Mohon tunggu...
Abdul Mutolib
Abdul Mutolib Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pegiat literasi

Penulis buku teks pembelajaran di beberapa penerbit, pegiat literasi di komunitas KALIMAT

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membudayakan Agama?

19 Juli 2020   10:32 Diperbarui: 19 Juli 2020   11:11 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dakwatuna.com

Agama kok dibudayakan? Bukankah budaya yang harus di-"agamakan" dalam pengertian diselaraskan dengan nilai-nilai agama?

Kedua istilah itu sama-sama pelik jika dipahami secara dikotomis, vis a vis dan behadap-hadapan.

Agama memang bersumber dari wahyu yang berasal dari Allah Swt. Sedangkan budaya merupakan hasil dari gagasan, tindakan dan pekerjaan manusia. Pandangan dikotomis melihat agama tidak bisa dijadikan budaya, demikian pula budaya tidak bisa dijadikan agama karena keduanya berasal dari sumber yang berbeda. Padahal Allah Swt tidak menghendaki dikotomi dalam kehidupan kecuali antara haq dan bathil.

Manusia sendiri diciptakan oleh Allah dari unsur jasmani dan rohani. Unsur jasmani berasal dari materi  sedangkan unsur rohani berasal dari ruh Allah Swt. Allah Swt. Berfirman:

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh dari Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (QS. Al Hijr:29)

Oleh karena itu karakter atau kepribadian manusia yang diinginkan oleh Islam adalah karakter robbani. Yaitu karakter atau kepribadian individu yang mentransformasikan sifat-sifat Allah dalam dirinya untuk diinternalisasikan dalam kehidupan nyata.

Ajaran agama Islam juga memiliki karakter rabbaniyyat al-mashdar insaniyyat al-ghyah (sumbernya bersal dari Allah, tujuannya untuk kepentingan manusia. Agama diturunkan oleh Allah bukan untuk memuaskan Allah sendiri, tetapi untuk kemaslahatan manusia.

Oleh karena itu Allah memberi ruang bagi peran manusia dalam menerapkan ajaran tersebut melalui mekanisme ijtihad. Allah juga menjadikan manusia sebagai khalifah untuk membumikan dan menerapkan ajaran Allah dalam sistem yang melibatkan kreasi manusia. Sistem peradilan dan ekonomi Islam misalnya, wahyu tidak menjelaskan sedetail apa yang yang dipraktekkan di kehidupan nyata.

Dengan demikian istilah membudayakan agama dalam pengertian membumikan dan menerapkan agama dalam kehidupan sehari-hari adalah suatu keharusan. Hal ini tidak dimaksudkan untuk menjadikan agama sejajar dengan produk manusia. 

Para ulama sering membedakan antara syari'at dan fikih. Syari'at itu aturan yang datang dari Allah, sedangkan fikih hasil ijtihad manusia untuk menerapkan syari'at. Syari'at tidak bisa dikoreksi, tetapi hasil ijtihad bisa dikoreksi oleh ijtihad lain.  

Sebetulnya ada istilah "membumikan" yang lebih populer di kalangan pemikir Islam. Tapi istilah membudayakan agama dipakai di sini untuk menekankan bahwa ajaran agama tidak hanya diterapkan oleh individu tetapi juga semestinya menjadi budaya masyarakat. Mungkin istilah lain yang serupa adalah mengarusutamakan. Tapi di kalangan awam kurang easy listening.

Kita sering mendengar ungkapan "saya menemukan Islam di negara sekuler" atau ungkapan "orang non muslim ternyata lebih Islami". Tokoh pembaharu Islam Muhammad Abduh ketika berkunjung ke Eropa pernah berkata, "Di sana ada Islam tanpa orang Islam, sedangkan di Mesir banyak orang Islam tanpa Islam."

Bahkan Hossein Askari, seorang profesor hubungan internasional Universitas George Washington AS, melakukan penelitian terhadap  208 negara yang  kesimpulannya  Irlandia, Denmark, Luksemburg, dan Selandia Baru sebagai negara lima besar yang paling islami di dunia.

Hal ini sangat mengejutkan. Yang lebih mengejutkan tidak ada negara Islam atau negara berpenduduk mayoritas muslim yang masuk 30 besar. Paling tinggi Peringkat 33 yang ditempati oleh Malaysia.

Empat faktor menjadi kriteria dalam penerapan ajaran Islam secara ideal dalam penelitian tersebut, yakni pencapaian ekonomi masyarakat, pemerintahan, hak asasi manusia dan politik, serta hubungan internasional.

Tentu ada banyak pertanyaan besar atas kesimpulan-kesimpulan di atas. Tepatkah mendefinisikan islami tidak islaminya individu atau masyarakat hanya dari sebagian aspek Islam dan meninggalkan aspek-aspek lain yang lebih fundamental seperti keimanan?

Ungkapan-ungkapan tersebut juga cenderung hiperbolis atau berlebih-lebihan. Namun demikian orang Islam tidak menutup mata bahwa implementasi ajaran Islam belum terwujud secara kaffah di banyak masyarakat muslim.

Dalam masalah akidah dan ibadah tentu tidak menyematkan predikat islami kecuali kepada orang muslim. Namun dalam masalah perilaku sosial, masih banyak masyarakat Islam yang terlihat bopeng-bopeng dan belum islami seutuhnya.

Tentang kebersihan misalnya. Umat Islam yang memiliki slogan "kebersihan bagian dari iman" masih kalah bersih dari masyarakat non muslim secara umum. Belum lagi persoalan kedisiplinan dan etos ilmu, serta etos kerja.

Negara Islam seperti Arab Saudi, Qatar, dan Malaysia saja dalam penelitian Askari disebut kalah jauh islami dari negara-negara Eropa, apalagi negara Indonesia.

Di negara dengan jumlah penduduk muslim 209 juta lebih atau 87 % dari total penduduk, orang shalih banyak tapi belum dirasakan secara kebangsaan. Orang jujur banyak, tapi korupsi dan penyebaran hoax masih menjadi menyakit publik. Kampanye dan dakwah peduli lingkungan terus dilakukan, tetapi perusakan lingkungan dan pencemaran sungai terus terjadi.

Lihat sungai-sungai yang melintas di kota-kota Indonesia! Sangat langka yang bersih dan bisa dimanfaatkan sebagai wisata air. Bandingkan dengan sungai-sungai yang melintas kota di German, Belanda, Italia, dan negara-negara lain yang sangat bersih dan menjadi tempat wisata di tengah kota.

PR besar umat Islam adalah menjadikan moral individu menjadi moral publik. Moralitas itu sendiri adalah keyakinan atau sikap batin yang dapat menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku baik itu aturan agama, negara, dan adat istiadat masyakat.

Moralitas individu ini harus terus dimassifkan dan diarusutamakan sehingga sebagian besar individu merasakan hal yang sama.

Ketika sudah terbentuk moral publik, maka masyarakat baik pemimpin maupun rakyat memiliki pola pikir dan pola perilaku yang sama. Moralitas tidak lagi hanya ramai di buku-buku pelajaran sekolah, tetapi disaksikan secara nyata dalam keseharian di semua level masyarakat.

Orang jepang misalnya, di mana-mana mereka menjaga kebersihan. Kita menyaksikan banyak pemberitaan bagaimana penonton sepak bola dari Jepang membersihkan sampah di tribun stadion meskipun bukan di negara mereka. Juga jamaah haji Jepang memungut sampah di tempat-tempat yang dilaluinya selama berhaji. Hal itu karena budaya bersih sudah menjadi budaya moral publik mereka.

Sementara kita masih harus berjuang keras untuk mewujudkan hal itu. Tentu ini membutuhkan sinergi yang besar dan waktu yang tidak singkat. Tapi hal yang penting dari setiap cita-cita adalah memulai dari sekarang dan dari yang terkecil di lingkup kita sendiri. Wallahu al-musta'n.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun