang bisa merugikan keuangan perusahaan. Apakah ini sengaja atas ketidaktahuan itu, Surat Pengumuman itu sendiri ditandatangani oleh Genades Panjaitan, Kepala Biro Hukum Pertamina.

Pengumuman Pertamina Atas Sertifikat no.32
Pengumuman Pertamina Atas Sertifikat no.32
Meledaklah kemarahan Edward, karena ia merasa ditipu bahkan oleh anak angkat yang ia bina sendiri Sandiaga Uno. Namun ia juga merasa sedih bagaimana anak angkat yang ia bangga banggakan di depan setiap orang malah menikam dari belakang...et brute...et tu brute (kau juga brutus...) begitulah Julius Caesar mengucapkan ungkapan kesedihannya saat ditikam anak angkatnya sendiri Brutus.

Edward adalah orang yang membawa Sandiaga ke tengah lingkaran keluarga Soeryadjaya, awal perkenalan Edward dengan Sandi, di suatu siang yang cerah pada tahun 1978. Saat itu Mien Uno, Ibu Kandung dari Sandiaga Uno mengenalkan Sandi cilik yang baru berusia 9 tahun kepada Edward "ini lho Oom Edward, yang punya Toyota, kalau kamu ada perlu ingat Oom Edward ya..." di tahun 1978, Sandi adalah anak kecil yang manis. Bibirnya kemerah-merahan dan sikapnya yang amat santun tentu banyak orang tua melihat Sandi ini dengan gemas. Waktu berjalan cepat, di tahun 1990 setelah Sandi lulus dari sekolahnya di Amerika Serikat, Wichita State University dengan nilai cemerlang. Setelah lulus Sandi ingat pada pesan mama-nya Mien Uno. Ia pun bergegas menemui Edward Soeryadjaya. Dia bilang "Oom masih inget dengan saya?" kata Sandi dengan senyum ramahnya. "Saya anak Ibu Mien Uno" lalu antara Sandiaga dan Edward Soeryadjaya terjalin hubungan yang akrab. Edward adalah jenis orang yang cepat percaya dengan orang, ia juga punya sikap dasar suka menolong orang. Watak ini menurun dari Bapaknya William Soeryadjaya yang akrab disapa Oom Willem. Dalam membangun Astra, Oom Willem lebih percaya pada 'membangun manusia-nya' bukan 'membangun nilai benda perusahaan', karena membangun 'manusia' akan membangun perusahaan secara utuh. Di mata Edward, anak muda bernama Sandiaga ini memiliki prospek yang cerah. Sandi lantas ditempatkan di Bank milik Edward, Bank Summa dan belajar tentang soal soal dasar Perbankan. Saat itu juga gairah pendidikan di Astra amat kuat daya hidupnya. Teddy Permadi (TP) Rahmat, dirut Astra mengambil program CFA (Certified Financial Analysis) dan lulus sampai level 3, sementara Edward juga mengambil kursus bisnis di Filipina, di awal 1990, Manila memang jadi pusat pendidikan finansial, bahkan mengalahkan Singapura. Banyak pebisnis pebisnis Asia menimba ilmu bisnis di Manila. Dan Sandi disekolahkan Edward ke George Washington University, semua biaya serinci rincinya ditanggung oleh Edward.

Tahun 1992, Astra dihantam krisis besar. Segerombolan pengusaha ingin menguasai Astra dari tangan William Soeryadjaya, kebetulan juga ada kasus Bank Summa dan Edward anak sulung William Soeryadjaya sedang menghadapi masalah pribadi yang berat, yaitu : isterinya sakit keras. Heppy Herawati dirawat di Amerika Serikat, akhir tahun 1992, Heppy meninggal. Dengan limbung Edward pulang ke Jakarta dan melihat Perusahaan Astra mulai berpindah tangan kepemilikan. Disini Edward memanggil Sandiaga, tugasnya adalah membenahi perusahaan-perusahaan kecil yang melingkupi Astra. "Kamu bantulah Pak Willem, San" kata Edward kepada Sandiaga.

Setelah membereskan beberapa persoalan terkait pengambilalihan Astra dari William Soeryadjaya, ke sindikasi pengusaha lain. Edward pun memberikan pekerjaan pada Sandiaga mengelola perusahaan minyak-nya NTI Resources yang berkedudukan di Singapura. Disini Sandi digaji Edward dan dibiayai bolak balik Singapura Kanada. Edward juga memerintahkan Sandi untuk bagaimana belajar bisnis minyak bumi termasuk menjadi rekanan bisnis Pertamina, dari Edward-lah Sandiaga berkenalan dengan banyak "orang dalam" Pertamina. Namun lagi lagi krisis 1997 membuyarkan itu semua, harga minyak jatuh dan NTI Resources tutup.

Sandiaga adalah anak didik Edward, namun dalam perjalanannya ia masuk jauh ke dalam keluarga Soeryadjaya, ibunda Edward. Ibu Lily awalnya percaya sekali dengan Sandiaga tapi nanti ada cerita lain, bagaimana kepercayaan itu dirusak oleh Sandiaga. Dan soal Depot Balaraja, bisa menjelaskan begitu brutalnya Sandiaga berbisnis.

Kembali kepada pertengkaran antara Sandiaga dan Edward, akhirnya diadakan kesepakatan damai antara Sandiaga Uno, Edward Soeryadjaya dan para pihak terkait.  Dan Edward Soeryadjaya memberikan sertifikat asli no.31 kepada Pertamina 10 Desember 2012. Edward marah sekali atas kelakuan Sandiaga Uno yang berani menggunakan sertifikat bodong untuk mencairkan dana Pertamina, ia merasa gagal mendidik Sandiaga.

Perjanjian penyelesaian perdamaian itu sebenarnya adalah langkah Edward agar Sandiaga sadar bahwa memberikan sertifikat bodong adalah sebuah kejahatan dan melanggar hukum, karena bagaimanapun Sandiaga telah menggunakan Sertifikat no.32 sebagai SHGB yang diberikan kepada Pertamina untuk mencairkan dana 6,4 juta dollar AS dalam dua termin. Hal ini ia lakukan sebagai Bapak Angkatnya, Edward ingin Sandiaga berbisnis dengan cara yang fair dan memenuhi garis etika. Untuk itulah Edward memberikan sertifikat no.31

Namun malah terdengar kabar bahwa Pertamina malah melanjutkan pembayaran yang kedua, juga dengan SHGB no.32  kepada PT PWS, dalam hal ini Sandiaga Uno, ternyata Sandiaga tetap menggunakan langkah langkah melawan hukum. Dia tau bahwa Sertifikat no.31 ada tapi tetap menggunakan Sertifikat no.32 Pembayaran termin 2 ini harus diselidiki kenapa Pertamina melakukan perbuatan yang sudah disadarinya salah tapi tetap melakukan pembayaran itu. Disinilah bisa dijadikan adanya indikasi korupsi di tubuh Pertamina dan perlu ada penyidikan lebih lanjut. 

Pada akhirnya Proyek Depot Pertamina, setelah dikuasai Pertamina dengan menggunakan Sertifikat bodong no.32 tetap saja Proyek ini mangkrak, sampai sekarang bila anda datang ke Lahan Balaraja, yang ada hanya rumput ilalang dan bekas pondasi yang tidak digunakan, ini sangat mirip dengan Hambalang, berarti ada kerugian negara untuk mengganti Proyek ini sebesar 12,8 Juta Dollar AS.

Pertamina harus menjawab ini dengan gamblang dan para jurnalis jurnalis investigasi yang jujur dan kritis bisa melihat bagaimana mungkin Pertamina bisa dengan mudah membayar ganti rugi proyek yang tidak jalan dengan Sertifikat Bodong no.32  Padahal Pertamina bisa saja meninggalkan dan mengabaikan pembelian proyek karena lahan bermasalah dan dalam kondisi tanah sengketa karena ada dobel Sertifikat.

Apa yang bisa kita tarik dalam kisah ini :

  • Harus ada klarifikasi yang jelas atas kasus kasus ini, sekaligus dilakukan tindakan hukum yang tegas. Mungkin saja Sandiaga berteriak bahwa ini “politisasi” atas kasus yang menimpa dirinya. Tapi teriakan Sandiaga justru memperkuat pertanyaan publik “ada apa dengan dirimu?”
  • Adalah hak publik untuk tau, soal bagaimana Sandiaga berbisnis. Soal laporan kekayaan ke KPU adalah berkisar di angka 4 Trilyun, sementara laporan kekayaan Sandiaga ke KPK sekitar 12 Trilyun, KPK harus membuka laporan kekayaan Sandi ini, apakah “spread” antara laporan ke KPU dan ke KPK bisa menjadikan instrumen ‘perampokan’ lagi, kita harus hati hati terhadap gaya berbisnis Sandiaga, jadi kalau ini mau benar, ya harus dibuka soal kasus Siska dan kasus Balaraja, agar publik memiliki pengetahuan bagaimana ‘postur’ bisnis Sandiaga dibangun.
  • Soal Pemalsuan Kwitansi terhadap Djoni Hidayat yang sekarang diperkarakan, harus dipaparkan ke publik, termasuk data pemalsuan tanda tangan Djoni Hidayat. Publik berhak tau atas berkas tersebut. Karena bahaya bila kelak Sandiaga berhasil menjadi Pejabat Publik senang melakukan pemalsuan dokumen dokumen penting.
  • Presiden RI sebagai Boss tertinggi BUMN harus memberikan perhatian pada Pertamina,  penanganan Pertamina sebaiknya harus langsung ditangani Presiden RI dengan membentuk satgas khusus pembenahan Pertamina. Memang kasus Sandiaga adalah kasus kecil untuk ukuran Pertamina, tapi ini menggambarkan bagaimana Pertamina gampang dijadikan sapi perah oleh para pemain pemain Pertamina, baik itu di internal maupun perusahaan rekanan.
  • Pertamina juga harus memberikan klarifikasi, Keputusan pemberian ganti rugi Pertamina yang diputuskan pada masa Ari Sumarno kemudian dilanjutkan oleh Karen harus dijelaskan ke publik. Kepala Biro Hukum Pertamina Genades Panjaitan juga harus memberikan klarifikasi, bagaimana mungkin ia sebagai Kepala Biro Hukum bisa mengesahkan pembayaran termin pertama, sebesar 6,4 Juta Dollar dengan Sertifikat Bodong. Sementara Pertamina juga telah mengeluarkan surat untuk menyelesaikan kasus Edward yang telah menunjukkan Sertifikat asli no.31 dan mengakui bersalah, tapi malah kemudian meneruskan pembayaran termin kedua dengan jumlah 6,4 Juta Dollar AS.
  • Pihak BPN (Badan Pertanahan Nasional) harus bisa menjelaskan bagaimana Sertifikat bisa diganti dengan berlainan nomor dan tidak ada keterangan “Duplikat” atas terbitnya Sertifikat baru, bilamana dikatakan hilang.
  • Presiden RI dan Direktur Pertamina yang baru Elia Masa Manik, harus berani membongkar Korupsi besar besaran di Pertamina, dimana negara kehilangan lebih dari 60 Trilyun akibat transaksi saham yang penuh permainan. Kasus Persoalan Balaraja menjadi titik penting membongkar kasus kasus Pertamina lainnya. Seperti : Kasus Pembelian Saham Conoco Philips, yang nilai-nya 850 Juta Dollar AS, dibeli dengan nilai 1,75 Milyar Dollar AS. Ini jelas pembobolan uang negara yang luar biasa (berita : KPK diminta usut pembelian saham Conoco Phillips oleh Pertamina ) , selain itu Pembelian 30% saham Murphy Sabah Oil Co Ltd dan Murphy Sarawak Oil Co Ltd senilai US$ 2 miliar. Padahal nilai saham itu dibawah 700 Juta Dollar AS, harus ada klarifikasi ulang terhadap pembelian itu oleh pihak Verifikator yang independen untuk menilai berapa sesungguhnya nilai saham itu sehingga publik berhak tau.  Kasus pembelian saham migas Perancis Maurel and Prom, dimana sahamnya langsung anjlok, karena ladang minyak milik MnP tidak sesuai harapan,  permainan permainan pembelian saham ini dengan tidak mengidahkan prinsip kehati-hatian harus dijadikan perhatian Presiden RI.
  • Presiden Jokowi harus menjadikan Pertamina sebagai lambang keberhasilannya dalam menghancurkan korupsi di dalam tubuh Pertamina, jangan cuman ganti pemain saja, maka pengangkatan Elia Masa Manik harus dijadikan peluru untuk menghabisi kaum koruptor di tubuh Pertamina secara tuntas, kasus kasus penyelesaian korupsi Pertamina akan jadi pos nilai paling penting bagi rapor Presiden RI.
  • Soal Sandiaga Uno, dari sisi Karakter harus jadi perhatian publik juga, bagaimana kemudian Sandiaga mempermainkan hubungan diantara keluarga Suryadjaya. Antara Edward dan Edwin, dengan memanfaatkan situasi situasi rumit ia mengambil banyak keuntungan. Juga dijelaskan soal dua rumah di Kebayoran Baru milik keluarga Suryadjaya yang dikuasai Sandiaga Uno, harus dicek bagaimana cara Sandi menguasai dua rumah itu. Juga penjelasan dari keluarga Suryadjaya bisa saja isteri William Soeryadjaya, ibu Lily Soeryadjaya bersuara soal kelakuan Sandiaga Uno ini, bila Ahok amat dicintai oleh keluarga angkatnya, dimana ibu angkat Ahok saat sakit terus berjalan memilih anak kesayangan angkatnya, tapi Sandiaga malah menyakiti bapak angkatnya, Edward Soeryadjaya dengan amat brutal.
  • Para pengawas hukum, baik itu KPK, Polisi dan Kejaksaan jangan masuk angin dalam membongkar kasus Balaraja sebagai pintu pembuka membongkar kasus Pertamina, yang nilainya lebih besar daripada E-KTP. 
  • Dalam wajah Sandiaga Uno seperti "kabut sutra ungu" di depan publik, kabut yang indah menawan tapi apakah kabut itu akan hilang dan menunjukkan wajah sebenarnya. Karena pertaruhannya adalah APBD DKI 2017 dan Aset Aset di DKI Jakarta.  Jadi pertanyaan yang kritis dan keras, harus diungkap di depan publik. Sekali lagi kita harus obyektif dalam berpolitik, sekaligus menempatkan “Jejak Rekam” masa lalu dalam menilai masa lalu calon calon Pejabat Publik.

Janganlah kita memilih Pemimpin yang berkelakuan seperti Brutus dan sejarah menjadi “Panggung Sandiwara” para pemain pemain proyek anggaran .........

Keterangan Dokumen : 

Gambar Pertama : 

Jawaban Sandiaga Uno kepada Johannes Kotjo, Direksi PT Jakarta Depot Satelit yang menunjukkan bahwa aset SHGB no. 31 adalah sepenuhnya PT VDH Teguh Sakti, yang juga sepenuhnya milik Edward Soeryadjaya. Ini berarti Sandiaga Uno sejak awal sudah sadar bahwa Sertifikat yang sah adalah no.31 bukan Sertifikat no.32 yang muncul belakangan sebagai pengganda.

Gambar Kedua : 

Penggandaan Sertifikat, SHGB No.31 diganti dengan SHGB No.32 ini sangat menyalahi peraturan BPN dan tidak ada sertifikat duplikat yang nomornya berbeda, ini juga menjadi indikasi adanya upaya menjadikan Sertifikat Bodong, sebagai instrumen kepemilikan yang sah. Harus diselidiki ada apa dengan Sertifikat no.32 ini. 

Gambar Ketiga : 

Pengumuman Kompas Rabu, 27 Mei 2009 hal.44 yang menunjukkan bahwa adanya Pengumuman tapi menggunakan Sertifikat bodong, Pengumuman inilah yang kemudian memicu pertengkaran antara Edward Soeryadjaya dengan Sandiaga Uno, karena Edward baru tau bahwa Sandiaga menggunakan Sertifikat Palsu digunakan sebagai instrumen penebusan pembatalan proyek Depot Balaraja.  

Semua dokumen adalah hasil dari investigasi kami, sebagai tanggung jawab kami untuk menyodorkan kepada publik persoalan persoalan yang tidak diketahui publik secara umum. Bila ada pertanyaan, biarlah pihak pihak berwajib melakukan verifikasi atas data data ini. 

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun