Rute yang melintasi hotel kami adalah rute 9 yaitu rute Raudhah 1 - Syib Amir. Syib Amir adalah terminal yang terletak di sebelah utara Masjidil Haram. Terminal ini menjadi terminal bagi jamaah haji yang tinggal di wilayah Raudhah, Syisyah dan Jarwal. Untuk rute 9 tersedia 30 armada bus saat puncak haji. Tetapi berkurang hingga hanya 4 armada di waktu-waktu akhir.
Pada malam itu adalah H -10 dari puncak kegiatan haji. Kondisi Mekkah sudah sangat padat dengan jamaah calon haji termasuk jamaah Indonesia. Saat itu bus-bus shalawat selalu penuh sesak dengan jamaah. Pun bus yang kami tumpangi. Tidak kurang dari 20 orang harus berdiri. Talbiyah menggema sepanjang perjalanan menuju Masjidil Haram.Â
Supir bus dari Mesir ikut menikmati alunan talbiyah. Dengan hati yang sangat berdebar kami turun dari bus sambil memandangi keindahan Masjidil Haram yang dikelilingi tower-tower pencakar langit dan berhiaskan lampu-lampu. Kami berjalan dalam kerumunan. Pemandu berjalan di depan, sedangkan saya berjalan dibelakang sambil mengawasi jamaah agar tidak tercecer.
Setiba di WC terdekat dari arah Syib Amir, terdengar suara teriakan yang memanggil, "Ustadz.. , sebentar..., ada yang tidak kuat.". Salah seorang jamaah terlihat dibopong dan didudukkan di kursi yang tersedia di tempat itu. Saya bergegas menghampirinya. " Ustadz, kulo ngangge jasa pendorong mawon (Ustadz, saya pakai jasa pendorong saja).Â
Saya pun menenangkan dan mengiyakannya. Saya juga berteriak untuk menanyakan kepada Jamaah lain , "Adakah yang tidak kuat lagi dan butuh jasa pendorong". Seorang jamaah menyahut, "Ustadz, ibuk ini tolong dicek!". Saya pun menghampiri seorang ibuk yang dimaksud. "Ibuk mau didorong pakai kursi?", saya menanyainya. Ia tampak berdiskusi dengan suaminya. Tak lama kemudian suaminya menjawab,"Ia mau mencoba jalan saja Ustadz,." "Ok, bismilah", timpal saya.Â
Kemudian saya menghampiri petugas berompi yang sudah siap dengan kursi rodanya. "Bikam thawaf wa sai (Berapa biaya untuk tahwaf dan sai?" tanyaku. "Miatainn wa khamsuun (dua ratus lima puluh)" jawabnya. Saya pun mengarahkan jamaah yang akan didorong dengan kursi roda untuk menyiapkan 250 real dan memberikannya kepada petugas setelah selesai. Saya juga memintanya untuk menunggu di tempat pemberhentian nantinya. Kepada petugas pendorong saya minta untuk tidak terburu-buru dalam mendorong dan menurunkannya di tempat pemberhentian.
Selanjutnya saya kembali berkonsntrasi pada rombongan dan meminta pemandu untuk melanjutkan perjalanan menuju titik awal thawaf. Ketika itu waktu hampir pukul 12 malam. Ketika melintasi WC langkah kami berhenti karena beberapa jamaah mohon izin ke kamar kecil. Momen itu kita gunakan untuk mengecek kembali kelengkapan anggota rombongan. Sempat terjadi sedikit kepanikan dari beberapa jamaah yang anggota keluarga atau kerabatnya ternyata tidak terlihat bersama rombongan. Setelah beberapa saat menunggu, ahamdulilah semua anggota telah berkumpul termasuk yang tadi menghilang tanpa memberi tahu teman yang lainnya.
Dengan perasaan yang semakin deg-degan campur penasaran, rombongan bergerak menuju Babussalam yang menjadi pintu paling pavorit untuk dimasuki oleh banyak kaum muslimin ketika memasuki Masjidil Haram dari 129 pintu yang ada. Selain pintu ini terkenal karena dahulu ketika Fathu Makkah Nabi saw memasuki Masjidil Haram melalui pintu ini, juga karena pemandangan Ka'bah dan hajar aswad segera terlihat ketika memasuki pintu ini.
Perjalanan menuju Babussalam sangat lancar tanpa ada kesulitan untuk mencarinya karena ada pemandu. Ketika memasuki pintu Babussalam tidak lupa kami berdoa dengan doa masuk masjid. Pemandu kemudian memberi arahan kepada jamaah sebaiknya melepas alas kaki ketika memasuki Masjidil Haram meskipun mengenakan sandal atau alas kaki lainnya diperbolehkan. Sebagian besar jamaah melepas sandal dan sepatu dan hanya sebagian kecil yang tetap memakainya karena kebutuhan. Nabi Muhammad saw sendiri diriwayatkan melakukan thawaf dan sai di atas binatang tunggangannya. Hal ini menjadi dasar kebolehan memakai alas kaki ketika thawaf dan sai.
Ketika langkah rombongan semakin dekat dengan pelataran Ka'bah, semua pandangan mulai tertuju ke arah bangunan kubus dengan  panjang sekitar 12,86 meter, lebar 11,03 meter, dan tinggi 13,1 meter tersebut.  Tanpa dikomando para jamaah melafalkan dzikir " Allahumma antas salam wamikas salam fahayyina Rabbana bissalam (Ya Allah, Engkau adalah keselamatan. Dari-Mu keselamatan berasal. Wahai Tuhan kami, berikan kehormatan pada kami melalui keselamatan).
Belum selesai semua jamaah berkomat-kamit melafalkan doa, tiba-tiba disuguhkan di depan mata gelombang besar pergerakan manusia yang sedang hanyut dalam ritual thawaf. Sedangkan rombongan kami masih berada di pinggiran gelombang tersebut dan terus mengamati sudut hajar aswad tempat memulai thawaf serta mencari strategi yang  soft untuk masuk ke dalam arus besar manusia yang seakan tidak ada hentinya. Sesampai di garis hajar aswad lambaian tangan serentak mengiringi lantunan dzikir "Bismillahi Allahu Akbar. Kami pun larut dalam arus yang tidak hanya menghanyutkan badan tetapi juga menghanyutkan perasaan ke dalam suasana spiritualitas yang kenikmatannya bersifat intim dan eksklusif.