Setiap orang wajar marah kalau harga dirinya di injak-injak. Orang beragama wajib marah kalau agamanya dinistakan. Kita harus marah terhadap tindakan kezaliman. Tapi bagaimana menyalurkannya? Di sini lah diperlukan kewarasan nalar dan kebijaksanaan.Â
Pemimpin juga perlu marah kalau situasi menghendaki demikian. Teladan umat manusia Nabi Muhammad saw yang dijuluki sebagai pemimpin paling berpengaruh sepanjang sejarah juga pernah marah dalam kepemimpinan beliau.Â
Nabi marah ketika sahabat merayu agar ia tak memotong tangan seorang wanita yang mencuri. Alasan mereka, ia adalah wanita terpandang dari klan Bani Makhzum, salah satu suku besar Quraisy. Nabi tegaskan, "Apakah layak aku memberikan pertolongan terhadap tindakan yang melanggar aturan Allah?" (HR. al-Bukhari dan Muslim)Â
Abu Bakar khalifah pertama pengganti Rasulullah saw Juga marah kepada kaum muslimin yang enggan membayar zakat. Bahkah Abu Bakar memerangi mereka.Â
Namun kemarahan yang dipercontohkan oleh Nabi dan sahabat sangat jelas untuk kemaslahatan yang besar dan bukan untuk kepentingan pribadi.Â
Kalau kita menyaksikan video yang viral tetang kemarahan Presiden Jokowi, nampaknya itu adalah kemarahan yang wajar dan diperlukan. Rakyat juga merasakan ada yang kurang tepat pada jalannya pemerintahan dalam menghadapi pandemi covid selama ini. Bahkan sejumlah tokoh menganggap kemarahan presiden ini terlambat dan mestinya dikeluarkan dua atau tiga bulan yang lalu.Â
Lalu, apakah presiden cukup dengan marah-marah tersebut. Tentu semua sepakat tidak cukup. Perlu langkah kepemimpinan yang kongkrit lagi  dan progresif dengan menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan gologan dan status quo politik.Â
Apakah hal ini akan dilakukan oleh Presiden Jokowi? Silakan Anda bisa memberikan analisa dan perspektif yang lebih mencerahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H