Mohon tunggu...
Abdul Mutolib
Abdul Mutolib Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pegiat literasi

Penulis buku teks pembelajaran di beberapa penerbit, pegiat literasi di komunitas KALIMAT

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Tarwiyah Tidak Difasilitasi Pemerintah? Catatan Perjalanan Haji 2024 (Bagian 9)

7 Oktober 2024   14:10 Diperbarui: 7 Oktober 2024   14:38 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu kegiatan ibadah haji yang sedikit membingungkan bagi calon jamaah haji adalah tarwiyah. Sebelum berangkat haji saya ditanya oleh seseorang yang telah pergi haji, "Jenengan besuk tarwiyah tidak?" Saya menjawab, "Ya pastilah, kita harus menyempurnakan rukun, wajib dan sunnah haji." Dia pun menimpali, "Jenengan harus menyiapkan uang 200 sd 350 real kalau gitu.". "Loh bukannya kita sudah bayar semua biaya haji?", Tanya saya kebingungan.

Bagi yang belum berhaji pasti akan mengalami sedikit kebingungan tentang pelaksanaan tarwiyah sebagaimana saya alami. Namun sebelum kita membahas lebih jauh tentang pelaksanaan tarwiyah dalam Ibadah haji, ada baiknya kita memahami dulu istilah tarwiyah tersebut.

Kata tarwiyah berasal dari kata rawiya. Arti kata ini ada dua. Pertama, berarti minum hingga merasa puas. Kedua, berarti menyediakan atau mengalirkan air. Istilah tarwiyah sendiri sebenarnya digunakan untuk menamakan tanggal 8 Dzulhijah dalam Hadis Nabi saw sebagaimana tanggal 9 Dzulhijjah dinamakan hari Arafah. Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni menjelaskan bahwa penamaan hari tarwiyah juga dikaitkan dengan kisah Nabi Ibrahim mengenai mimpi penyembelihan putranya. Pagi hari setelah bermimpi, Nabi Ibrahim memastikan kebenaran mimpinya sebagai perintah dari Allah. Maka ia menyebut hari itu sebagai tarwiyah yang berarti memuaskan dengan kepastian.

Dalam ibadah haji tarwiyah adalah kegiatan bermalam (mabit) di Mina pada tanggal 8 Dzulhijjah sebelum wukuf di Arafah. Melakukan tarwiyah bagi jamaah haji hukumnya sunnah dan tidak ada konsekwensi apa-apa jika meninggalkannya. Jamaah haji yang tidak melakukan tarwiyah langsung menuju ke Arafah pada pagi hari 9 Dzulhijjah untuk melakukan wukuf. Sementara jamaah yang melakukan tarwiyah berangkat ke Arafah pada hari itu dari Mina. Namun pada pelaksanaan haji tahun 2024 ini pengangkutan jamaah haji yang bertarwiyah oleh maktab dimajukan sehari yaitu pada tanggal 7 Dzulhijjah. Demikian pula pengangkutan jamaah yang tidak bertarwiyah ke Arafah dimulai tanggal 8 Dzulhijjah.

Pemajuan ini sempat meresahkan sebagian jamaah yang bertarwiyah terutama menyangkut aspek fikihnya. Bolehkah memajukan keberangkatan jamaah tarwiyah sebelum hari tarwiyah? Kapan dan di mana miqat untuk berihramnya? Apakah jamaah berihram pada tanggal 7 dari hotel atau tanggal 8 dari perkemahan Mina?

Saya sendiri berusaha mencari informasi kajian fuqaha tentang masalah tersebut dengan berselancar di internet dan berdiskusi dengan petugas bimbingan ibadah haji. Kesimpulan yang diperoleh bahwa ada sebagian ulama seperti Ibnu Taimiyah yang membolehkan keberangkatan jamaah haji ke Mina pada tanggal 7 dan berihram pada tanggal tersebut. Namun ada pula ulama yang memakruhkannya. Biasanya selama ada pandangan fikih yang bisa dijadikan sandaran maka hal itu dapat menenangkan hati dan pikiran jamaah. Dalam pelaksanaan ibadah haji situasi di lapangan tidaklah selalu normal. Jamaah haji seringkali dihadapkan pada situasi yang ia tidak bisa memilih pelaksanaan ibadah yang ideal. Hal ini karena meskipun ibadah haji itu ibadah individual tetapi pergerakan dan pengorganisasian jamaah dilakukan secara kolektif.

Karena tarwiyah merupakan amalan sunnah, maka tidak semua jamaah haji melakukannya. Pemerintah Indonesia sendiri tidak memasukkan kegiatan ini ke dalam program layanan jamaah. Jamaah haji yang melakukannya harus mendaftar sendiri secara berkelompok ke maktab. Pelayanan transportasi, akomodarsi dan konsumsi selama tarwiyah langsung diurus oleh maktab.

Pemerintah tidak memprogramkan tarwiyah karena hal itu bukan termasuk rukun atau wajib haji. Selain itu pemerintah juga ingin meminimalisir resiko yang dapat mengganggu pelaksanaan wukuf, seperti jamaah kecapekan atau sakit, atau kepadatan lalulintas dari Mina ke Arafah. Itulah yang sering saya dengar dari para pejabat Kementerian Agama dan para petugas haji.

Sepekan sebelum puncak haji saya mewakili salah satu KBIH dari Solo mendatangi kantor maktab 99 yang berada di pemukiman Syauqiyyah bersama dua orang perwakilan KBIH dari Boyolali. Di kantor tersebut kami bermaksud menemui Syeikh Rif'at pimpinan maktab. Tetapi kami tidak bertemu dengan beliau dan hanya bertemu dengan beberapa staf. Kami pun dipersilakan duduk dan ditemui oleh Mr. Nibras. Dari wajah dan perawakannya tampak ia bukan warga asli Saudi. Saya pun bertanya kepadanya, "Apakah antum orang Inggris?". Tiba-tiba staf lain ada yang menjawab, "Dia orang Amerika". Tapi dengan segera Mr. Nibras mengelak dan memintaku untuk menebaknya. Saya pun dengan nada bertanya menimpali, "Inggris?" Beliau pun tidak menyetujui tebakan saya seraya berkata " Turki, saya orang Turki."

Selepas ngobrol basa-basi kami menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan kami yaitu mendaftarkan rombongan tarwiyah dan menegosiasikan biaya pelayanan yang akan dibebankan kepada jamaah. Mr. Nibras mengambil buku dan mencatat jumlah peserta tarwiyah yang kami daftarkan dan asal kloternya. Saat itu yang kita daftarkan dari kloter SOC 90, 91 dan 92. Jumlah total sekitar 500 an. Mr. Nibras kemudian menjelaskan bahwa untuk saat ini baru tahapan pencatatan dulu sambil menunggu data dari jamaah kloter lain yang mendaftar tarwiyah. Setelah datanya terkumpul semua, baru akan disampaikan biaya yang harus dibayar oleh tiap jamaah.

Beberapa hari kemudian pihak maktab mengadakan pertemuan dengan ketua kloter dan karom yang telah mendaftarkan jamaahnya untuk tarwiyah. Pertemuan diadakan di salah satu hotel dari maktab 99. Dalam pertemuan tersebut dibahas tentang layanan bagi jamaah tarwiyah mulai dari keberangkatan ke Mina hingga perpindahan ke Arafah. Juga dibahas biaya yang harus dibayar oleh jamaah yang disepakati sebesar SAR 250. Beberapa hari berikutnya kita dikumpulkan lagi oleh maktab untuk pertemuan terakhir sebelum hari pemberangkatan. Pada pertemuan ini masing-masing KBIH menyetorkan beaya per jamaah yang telah ditetapkan. Selain itu dibahas juga teknis pemberangkatan jamaah. Pada waktu itu disepakati pengurutannya berdasarkan undian. Untuk mempermudah komunikasi pihak maktab juga membuat group WA yang beranggotakan perwakilan maktab, kloter, dan karom.

Pada hari H keberangkatan, melalui group WA pihak maktab memandu kapan jamaah dari masing-masing rombongan diberangkatkan. Para ketua rombongan memantau group WA dengan seksama agar tidak ketinggalan informasi. Sekitar pukul 14.00 WAS tanggal 7 Dzulhijjah muncullah info bahwa rombongan saya diminta bersiap-siap dengan pakaian ihram dan barang-barang bawaan. Tetapi jamaah tidak boleh turun ke lobby hotel hingga ada komando dari maktab. Kami pun dengan penuh semangat menyiapkan diri. Akan tetapi saat waktu yang ditunggu tiba, belum ada perintah pergerakan jamaah. Bahkan hingga dua jam sesudahnya, komando yang ditunggu belum kunjung datang. Di group WA para karom mengadukan kegelisaahan jamaah yang menunggu ketidakpastian. Pihak maktab menjawab dengan meminta jamaah bersabar karena perjalanan bus yang akan mengangkut jamaah tidak bisa diprediksi dikarenakan situasi jalananan Mekkah yang crowded pada hari-hari puncak haji.

Selalu karom saya berusaha mengkondisikan para jamaah dengan mempersilakan mereka untuk bersantai maupun berebahan di kamar. Saya juga meyakinkan mereka bahwa saya akan terus siaga memantau informasi pergerakan bus penjemput dari group WA maktab. Penantian yang cukup menguji kesabaran akhirnya melahirkan kegembiraan saat maktab memberi komando agar rombongan kami segera turun ke lobby hotel untuk diberangkatkan. Saat itu waktu menunjukkan pukul 10.30. Artinya kami telah menunggu sekitar 4 jam. Itulah "asyiknya" pengangkutan jamaah saat puncak haji penuh dengan ketidakpastian. Perjalanan yang biasanya ditempuh dalam 20 menit bisa sampai 12 jam karena kemacetan.

Kami pun bersiap diri untuk turun dan mengecek kelengkapan anggota jamaah dan indentitas serta barang bawaan masing-masing. Setelah semua siap kami melakukan brifing sejenak untuk prosesi ihlal atau pengucapan niat ihram haji sebelum keberangkatan. Khusus bagi jamaah haji wanita yang karena haid belum berumroh, maka kita arahkan untuk mengubah niat haji tamatthu' menjadi haji qiran yaitu ketikah ihlal mengucapkan labbaika hajjan wa umrotan karena menggabungkan umrah ke dalam haji.

Satelah selesai kami berihlal kami bergegas turun ke lobby hotel sambil memperbanyak talbiyah dan menunggu pengaturan naik ke bus. Ketika proses naikke bus, dilakukan pengecekan kartu nusuk. Setelah semua jamaah masuk ke bus, pintu bus ditutup dan disegel. Segel tersebut tidak boleh rusak hingga saat pemeriksaan di Mina. Hal itu semua untuk mengantisipasi adanya jamaah dengan visa non haji yang menyusup ke rombongan.

Setiba di pertendaan Mina. Saya langsung memimpin rombongan untuk menuju tenda SOC 90. Kebetulan beberapa hari sebelumnya saya telah melakukan survey lokasi bersama para karom dan petugas kloter SOC 90. Di SOC 90 hanya ada dua kelompok jamaah yang bertarwiyah. Tenda untuk SOC 90 terdiri dari 3 tenda besar. Berdasarkan kesepakatan petugas kloter dan karom, 1 tenda untuk jamaah laki-laki, 1 tenda untuk jamaah perempuan dan 1 tenda untuk jamaah lansia dan risti.

Di Mina kita mabit dua malam sebelem menuju Arafah. Keperluan makan dan konsumsi dilayani sepenuhnya oleh maktab. Selama mabit di Mina para jamaah melakukan shalat qashar tanpa dijamak sebagaimana tuntunan Rasulullah saw. Para jamaah juga memperbanyak dzikir, tilawah dan berdoa. Di malam hari para jamaah juga melakukan shalat tahajjud.

Pada pagi hari tanggal 9 Dzulhijjah, para jamaah bersiap-siap untuk diberangkatkan ke Arafah. Bus pengangkut jamaah mulai tiba pada pukul 06.00 WAS. Rombongan kami mendapat giliran diangkut sekitar pukul 8.00 WAS. Para jamaah membawa bekal bekal yang diperlukan selama di Arafah. Barang-barang lain yang tidak diperlukan ditinggal di tenda di Mina karena setelah wukuf kita kembali mabit di Mina tanggal 10 hingga 12 bagi yang mengambil nafar awal atau hingga tanggal 13 bagi yang mengambil nafar tsani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun